HiPajak dikembangkan menjadi “one-app tax assitance” untuk membantu pengguna melakukan pencatatan, perhitungan, pembayaran, pelaporan dan konsultasi pajak. Tersedia dalam website dan aplikasi, platform ini dilandasi teknologi chatbot berbasis AI. Kendati diasisteni robot, pembahasan yang dihasilkan didesain dengan “gaya bahasa awam”, dengan harapan cepat dimengerti oleh penggunannya.
Bukan tanpa alasan, layanan tersebut dikembangkan berdasarkan pengalaman founder dalam kepengurusan pajak. Diyakini pemahaman minim soal pajak juga dialami oleh banyak orang dari beragam kalangan.
“Diawali dari pengalaman waktu membantu bisnis keluarga, kami mengalami kesulitan dalam perpajakan. Permasalahannya cukup sepele, dikarenakan kehilangan bukti bayar pajak sehingga terkena denda, padahal pembayaran sudah dilakukan. Dari situ saya berpikir, bagaimana negara bisa maju kalau urusan seperti ini saja tidak terselesaikan? Berangkat dari sanalah tercetuslah ide untuk mengembangkan HiPajak,” terang Co-Founder & CEO HiPajak Tracy Tardia kepada DailySocial.
Untuk pemakaian, setelah pengguna mengunduh dan masuk ke aplikasi, mereka akan diminta menjawab beberapa pertanyaan. Selanjutnya sistem akan melakukan analisis mengenai posisi pajak dan memberikan rekomendasi mengenai apa yang perlu dilakukan. Kemudian proses catat, hitung, bayar dan lapor juga bisa dilakukan di dalam aplikasi HiPajak.
“Sebagai one-app tax assistance, kami memberikan asistensi administrasi seperti pengisian dokumen, konsultasi hingga perencanaan pajak. Semua konsultan konsultan sudah tersertifikasi,” imbuh Tracy.
Andalkan model bisnis dan fitur
Founder sadar betul, di Indonesia sudah ada beberapa layanan digital yang bantu pengguna mengurus pajak. Sebut saja OnlinePajak, KlikPajak, Pajakku, MitraBijak, dan lainnya. Bahkan saat ini juga masih banyak konsultan pajak yang menjalankan bisnis secara non-digital, baik untuk individu maupun bisnis.
Untuk itu HiPajak mengandalkan pada model bisnis dan fitur pada aplikasi. Selain didesain sebagai chatbot sebagai diferensiasi utama, mereka juga mengandalkan model freemium, ada paket gratis dan berbayar. Automasi yang diterapkan juga diharapkan dapat memberikan jawaban dan rekomendasi cepat kepada pengguna. Mereka juga mengklaim menjadi layanan dengan biaya yang relatif rendah dengan tetap memberikan rekomendasi yang personal ke tiap pengguna.
Sejak soft-launching pada 5 November 2019, aplikasi HiPajak sudah digunakan sekitar 500 pengguna. Fitur berbayar yang paling banyak dipakai pengguna saat ini untuk konsultasi pajak. Saat ini pihaknya juga masih dalam proses pengajuan untuk menjadi mitra resmi Dirjen Pajak.
“Di kuartal pertama tahun ini, kami fokus untuk pajak penghasilan pribadi non-karyawan seperti freelancer, Youtuber, UKM, content creator dan lainnya. Dan kami akan mengkampanyekan #satujutaSPTbaru. Untuk pengembangan produk selanjutnya adalah melakukan pengajuan menjadi PJAP kepada DJP dan mengembangkan fitur pajak penghasilan badan dan pajak daerah,” terang Tracy.
Selain Tracy, ada dua orang co-founder lainnya di HiPajak, yakni Sukmanegara (CTO) dan Enda Nasution (CMO). Dalam debutnya, mereka masih menjalankan bisnis secara bootstrapping.
Layanan pajak digital di Indonesia
Masuk dalam kategori SaaS, platform yang membantu mengelola pajak memiliki pangsa pasar yang sangat besar di Indonesia. Selain jumlah pekerja yang banyak, kurang lebih ada 31 juta pelapor pajak setiap tahunnya, pemerintah sendiri tengah menggiatkan untuk memaksimalkan penerimaan pajak.
Melihat peluang tersebut, para pemain digital terus kecangkan strategi untuk memenangkan pasar. Menjelang akhir tahun 2018 lalu, OnlinePajak bukukan pendanaan seri B senilai 379 miliar Rupiah. Modal tambahan tersebut ingin digunakan untuk pengembangan fitur berbasis kecerdasan buatan dan blockchain.
Sementara layanan lain KlikPajak memilih untuk melakukan konsolidasi dengan startup SaaS lain, yakni Talenta, Sleekr dan Jurnal. Kini terbentuk Mekari, sajikan layanan menyeluruh untuk bantu UKM kelola bisnis mereka secara digital.