Bagaimana Perkembangan Industri Mobile Game di Asia?

Jika Anda adalah penggemar sepak bola, Anda pasti sudah terbiasa melihat fans dari satu klub sepak bola meledek fans dari klub sepak bola yang lain. Di dunia game, hal ini juga sering terjadi. Misalnya, gamer PlayStation yang saling ledek dengan gamer Xbox, membanggakan bahwa konsol favorit mereka lebih superior dari konsol lain. Kemudian ada pula golongan PC Master Race, yang seperti namanya, percaya bahwa bermain di PC memberikan pengalaman bermain game yang paling baik.

Satu kesamaan yang biasanya dimiliki oleh gamer konsol dan PC adalah biasanya mereka memandang sebelah mata para mobile gamer. Pasalnya, tidak sedikit mobile game yang menggunakan model bisnis pay-to-win. Jadi, seseorang bisa mendominasi di sebuah mobile game bukan karena dia memang jago, tapi karena dia rela mengeluarkan uang banyak untuk membeli semua item power-up yang ada. Selain itu, mobile game juga biasanya relatif lebih sederhana.

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa industri mobile game kini telah berkembang pesat. Tidak hanya dari segi kompleksitas game, tapi juga dari perputaran uang di industri tersebut. Menurut Newzoo, 48% dari total pemasukan industri game pada 2020 akan berasal dari mobile game. Diperkirakan, industri game pada 2020 akan bernilai US$159,3 miliar. Mobile game diperkirakan menyumbang US$77,2 miliar, lebih besar dari segmen game PC (US$36,9 miliar) ataupun segmen game konsol (US$44,2 miliar).

Asia, khususnya Asia Tenggara, menjadi salah satu kawasan yang menjadi ladang subur bagi pelaku industri mobile game. Berikut penjelasan terperincinya.

 

Asia Tenggara

Semua negara di Asia Tenggara merupakan negara mobile-first, yang berarti masyarakatnya pertama kali mengenal internet melalui smartphone. Pada 2019, jumlah pengguna internet di Asia Tenggara mencapai 360 juta orang. Sebanyak 90% — sekitar 323 juta orang — mengakses internet melalui smartphone. Jadi, tidak heran jika mobile merupakan platform favorit bagi para gamer di Asia Tenggara.

Menurut laporan Newzoo, 80% gamer di Asia Tenggara memainkan mobile game. Namun, hal itu bukan berarti game PC dan konsol tak populer. Faktanya, sekitar 69% gamer di Asia Tenggara memainkan game di PC dan 57% di konsol. Sementara itu, dari segi ekonomi, mobile game memberikan kontribusi 70% — sekitar US$3,1 miliar — pada total pemasukan industri game di Asia Tenggara, yang mencapai US$4,4 miliar.

Segmentasi gamer di perkotaan di Asia Tenggara. | Sumber: Newzoo
Segmentasi gamer di perkotaan di Asia Tenggara. | Sumber: Newzoo

Kabar baiknya, pengguna internet di Asia Tenggara memiliki tingkat engagement tinggi. Hanya saja, Asia Tenggara terdiri dari negara-negara yang memiliki budaya dan bahasa yang berbeda-beda. Developer yang ingin memenangkan hati gamer di Asia Tenggara harus mengerti dan menghargai budaya di masing-masing negara. Buktinya, dalam lima tahun belakangan, gamer di Asia Tenggara lebih menyukai game buatan developer Asia, yang lebih mau untuk menyesuaikan pendekatan mereka. Misalnya, di Vietnam, Moonton membuat kegiatan Tahun Baru Tet, yang merupakan salah satu perayaan paling penting di negara tersebut.

Menggandeng artis lokal juga bisa menjadi salah satu cara bagi publisher untuk mempopulerkan game mereka di Asia Tenggara. Contohnya, untuk mempromosikan Free Fire di Indonesia, Garena bekerja sama dengan Joe Taslim untuk mempromosikan Free Fire di Indonesia sementara Gravity Interactive dengan Lisa dari Blackpink untuk mempromosikan Ragnarok M: Eternal Love di Thailand.

Jika dibandingkan dengan region lain, Asia Tenggara juga masih menjunjung tinggi nilai agama. Jadi, developer harus mempertimbangkan konten dari game yang mereka buat dengan lebih hati-hati, untuk memastikan agar tidak ada konten yang menyinggung penganut agama tertentu. Di sisi lain, publisher juga bisa memanfaatkan momen keagamaan untuk mengadakan acara atau kegiatan dalam game mereka. Misalnya, Tencent menggunakan tagar #KetupatDinner saat Ramadan. Tak hanya itu, mereka juga membuat posko PUBG Mudik menjelang Idul Fitri.

Salah satu karakteristik gamer di Asia Tenggara adalah mereka senang memainkan game multiplayer. Menurut survei yang dilakukan oleh GameStart pada 2019, 60% gamer di Asia Tenggara bermain game bersama temannya. Karakteristik inilah yang lalu memunculkan berbagai komunitas gamer, yang mendorong pertumbuhan esports di Asia Tenggara.

Konten terkait game yang ditonton netizen Asia Tenggara. | Sumber: Newzoo
Konten terkait game yang ditonton netizen Asia Tenggara. | Sumber: Newzoo

Pada akhir 2019, jumlah penonton esports di Asia Tenggara diperkirakan mencapai 30 juta orang, naik 22% dari tahun sebelumnya. Mengingat mobile menjadi platform favorit di Asia Tenggara, tentu saja game esports yang populer juga merupakan mobile game. Berdasarkan data dari Newzoo, game esports terpopuler di Asia Tenggara adalah PUBG Mobile, yang ditonton oleh sekitar 40% audiens esports di ASEAN. Game terpopuler kedua adalah Mobile Legends, yang ditonton oleh 33% esports audiens di Asia Tenggara.

Selain maraknya komunitas gamer, alasan lain mengapa esports bisa tumbuh di Asia Tenggara adalah dukungan pemerintah. Memang, pemerintah di Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Thailand cukup suportif akan industri esports. Buktinya, esports disertakan sebagai cabang olahraga eksibisi di Asian Games 2018 dan menjadi cabang olahraga bermedali pada SEA Games 2019. Pada SEA Games 2021, esports juga akan kembali menjadi cabang olahraga bermedali. Sementara di Indonesia, pemerintah tak hanya mengadakan turnamen esports seperti Piala Presiden, tapi juga menyatakan esports sebagai cabang olahraga berprestasi.

Hype esports di Asia Tenggara bisa dimanfaatkan publisher untuk membuat game mereka semakin populer. Salah satu publisher yang melakukan hal ini adalah Moonton, yang menyelenggarakan Mobile Legends Professional League. Sepanjang musim ke-5, jumlah view dari setiap pertandingan MPL hampir tak pernah kurang dari 1 juta view. Sementara pada puncaknya, jumlah concurrent viewers dari babak final MPL S5 mencapai 1,1 juta orang.

 

Tiongkok

Membahas industri mobile game di Asia tentu tak lepas dari industri mobile game di Tiongkok, yang merupakan pasar mobile game terbesar di Asia. Menurut laporan Niko Partners, Tiongkok memiliki lebih dari 657 juta mobile gamers dengan pemasukan mencapai US$18,5 miliar, hampir setengah dari total pemasukan mobile gaming di Asia.

Tiga mobile game yang paling populer di Tiongkok pada 2019 adalah Honor of Kings — yang dirilis dengan nama Arena of Valor secara global — Peacekeeper Elite — versi Tiongkok dari PUBG Mobile — dan Romance of the Three Kingdoms: Strategy Edition. Berdasarkan laporan Niko, memang, game MMORPG (Massively Multiple Online Role-Playing Games) sempat sangat populer di Tiongkok. Namun, popularitas dari game-game itu kemudian dikalahkan oleh game esports seperti Honor of Kings dan Peacekeeper Elite.

Peacekeeper Elite merupakan versi Tiongkok dari PUBG Mobile.
Peacekeeper Elite merupakan versi Tiongkok dari PUBG Mobile.

Berbeda dengan pasar Asia Tenggara, yang merupakan mobile first, di Tiongkok, game PC pada awalnya mendominasi pasar. Sampai 2018, industri game PC masih memberikan kontribusi paling besar pada total pemasukan industri game. Seiring dengan berjalannya waktu, mobile game menjadi semakin populer. Tak hanya itu, semakin banyak developer Tiongkok yang tertarik untuk membuat mobile game. Menariknya, developer Tiongkok menjadi developer pertama yang mengadaptasi game PC ke mobile.

Fantasy Westward Journey, Perfect World, dan Peacekeeper Elite adalah game PC yang populer di Tiongkok. Popularitas dari tiga game itu semakin meroket ketika versi mobile dari game-game tersebut diluncurkan. Pasalnya, mobile game tersebut tak hanya menarik para pemain PC yang telah mengenal game tersebut, tapi juga gamer baru. Streamer ternama di Tiongkok juga biasanya tidak segan-segan untuk mempromosikan mobile game baru, walau mereka tetap membaut konten dari Dota 2 dan League of Legends, dua game terpopuler di Tiongkok.

Tiongkok merupakan negara yang bangga akan budayanya. Biasanya, game-game yang populer di kalangan gamer Tiongkok memiliki art style dan cerita khas Tiongkok. Per Mei 2020, 4 dari 10 game terpopuler di Tiongkok merupakan game yang didasarkan pada sejarah Tiga Kerajaan. Namun, game buatan developer Jepang juga digemari oleh gamer Tiongkok. Satu per tiga dari game yang Tiongkok impor merupakan game buatan developer Jepang.

 

Jepang

Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lain, seperti Tiongkok, India, dan bahkan Indonesia, populasi Jepang memang jauh lebih sedikit. Pada 2020, jumlah penduduk Jepang diperkirakan hanya mencapai 126 juta orang. Namun, Jepang berhasil menjadi pasar mobile game terbesar kedua setelah Tiongkok di Asia. Dari total pemasukan industri mobile game, Jepang memberikan kontribusi sebesar US$11,6 miliar.

Pasar mobile game Jepang didominasi oleh developer lokal. Daftar 10 mobile game terpopuler di Jepang selalu diisi oleh game-game buatan developer lokal. Sejak 2016 sampai sekarang, hanya ada tiga game buatan developer asing yang dapat masuk ke dalam daftar tersebut, yaitu Pokemon GO (Amerika Serikat), Lineage II Revolution (Korea Selatan), dan Knives Out (Tiongkok).

Fire Emblem Heroes memberikan kontribusi besar pada pemasukan divisi mobile game Nintendo.
Fire Emblem Heroes memberikan kontribusi besar pada pemasukan divisi mobile game Nintendo.

Sementara itu, genre terpopuler di kalangan mobile gamer Jepang adalah RPG. Bagi developer, genre RPG juga cukup mudah untuk dimonetisasi. Mereka bisa menawarkan game gratis dan mendapatkan pemasukan dengan menjual item atau menggunakan sistem gacha. Faktanya, Nintendo sukses mendapatkan US$1 miliar dari mobile game berkat Fire Emblem Heroes, sebuah game gacha. Karakteristik lain dari mobile game yang populer di Jepang adalah game tersebut biasanya didasarkan pada franchise game PC atau konsol yang sudah populer. Misalnya, Square Enix meluncurkan Final Fantasy Digital Card Game dan War of the Visions: Final Fantasy Brave Exvius pada tahun lalu.

 

Korea Selatan

Dengan kontribusi sebesar US$5,34 miliar, Korea Selatan menjadi pasar mobile game terbesar ketiga di Asia. Salah satu faktor yang membuat industri mobile game berkembang pesat di Korea Selatan adalah penggunaan teknologi 5G. Pemerintah Korea Selatan juga cukup peduli akan industri game lokal. Mereka bahkan punya rencana untuk mengembangkan industri game lokal dalam waktu lima tahun ke depan.

Budaya gaming di Korea Selatan juga sangat kental. Buktinya, warnet atau gaming center — yang disebut PC bang — menjamur di negara tersebut. Adopsi 5G dan budaya gaming yang kuat membuat mobile game kompetitif menjadi sangat populer di Korea Selatan. Faktanya, 10 mobile game terpopuler di Korea Selatah merupakan game kompetitif.

Sama seperti Jepang, mobile game yang populer di Korea Selatan merupakan mobile game buatan developer lokal. Tujuh dari 10 mobile game terpopuler di semester pertama 2020 merupakan buatan developer asal Korea Selatan.

 

India

Dengan jumlah pengguna smartphone mencapai 400 juta orang, India menjadi negara dengan pengguna smartphone terbesar kedua di Asia. Sama seperti Indonesia, segmen gaming yang berkembang di India adalah mobile game. Pada awalnya, mobile game yang populer di India adalah game hyper-casual. Namun, belakangan, para mobile gamer di India jadi lebih  menyukai game-game kompetitif, seperti PUBG Mobile dan Free Fire. Dua game tersebut merupakan game terpopuler di India, setidaknya sebelum PUBG Mobile diblokir oleh pemerintah India.

Di India, mobile game yang populer adalah yang tidak memerlukan spesifikasi tinggi.
Di India, mobile game yang populer adalah yang tidak memerlukan spesifikasi tinggi.

Sayangnya, kebanyakan gamer di India menggunakan smartphone kentang. Karena itu, mobile game yang populer di sana biasanya tidak membutuhkan spesifikasi yang terlalu tinggi, seperti Free Fire atau versi “lite” dari PUBG Mobile. Sebaliknya, game hanya bisa dimainkan di smartphone mahal seperti Fortnite, justru tak terlalu populer. Menariknya, popularitas PUBG Mobile juga mendongkrak popularitas game-game shooter lain, seperti Free Fire dan Call of Duty: Mobile.

Berbeda dengan Tiongkok, Jepang, atau Korea Selatan, industri game di India justru didominasi oleh game buatan developer dari luar India. Sejak tahun 2016, kebanyakan game terpopuler di India merupakan game buatan developer asing. Pada semester pertama 2020, hanya 2 dari 10 mobile game terpopuler di India dibuat oleh developer lokal.

Meskipun begitu, belakangan, pemerintah India mulai memblokir aplikasi dan game dari Tiongkok. Hal ini membuka kesempatan bagi para developer lokal untuk memenangkan hati para gamer di sana. Perdana Menteri India, Narendra Modi juga telah menyatakan dukungannya akan game-game buatan developer lokal. Dia mendorong agar para developer India membuat game didasarkan pada dongeng dan budaya di India.

Di India, game esports juga populer, yang mendorong perkembangan ekosistem esports di sana. Hal ini membuat sejumlah organisasi esports global tertarik untuk melakukan ekspansi ke India. Misalnya, pada tahun lalu, Fnatic mengakuisisi tim PUBG Mobile. Organisasi esports asal Prancis, Vitality, juga belum lama ini mengumumkan rencana mereka untuk melakukan ekspansi ke India.

 

Penutup

Sebagian gamer PC dan konsol mungkin tak tertarik untuk memainkan mobile game. Tidak hanya mereka harus bermain di layar yang lebih kecil, mekanisme mobile game juga biasanya lebih sederhana dari game PC atau konsol karena keterbatasan input pada smartphone. Namun, tidak semua orang bisa memiliki konsol atau PC gaming.

Bagi orang-orang yang hanya dapat membeli smartphone, mobile game menjadi berkah karena mereka tak perlu membeli perangkat khusus untuk bermain game. Selain itu, kebanyakan mobile game juga bisa dimainkan dengan gratis. Hal ini sangat memudahkan mereka untuk mengakses mobile game.

Sementara itu, dari segi developer, mereka bisa meluncurkan mobile game gratis, dan mendapatkan pemasukan dengan menjual item, menawarkan subscription, atau menggunakan sistem gacha/lootbox. Jadi, jangan heran jika industri mobile game masih akan terus tumbuh di masa depan, khususnya di negara-negara mobile-first, seperti Indonesia.

Sumber: The Esports Observer, Niko Partners, Newzoo