Tidak sama seperti industri platform game yang ketat dan sarat persaingan, virtual reality ialah sebuah wilayah baru yang hampir belum terjamah.
Sebagai salah satu perusahaan yang mencoba memperluas industrinya di area ini, Sony jarang membicarakan kompetitornya secara terang-terangan, tapi apa yang Shuhei Yoshida ungkapkan akan membuka mata kita bahwa persaingan yang sehat sangat berguna bagi lini baru ini.
Berbicara dengan Venture Beat, sang bos Sony memberikan sebuah opini yang menarik tentang bagaimana Project Morpheus mereka yang ditakdirkan untuk berhadapan dengan Oculus Rift, juga pendapatnya soal virtual reality secara keseluruhan.
Info menarik: Silakan Tonton Rekaman Presentasi Project Morpheus Sony di GDC 2014
Yoshida mengibaratkan virtual reality seperti saat konsumen global merasakan visual 3D pertama saat memainkan PlayStation. PS1 adalah console game pertama yang memungkinkan developer memanfaatkan teknologi rendering 3D dalam menciptakan game.
Awalnya permainan-permainan tersebut merupakan game ber-genre arcade, tapi 20 tahun setelahnya kita bukan hanya mendapatkan permainan bervisual terbaik, namun juga dengan gameplay yang kompleks.
Seperti saat game-game 3D pertama itu diperkenalkan, butuh puluhan tahun bagi virtual reality untuk mencapai masa kejayaanya. Dan era VR akan dimulai ketika Project Morpheus atau Oculus Rift diluncurkan nanti.
Yoshida tampak setuju dengan apa yang disampaikan oleh sang pemilik Oculus Rift, Mark Zuckerberg, dimana fungsi optimal virtual reality baru akan terlihat dalam beberapa tahun mendatang – bukan hanya satu dua tahun ke depan.
Sang bos Sony juga mengakui bahwa untuk Project Morpheus mereka, Sony masih mencoba mencari tahu hal-hal seperti apa dan teknologi apa saja yang akan berguna di dalamnya.
Walaupun Yoshida merasa timnya sudah mendekati apa yang mereka targetkan, ia merasa masih banyak hal yang harus ditingkatkan agar produk tersebut menjadi produk konsumen yang optimal – hal yang sama terjadi pada tim pengembang Oculus.
Mengetahui apa yang menjadi andalan sang kompetitor, maka Sony mencoba mengarahkan haluannya ke bidang lain. Contohnya saja dalam versi terakhir Oculus Rift, Development Kit 2, developer mengenalkan fitur low persistence. Yoshida berpendapat saat satu teknologi ditemukan, maka ia berubah menjadi pengetahuan umum.
Info menarik: Facebook Akan Beli Oculus Rift Seharga US$ 2 Miliar
Project Morpheus belum memilki fitur low persistence tersebut, tapi Sony telah mengolah sistem audio 3D dalam headset mereka dengan maksimal dan dipadu dengan integrasi PlayStation Move serta desain yang nyaman. “Dengan mencoba hal-hal baru tersebut, kami saling membantu satu sama lain,” ungkap Yoshida. Walaupun pada dasarnya mereka tidak bekerja sama secara langsung.
Baik Sony dan Oculus memperlihatkan kita bahwa VR bisa dikembangkan dengan metode yang berbeda: Oculus dengan proses development yang terbuka, dan Morpheus dengan pengembangan tertutup. Sony mengerti terdapat kelemahan pada metode yang mereka usung, dan menurut Yoshida, hal tersebut merupakan tantangan terbesar bagi Sony.
Perlahan-lahan, Sony telah mengambil kesempatan untuk mendemonstrasikan Project Morpheus dan membiarkan orang mencoba. Hanya dengan mencobanya konsumen baru bisa paham tentang potensi apa yang menunggu di dalam virtual reality, hal tersebut berlaku bagi Oculus dan juga Sony. Dengan begitu, tumbuh ekspektasi yang tinggi dari khalayak.
Banyak orang membanding-bandingkan Project Morpheus dengan Oculus Rift seakan-akan mereka Apple dan Google. Namun saat Apple dan Google mempunyai pasar yang luas, VR merupakan suatu hal yang baru – mereka bahkan belum memiliki target pasar yang pasti. Itu sebabnya pengakuan brand tidak terlalu penting, yang penting adalah pengembangan virtual reality itu sendiri.
Sumber gambar: Edge-online.com.