Tren ekosistem startup Indonesia

Investasi Semakin Ketat, Ekosistem Startup di Indonesia Tetap Pesat

DSInnovate belum lama ini menerbitkan hasil riset terbarunya bertajuk “Startup Report 2021-2022Q1“, merangkum dinamika industri dan ekosistem startup digital Indonesia. Laporan ini berisi data, perspektif pendiri, dan konsumen mengenai perkembangan bisnis teknologi. Topik baru yang menjadi sorotan tahun ini adalah impact, baik dari sudut pandang investasi maupun startup.

Dalam sesi Mini-Conference, Editor in Chief DailySocial.id sekaligus Direktur DSInnovate Amir Karimuddin memaparkan beberapa poin dalam laporan tersebut.

Setelah sepanjang tahun 2020 Indonesia mengalami masa-masa suram, kala itu beberapa startup tidak bisa melanjutkan bisnis karena satu dan lain hal, tahun 2021 disebut sebagai titik balik bagi ekosistem bisnis digital di Indonesia. Data yang terjadi membuktikan bahwa benar adanya, industri teknologi tanah air tengah memasuki babak baru.

Restrukturisasi sebagai strategi bisnis

Belakangan ini santer terdengar kabar tentang startup yang melakukan layoff. Faktanya, kabar ini datang bukan dari startup di tahap awal atau yang baru merintis, namun beberapa perusahaan yang namanya sudah cukup dikenal. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam industri startup di Indonesia?

Restrukturisasi bukanlah hal yang baru dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Namun ketika hal ini terjadi secara signifikan, itu akan menimbulkan banyak pertanyaan. Untuk menjawab asumsi-asumsi yang muncul ketika berita seperti ini mencuat di media, Amir, merepresentasikan DSInnovate mencoba menjabarkan apa yang mungkin menjadi dibalik panggung restrukturisasi startup teknologi tanah air.

Salah satunya terkait dengan investor yang semakin berhati-hati dalam menggelontorkan dana. Selain isu pandemi, saat ini industri teknologi Amerika Serikat disebut tengah mengalami “Tech Winter” yang dapat diartikan sebagai periode penurunan minat dan investasi dalam teknologi. Mengingat banyak investor yang juga bermarkas di negeri Paman Sam, hal ini tentunya berdampak pada angka investasi dalam negeri.

Dengan pendanaan yang semakin selektif, ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan oleh perusahaan. Untuk perusahaan dengan skala yang besar, tentunya membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit. Hal ini kemudian berdampak pada cashflow. Agar runway tetap terjaga, harus ada upaya penyesuaian bisnis. Salah satunya adalah restrukturisasi atau efisiensi operasional bisnis.

Investor lebih selektif

Turut hadir dalam di sesi Mini-Conference, Deandra Fidelia Marbun selaku Investment Analyst di Central Capital Ventura (CCV) sebagai kendaraan investasi dari  grup BCA. Ia mengungkapkan pandangannya terkait lika-liku pendanaan yang tengah terjadi di tengah industri teknologi tanah air. Mulai dari aspek lokal hingga global.

Di skala lokal, penurunan jumlah pasien Covid-19 memiliki dampak positif. Ekonomi yang kembali tumbuh berpengaruh pada demand masyarakat yang semakin meningkat, lalu berdampak pada inflasi. Di ranah global, lockdown di China, perang Rusia-Ukraina, serta “Tech Winter” yang sebelumnya dibahas turut menjadi bahan pertimbangan. Penyesuaian tidak hanya terjadi pada startup namun juga investor yang menyebabkan investasi semakin ketat.

Ia juga mengungkapkan bahwa saat ini tengah terjadi koreksi pasar. Hal ini sebenarnya sudah diprediksi oleh bisnis atau modal ventura, setelah melihat kemunculan beberapa startup yang overvalued. Dinamika yang terjadi disebut sebagai sebuah ujian dan startup yang bisa bertahan bisa dibilang berkelanjutan (sustainable).

Sebagai sebuah VC, CCV dibentuk dari awal dengan tujuan investasi yang mengarah ke sinergi. Mengingat infrastruktur dan pengalaman yang sudah dimiliki, CCV memiliki fokus pada sektor fintech beserta turunannya seperti embedded finance. Hingga saat ini perusahaan sudah mengelola puluhan portofolio termasuk OY!, Akseleran, wagely, dan Qoala.

Terkait penyesuaian, Deandra menyebutkan bahwa hipotesis perusahaan dalam menyalurkan investasi sudah ditujuakan untuk dinamika startup yang cepat dan volatile, sehingga tidak banyak penyesuaian yang dilakukan. “Namun kami tetap lebih berhati-hati. Lebih baik sustainable growth daripada hyper growth tetapi ketika tersandung langsung jatuh,” tambahnya.

Babak baru industri startup Indonesia

Amir melanjutkan pemaparannya. Melihat perkembangan industri startup Indonesia, pada mulanya adalah e-commerce hadir menjadi lokomotif industri digital, kemudian merambah ke fintech, lalu semakin besar menyasar sektor lain. Setelah masyarakat mulai paham dengan penggunaan fitur finansial secara digital, hal ini akan turut mengakselerasi sektor lainnya.

Penetrasi teknologi di sektor edukasi dan pendidikan secara besar-besaran di masa pandemi juga menciptakan kemajuan yang besar di tahun 2022 ini.

Selain itu, ada tiga sektor yang juga diprediksi akan semakin berkembang di tahun ini; (1) Direct-to-Consumer yang memungkinkan brand untuk mengembangkan target pasarnya; (2) embedded finance, yang menawarkan solusi fintech untuk bisa diimplementasikan atau di-embed di berbagai macam platform; serta (3) Web3, evolusi dari industri internet yang berpotensi menjadi mainstream dalam jangka panjang.

Selain itu, salah satu tren yang juga diangkat dalam “Startup Report” adalah The Rise of Impact Investment. Investor kini tidak hanya tertarik pada sektor mainstream tetapi juga yang punya dampak langsung ke sosial ekonomi masyarakat seperti social commerce, renewable energy, agrikultur, dan lainnya. Tentunya impact investment memiliki mandat lebih berat, karena akan ada metrik tambahan untuk mendampingi metrik-metrik umum.

Deandra juga menambahkan, bahwa investasi berdampak merupakan salah satu yang menjadi value yang dimiliki CCV. Namun, mengingat fokus utama perusahaan adalah sektor fintech, impact yang dimaksud lebih ke ranah sosial yang mengutamakan inklusi finansial. Layaknya fokus investasi CCV yang akan berkaitan dengan fintech atau fintech related.

“Saat ini kita percaya bahwa pada akhirnya, semua jenis startup akan menjadi perusahaan fintech. Hal ini sudah terbukti dengan para startup global, seperti Uber dengan Uber Visa, begitu pula untuk sektor lain juga akan ada fintech angle-nya. Maka dari itu kita punya target investasi tahun ini ke embedded finance,” tambah Deandra.

Mengenai prediksi pertumbuhan startup ke depannya, Amir mengungkapkan bahwa akan ada reality check untuk memastikan bahwa strategi yang digunakan tetap relevan dengan kondisi saat ini, bukan lagi semata-mata growth at all cost.Cashflow positif akan jadi gold standard yang baru. Balancing antara cashflow dan growth akan jadi norma baru bagi startup di Indonesia. Tentunya dengan catatan tetap bisa memenuhi pertumbuhan bisnis sesuai kesepakatan dengan investor,” tutupnya.