Isu Perpajakan Google Indonesia Berbuntut Panjang

Alphabet Inc sebagai induk perusahaan Google ditaksir melakukan penunggakan pajak dalam operasionalnya di Indonesia per tahun 2015 hingga mencapai Rp 5,2 triliun. Sementara Google Indonesia resmi berbentuk PT sejak tahun 2011. Pemerintah pun tak main-main untuk mendalami kasus ini, gertakan pun dilontarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pihaknya akan memperkarakan isu ini di forum internasional. Namun di balik diskusi seputar pelanggaran pajak yang saat ini masih hot, terpercik opini bahwa yang dilakukan Google tersebut merupakan bagian dari strategi untuk meningkatkan keuntungan.

Transaksi bisnis Google Indonesia dipusatkan di kantor pusat Google Asia Pasifik (terletak di Singapura). Dengan argumen tersebut, Google Indonesia mengklaim tidak perlu membayar pajak seperti yang diduga pihak pemerintah Indonesia.

“Argumen Google adalah mereka hanya melakukan tax planning. Namun perencanaan pajak secara agresif yang menyebabkan negara tempat mereka mendapatkan penghasilan itu tidak mendapatkan apa pun adalah ilegal,” kata Kepala Kantor Wilayah Jakarta Khusus Ditjen Pajak Muhammad Haniv.

Saat ini kasus Google tengah ditangani oleh Kemenkeu dan Kemenkominfo. Kemenkeu lebih banyak melakukan manuver untuk menambah bukti-bukti pelanggaran perpajakan, sedangkan Kemenkominfo terus menekan kepada Google dan pemain OTT (Over The Top) multinasional lain untuk segera merealisasikan BUT (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia. Isu perpajakan yang melibatkan pemilik uang di luar negeri dewasa ini terus mencuat di permukaan, seiring dengan kebijakan Tax Amnesty yang dicetuskan pemerintah. Tak sedikit yang “ketar-ketir” dengan kebijakan ini, namun banyak yang merasa diuntungkan.

Strategi perusahaan dalam meminimalkan pembayaran pajak

Meja hijau dan urusan perpajakan tampaknya tak pernah membuat Google merasa kapok. Di Inggris, pada tahun 2011 silam Google terindikasi menunggak pembayaran pajak hingga Rp 7,7 triliun. Namun dalam pelaporan perpajakan Google berhasil meloloskan pembayaran. Kesengajaan tersebut akhirnya terbongkar, bahwa pihak Google mengalihkan perputaran transaksi ke Bermuda (negara bebas pajak). Skema sama yang turut dilakukan (mungkin tidak hanya oleh Google) dengan operasinya di Indonesia dan meletakkan perputaran transaksi bisnisnya di Singapura.

Secara naluriah pun akal sehat mudah memahami, bagaimana bisnis berambisi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, namun membayarkan pajak sekecil-kecilnya. Akan tetapi isunya sekarang adalah soal transparansi dan bagaimana negara konsumen besar seperti Indonesia yang dimanfaatkan begitu saja tanpa adanya imbal balik pemasukan pajak yang sesuai. Secara kasat mata begitu terlihat market-share Google sebagai layanan OTT begitu mendominasi di Indonesia. Bahkan berhasil membudaya sebagai “mbah” yang biasa ditanya ketika orang memerlukan sesuatu, “coba cari di mbah Google”.

Selain Inggris, ada juga Italia, Perancis, Tiongkok, Spanyol dan India yang sempat mempermasalahkan isu pajak kepada Google. Keyakinan pemerintah:

“Dengan menolak diperiksa, ada indikasi pidana, sudah pasti, mutlak. Dan mereka juga menolak ditetapkan sebagai BUT. Kami akan segera melakukan investigasi.”

Pertanyaannya, sejauh mana pemerintah mampu memberikan ancaman kepada Google? Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menekan pemerintah untuk tegas, bahkan meminta tidak segan untuk menutup jika terbukti menyeleweng.

Objek pajak untuk produk atau layanan berbasis OTT

Aktivitas bisnis Google memang tampak transparan, dilakukan secara elektronik dan memerlukan skema khusus dalam perhitungan rugi-laba. Menurut Menkeu Sri Mulyani aktivitas elektronik tersebut adalah objek pajak, sehingga wajib membayar pajak di Indonesia dan memberlakukan kesetaraan pajak. Turut diakui bahwa masih ada “masalah pajak” berkaitan dengan transaksi elektronik, namun hal tersebut juga dialami oleh banyak negara.

“Kami telah sampaikan kepada Google untuk juga memperlakukan tax (pajak) yang setara di Indonesia. Transaksi yang masuk ke revenue (pendapatan) Google yang berasal dari Indonesia dan ads (iklan) yang ditujukan, targeted untuk Indonesia bagaimana agar Google juga membayar pajak. Dipersilakan Google menempatkan permanent establishment (bentuk usaha tetap) di Indonesia,” kata Plt. Kepala Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Noor Iza.

Tak mudah memang untuk menelusuri bentuk transaksi elektronik. Studi kasusnya seperti ini, katakanlah ada sebuah perusahaan penyedia layanan streaming. Kepada pelanggannya di Indonesia ia menetapkan transaksi langsung dengan rekening yang dimiliki perusahaan di negara lain. Maka secara de-jure perpajakan pun menjadi kewajiban perusahaan di negara lain tersebut, kendati konsumen membeli dari Indonesia. BUT adalah isu utamanya. Ketika sebuah perusahaan seperti Google belum menjadi BUT, maka PPN tidak menjadi kewajiban untuk setiap transaksi yang dilakukan.

Bagaimana ke depannya, baik langkah Google dalam menyelesaikan masalah ataupun langkah pemerintah untuk bisa bertindak tegas, kita masih harus menunggu. Harapannya kasus ini menjadi pelajaran untuk semua pemain OTT multinasional di Indonesia. Tak hanya dimanfaatkan sebagai ladang keuntungan saja, namun Indonesia turut mendapatkan untung dari potensi konsumen yang diberikan, 100 juta pengguna internet aktif yang masih terus bertumbuh.