Jalan Panjang “Bot” dan Kecerdasan Buatan di Indonesia

Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan tengah menjadi perbincangan hangat dalam beberapa tahun belakangan ini dan Indonesia menjadi salah satu negara yang mulai ikut meliriknya. Saya mendapat kesempatan berbincang dengan Adrian Li (Convergence Venture), Irzan Raditya (YesBoss), dan Jim Geovedi (computer scientist praktisi machine learning) untuk membahas lebih jauh seperti apa perkembangan AI nantinya di Indonesia, terutama teknologi bot (kependekan dari robot) yang saat ini tengah naik daun lewat layanan chatbots.

Kecerdasan buatan, bot, dan hal yang mampu dilakukannya

Merujuk pada Oxford Dictionaries, AI adalah teori dan pengembangan sistem komputer yang mampu melakukan sejumlah tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia seperti persepsi visual, pengenalan suara, pengambilan keputusan dan terjemahan antar bahasa.

Jim menjelaskan bahwa AI sendiri identik dengan kata robot (sering disingkat dengan bots) yang saat ini biasa digunakan untuk merujuk pada mahluk mekanik atau program komputer (software agent) virtual. Lebih jauh, istilah bot ini juga sering dikombinasikan dengan kata lainnya untuk membentuk istilah baru (portmanteau) seperti chatbots dan botnet.

Adrian Li mengatakan, “Pada dasarnya, AI dan bot ini menggunakan komputasi canggih untuk menggantikan tanggapan manusia dan tugas-tugas sederhana. Contohnya ditunjukkan melalui game strategi seperti Catur, Go, dan simulasi interaksi. AI yang sesungguhnya mampu belajar melalui interaksi dan mengembangkan kesadaran diri. Namun, dalam arti praktis saat ini AI digunakan untuk mengotomatisasi tugas-tugas dasar seperti penjadwalan pertemuan atau pengolahan Natural Language Processing [NLP] melalui chatting bot.”

Sementara itu Irzan mengatakan, “AI ini yang sedang banyak dikembangkan oleh banyak orang lebih ke arah NLP tapi cakupannya sebenarnya luas. […] Sedangkan chatbots itu adalah produk, tidak harus merupakan AI. […] AI itu ada sebagai otak yang membuat conversation­-nya seperti sedang berbicara dengan manusia.”

Meski dalam 50 tahun belakangan ini AI telah mengalami peningkatan yang drastis, AI juga sempat mengalami penurunan kepercayaan untuk pengembangannya di tahun 1970-an. Jim mengungkapkan, kondisi ini disebut “AI Winter” di kalangan pengembang. Butuh satu dekade untuk bisa bangkit kembali setelah sejumlah inisiatif komersil muncul dengan target-target yang realistis dan tidak seambisius sebelumnya.

Jim mengatakan, “Sampai saat ini kecerdasan buatan yang sesungguhnya memang belum tersedia. Namun, jawaban terhadap pertanyaan ‘Apa yang mereka bisa lakukan dalam kehidupan kita?’ bisa diperlihatkan oleh implementasi AI […] seperti program SIRI yang dikembangkan Apple,[…] mekanisme rekomendasi teman atau post di Facebook, layanan ‘OK, Google’, […] atau autonomous cars yang dikembangkan oleh Tesla, Google, atau Baidu.”

Naiknya popularitas AI dan chatbots di Indonesia

Menurut Jim, sejumlah kolega ilmuan dan pengembang AI menyebutkan bahwa momentum kebangkitan kembali penelitian di bidang ini dimulai ketika sebuah lokakarya bertemakan “Deep Learning for Speech Recognition and Related Applications” bersamaan dengan konfrensi tahunan NIPS pada tahun 2009 digelar. Di samping itu, majunya penelitian di bidang perangkat lunak, perkembangan perangkat keras, dan biaya pengolahan big data yang makin terjangkau juga turut memberikan kontribusi terhadap kebangkitan AI.

Di Indonesia sendiri chatbots yang identik dengan AI kini tengah naik daun dan dinilai memiliki potensi pengembangan bisnis yang bagus. Adrian menjelaskan bahwa salah satu alasan chatbot mulai dilirik yaitu karena chat adalah UI (User Interaction) yang paling mudah dan sederhana untuk digunakan oleh pengguna awal internet atau e-commerce untuk berinteraksi. Perusahaan seperti YesBoss yang telah mengembangkan NLP dan memungkinkan orang untuk secara mudah meminta layanan apapun melalui chatting adalah salah satu bukti yang sangat populer.

Lebih jauh, Adrian mengatakan, “Meski chatting adalah UI yang kuat untuk meningkatkan konversi dan interaksi secara tradisional, ini sangat unscalable. Anda memerlukan operator manusia di sisi lain. Namun, kemajuan dalam NLP dan dasar AI memungkinkan kita untuk mengotomatisasi interaksi chatting yang kemudian membuat UI chatting terukur dan bisa dikomersilkan.”

Sementara itu Jim menyampaikan jawaban yang diperolehnya dari Yohanes Nugroho terkait dengan popularitas bot yang mulai naik.

“Ada faktor kejenuhan pengguna pada apa yang ditawarkan ‘apps’ pada umumnya, selain itu kebanyakan UI/UX dari ‘apps’ tersebut dinilai kurang baik sehingga membuat repot pengguna dalam menemukan apa yang mereka cari.”

Faktor lain yang membuat popularitas teknologi chatbots naik yang disampaikan oleh Irzan adalah pesatnya perkembangan media sosial dan karakter orang Indonesia yang gemar mengobrol lewat aplikasi.

Pendekatan mengembangkan bisnisnya di tahap awal

Kecerdasan buatan dan bot butuh masukan data yang memadai dan kolaborasi berbagai pihak / Flickr - Sean Davis
Kecerdasan buatan dan bot butuh masukan data yang memadai dan kolaborasi berbagai pihak / Flickr – Sean Davis

Sebagai salah satu pemain di industri, Irzan sendiri optimis dengan arah perkembangan AI di Indonesia ke depannya. Ada banyak ranah yang bisa dijamah oleh AI, mulai dari e-commerce, institusi finansial, hingga pemerintahan. Singapura pun kini tengah dalam perbincangan mengembangkan chatbots dan Irzan percaya bahwa Indonesia juga bisa melakukan hal yang sama ke depannya meski waktu yang dibutuhkan akan jauh lebih lama mengingat keragaman bahasa yang dimiliki.

Jim mengatakan, “Untuk konteks chatbots, saya melihat potensi implementasi yang berhubungan dengan pelayanan pelanggan [customer service] dan layanan asisten digital yang bisa berfungsi sebagai pemberi rekomendasi produk. Pendapat saya tersebut didasarkan atas obvervasi personal saya terhadap pola interaksi pengguna dengan pembuat produk maupun penyedia layanan. Misalnya […] cukup banyaknya akun resmi jenama [merek] di Twitter atau Facebook Pages mulai menanggapi keluhan layanan yang disampaikan.”

Pun demikian, ada beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh para pelaku pengembang AI di Indonesia. Irzan dan Adrian senada menyebutkan bahwa mengumpulkan data adalah salah tantangan terbesar dalam mengembangkan AI. Konsistensi penggunaan bahasa Indonesia oleh penuturnya baik secara lisan maupun tulisan juga akan menjadi salah satu tantangan lainnya.

Adrian mengatakan, “Salah satu tantangan utama dengan mengembangkan NLP yang diandalkan untuk chatting AI adalah input data yang cukup. Pengembangannya tidak hanya menciptakan kode yang dapat memahami permintaan manusia, tetapi input data yang besar dari permintaan juga dibutuhkan dalam rangka menciptakan pengenalan pola dan memahami semua jenis variasi dalam membuat permintaan. Oleh karena itu dalam rangka untuk mengembangkan mesin NLP diandalkan perusahaan akan perlu memiliki volume besar [1M +] permintaan untuk belajar dari itu.”

Adrian dan Irzan juga menyampaikan nada yang sama bahwa di fase awal ini layanan gratis akan diperlukan dalam rangka mengembangkan bot. Namun, ke depannya chatting sebagai sebuah layanan on demand berbasis AI akan menjadi bisnis yang handal dan bisa ditawarkan kepada UKM atau pedang untuk pemasaran produk yang lebih baik.

“Ini tentang mengedukasi pasarnya untuk memenangkan market share-nya” ujar Irzan.

Harapan untuk masa depan AI dan bot di Indonesia

Meluncurkan teknologi atau layanan AI tidak sesederhana meluncurkan layanan e-commrce. Di samping memerlukan masukkan data yang memadai untuk membuat sebuah engine yang bisa mengolah bahasa Indonesia dengan segala akronim yang ada, keterbukaan penelitian untuk berkolaborasi dan saling berkontribusi juga diperlukan.

Irzan mengatakan, “Kita [Indonesia] butuh lebih banyak kolaborasi antar penyedia jasa, penyedia API di sini [Indonesia], dan butuh banyak developer lokal belajar ke arah AI. Karena tanpa tenaga manusianya itu sendiri teknologi ini tidak akan terwujud.”

Sementara itu Jim menyampaikan bahwa dirinya berharap pengembangan teknologi-teknologi tersebut bisa dilakukan secara terbuka dengan kontribusi aktif ke komunitas karena pengembangan di area tersebut tidak mungkin dilakukan seseorang atau perusahaan berskala kecil sendirian. Untuk jangka panjang, Jim juga mengharapkan ada keterlibatan aktif dunia akademia pada bidang tersebut.  Jika kontribusi secara teknologi maupun investasi dirasa sulit dilakukan, sebuah entitas bisa merilis dataset untuk keperluan training.

“Saya sangat sadar bahwa teknologi kecerdasan buatan sangatlah seksi buat banyak orang, namun perlu disadari bahwa perjalanan untuk mengembangkannya masih sangat jauh terlepas dari apa yang sudah dicapai saat ini. Penyesuaian ekspektasi dan strategi implementasi yang baik juga perlu dilakukan sehingga ‘AI Winter’ kedua tidak perlu terjadi,” tandas Jim.