Karaniya Dharmasaputra: Kekuatan Digital dalam Demokratisasi Akses Investasi untuk Semua

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Karaniya Dharmasaputra adalah Co-Founder dan CEO dari Bareksa, pasar reksa dana online terintegrasi pertama di Indonesia. Saat ini, beliau juga menjabat sebagai President of OVO, salah satu platform pembayaran yang telah diterima baik di toko retail O2O maupun platform e-commerce.

Sebelum memasuki industri financial technology, Karaniya pernah menduduki berbagai posisi di perusahaan media ternama. Beberapa di antaranya adalah KOMPAS TV, KapanLagi Youniverse. Liputan6.com, The Jakarta Post, VIVA, dan TEMPO.

Dedikasinya pada jurnalisme telah memberinya gelar Master dalam Kebijakan Publik melalui program beasiswa Fullbright di Universitas George Washington, Washington DC, Amerika Serikat. Di sinilah dia memiliki pengalaman yang membuka mata dengan industri digital. Dia percaya kekuatan digital bisa mendemokratisasi akses bagi semua.

Tim DailySocial melakukan diskusi yang cukup mendalam dengannya, dan berikut pemaparannya.

Saat ini, Anda menjabat sebagai Co-founder dan CEO dari Bareksa, juga sebagai Presiden OVO. Bagaimana tantangan yang dihadapi selama mengemban dua posisi?

Saat ini, saya merasa hidup saya disetir oleh kalender, hal ini layaknya kompetisi yang terjadi dalam jadwal saya. Tidak ingin terdengar terlalu sibuk, tapi memang ini merupakan bagian dari pekerjaan. Untungnya, Ovo dan Bareksa memiliki visi yang sejalan dan juga sinergi yang cukup kuat. Oleh karena itu, bisnis ini tidak sepenuhnya terpisah dan kami pun banyak bersinggungan sepanjang perjalanan bisnis. Tahun lalu, Ovo turut berinvestasi di Bareksa dan sejak saat itu, sinergi kami semakin kuat. Baru-baru ini, OVO juga berekspansi ke layanan keuangan dan investasi, dan masih akan ada lebih banyak lagi.

Media gathering OVO 2020
Media gathering OVO 2020

Bagaimana awal mula perjalanan bisnis Anda? Dari perusahaan media hingga teknologi finansial

Sejak SMP, saya memiliki hobi yang cukup berbeda, membaca berita dari koran harian, majalah, dan televisi. Impian saya waktu itu adalah menjadi seorang arsitek atau jurnalis. Saya akhirnya diterima di jurusan komunikasi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Beberapa waktu saya menyempatkan untuk hadir dalam gerakan aktivis, hanya untuk mendapatkan pengalaman yang lebih kritis sebagai mahasiswa.

Saya memulai karir sebagai desainer grafis dan ilustrator. Pada saat yang sama, saya juga menaruh minat pada urusan publik. Tidak bermaksud terlihat sebagai orang yang sangat idealis, tetapi saya selalu berpikir bahwa hidup tidak hanya tentang menghasilkan uang. Memiliki nilai tambah dalam hidup, menimba pengalaman, serta menjadi berguna untuk orang lain juga patut diperjuangkan. Pengalaman pertama saya di perusahaan media adalah ketika saya wawancara dengan Tempo dan menjadi jurnalis bidang politik dan bisnis.

Perjalanan lain dimulai ketika Kedutaan Besar AS menawarkan saya beasiswa Fullbright. Saya tidak pernah terpikir untuk melanjutkan studi, hingga pada akhirnya bisa menyelesaikan gelar master dalam kebijakan publik dari Universitas George Washington. Ini menjadi titik balik hidup saya.

Jika bisa dikategorikan, ada tiga gelombang digital yang terjadi di Indonesia. Pertama, menghantam industri media kita. Lalu, kebangkitan e-commerce. Terakhir, terjadi pada teknologi keuangan. Saya dikirim ke AS pada tahun 2004, gelombang pertama sudah mulai merebak di industri media. Saat itu, belum ada jurnalisme multimedia.

Pengalaman digital pertama saya di AS cukup mencengangkan. Saya tidak berasal dari keluarga bangsawan, beasiswa saya pas-pasan untuk menutupi pengeluaran saya dengan seorang istri dan tiga anak. Setiap hari, saya menonton berita, dan sangat kagum dengan bagaimana dunia digital bisa berubah dan menghilangkan batasan apapun pada media konvensional.

Suatu hari, saya melihat sebuah skandal diceritakan dengan cara yang sangat komprehensif dimana Anda bisa menggali sedalam-dalamnya menggunakan multimedia dan hyperlink. Semuanya terhubung dan sangat interaktif. Inilah kekuatan nyata dunia digital. Belum lagi peran e-bay dan amazon yang sangat membantu saya menghemat uang. Semua adalah pengalaman yang membuka mata saya. Lalu, saya putuskan untuk terjun ke dunia digital.

Kembali ke Indonesia, semuanya berbeda lagi. Saya merekomendasikan solusi digital untuk perusahaan saya saat itu, tetapi mereka menolak tawaran yang meminta saya untuk lebih fokus pada bisnis inti saja. Saat itulah saya menyadari bahwa inilah saatnya untuk mulai membangun bisnis digital. Saya mencari investor dan membuat Viva.co.id. Kami fokus mendidik masyarakat Indonesia dengan layanan digital, e-commerce, dan lain-lain. Saat itu, Bukalapak dan Tokopedia mungkin masih dalam tahap awal.

Bareksa and Ovo's synergy / Bareksa
Co-founder Bareksa Karaniya Dharmasaputra bersama CEO Ovo Jason Thompson dalam peluncuran sinergi perusahaan / Bareksa

Enam tahun yang lalu, apa yang mendorong Anda untuk membentuk Bareksa dan masuk ke ranah teknologi finansial?

Dari segi akta, Bareksa didirikan pada tahun 2013. Kami memulainya dengan tim yang sangat kecil dalam mengonsep business plan. Platform yang diluncurkan pada 2015 itu lebih seperti ruang informasi dan data. Tahun 2014-2015 lalu, perusahaan teknologi belum diizinkan menjual reksa dana dan produk investasi, kami harus bekerja sama dengan perusahaan sekuritas.

Dalam perjalanan sebagai “orang media”, saya telah meliput beberapa berita bisnis keuangan dan investasi. Saya selalu melihat dunia keuangan [Indonesia] kita sangat elitis. Akses publik tidak tersedia atau cukup sulit. Saya mulai berinvestasi tetapi dengan cara konvensional, hal itu mungkin merupakan pengalaman pengguna yang memakan waktu. Fintech bahkan belum lahir saat itu. Namun, saya sangat percaya dengan gelombang digital yang akan segera tiba di sektor keuangan. Dengan beberapa koneksi di bisnis pembiayaan dan pengalaman membangun perusahaan digital, Bareksa menjadi fintech berlisensi pertama oleh OJK sebagai agen penjualan online pada tahun 2016.

Saya memaparkan masalah dalam industri reksa dana kita, penetrasi yang rendah dalam hal penawaran dan permintaan. Banyak perusahaan pengelola aset lokal yang kesulitan menemukan jalur distribusi karena masih bergantung pada perbankan. Dari segi permintaan, penetrasi cukup rendah. Daripada mengatakan untuk tidak menabung di bank, kami ingin memperkenalkan bahwa ada instrumen investasi lain yang aman dan stabil yang sangat populer di negara lain yang disebut reksa dana. Masalahnya, orang-orang kita belum mengerti dan tidak memiliki akses. Inilah mengapa saya memulai Bareksa.

Dalam situasi sperti ini, banyak startup yang mengalami guncangan hebat bahkan sampai menutup bisnisnya. Bagaimana isu ini berdampak pada industri teknologi finansial?

Berbicara sebagai Presiden OVO, menurut saya pandemi ini menunjukkan bahwa ekonomi digital yang didorong oleh teknologi keuangan akan tumbuh secara eksponensial. Apalagi dengan pergeseran perilaku konsumen ke digital, tidak hanya di e-commerce tapi juga di sektor fintech. Berdasarkan data OVO saja, transaksi di e-commerce melonjak sekitar 110% -120%, pesan-antar makanan 15% -20%. Selain itu, permintaan pinjaman pedagang online meningkat hampir 50%.

Ketika pemerintah mengumumkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional, saya merasa sangat terpukul. Saya pikir, siapa yang mau berinvestasi saat ekonomi sedang turun. Namun, saya menemukan sesuatu yang menarik saat melihat angka-angka itu pergi. Ketika ICI turun 38%, AUM Bareksa hanya turun 12%. Selain itu, jumlah transaksi dan pengguna baru terus meningkat. Hanya dalam waktu 3-4 minggu setelah pengumuman pandemi, kami sudah mencapai rebound. Ini menunjukkan fakta bahwa investasi online yang didorong oleh teknologi keuangan semakin tangguh.

Mengenai tantangan dalam industri ini, apakah ada pengalaman yang bisa Anda bagikan selama menjalani bisnis?

Saya selalu mengagumi anak muda yang gigih, dan berkemauan keras, mereka ada di antara kita, dalam industri teknologi. Tahun pertama hingga ketiga dalam membangun usaha menjadi yang paling menantang. Saya juga frustrasi dalam waktu yang lama, saat-saat seperti ini, penting untuk tidak kehilangan harapan. Selain terkait hal emosional, sangat penting untuk memulai usaha baru dengan menentukan model bisnis yang tepat. Pada akhirnya, kita harus rendah hati untuk melepaskan ego serta membuka peluang kolaborasi.

Anda tercatat sebagai salah satu petinggi asosiasi AFTECH, boleh diceritakan bagaimana peran Anda serta asosiasi dalam kontribusi untuk mengembangkan sektor teknologi finansial di Indonesia?

Fintech merupakan industri yang sarat regulasi dan ekosistem menjadi sangat penting. Sementara, regulasi keuangan kita masih didorong oleh industri keuangan konvensional. Sedangkan regulasi akan mempengaruhi pertumbuhan industri fintech. Oleh karena itu, menurut kami penting untuk membentuk asosiasi ini agar dapat melakukan aksi kolektif untuk bekerjasama dengan pemerintah. Dengan demikian, kita dapat memiliki ekosistem keuangan yang kompatibel untuk permintaan teknologi keuangan kita.

Courtesy by Bareksa
Dokumentasi oleh Bareksa

Apa yang menjadi ambisi terbesar Anda saat ini? Pernahkah terfikir untuk memulai sesuatu yang baru dalam situasi WFH ini?

Untuk saat ini, bejana saya cukup penuh dengan OVO dan Bareksa. Masih banyak yang ada di pipeline kita. Lagipula, kami sedang berada di tengah integrasi. Masih banyak ruang untuk sinergi. Jika ada kesempatan, saya sangat berharap untuk mewujudkan sinergi segitiga besi versi Indonesia di industri teknologi kita.

Bagaimana perspektif Anda terkait era “new normal” serta pengaruhnya pada keseluruhan ekosistem?

Sebenarnya polanya sudah mulai terlihat. Akan ada banyak sektor yang sangat mengandalkan teknologi digital. Saya melihat adopsi digital telah menjadi faktor kunci, tidak hanya untuk bertahan tetapi juga untuk berkembang. Saya pikir inilah mengapa saya sangat bersemangat bekerja di industri digital. Saya melihat kekuatan besar dalam digital yang dapat berguna bagi pemerintah untuk mendemokrasikan ekonomi kita. Saat ini UKM dapat memiliki kesempatan yang sama untuk memasarkan produknya bersama dengan pemain besar lainnya. Mereka bisa bersaing di level yang sama. Ini adalah transformasi yang luar biasa. Bagaimana perusahaan digital memberikan akses yang setara untuk semua orang, tidak hanya para pemain besar. Saya pikir itulah inti dari digitalisasi.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian