Kebangkitan Angel Investor Lokal

Jika Anda rajin membaca blog teknologi lokal atau Asia, Anda pasti sadar kalau belakangan ini jumlah startup asal Indonesia yang memperoleh pendanaan semakin banyak. Memang masih belum sebanding dengan apa yang terjadi di India atau Tiongkok, namun pastinya hal tersebut telah berkembang berkali-kali lipat dibandingkan lima tahun yang lalu.

Jumlah VC yang menyasar Indonesia semakin bertambah. Saya kerap bertemu dengan para investor asing yang tengah mempertimbangkan untuk mulai memasuki pasar Indonesia. Beberapa sama sekali buta tentang peta persaingan di Indonesia, namun mereka sepakat bahwa Indonesia merupakan pasar yang luar biasa potensial. Mereka mungkin tidak berbeda dari orang-orang yang membeli smartphone yang berharga luar biasa mahal, padahal fitur yang mereka cari hanyalah ‘Kamera’. Namun kali ini saya tidak akan membahas hal tersebut, karena saya akan lebih berfokus pada isu lainnya.

Selagi para bisnis “masa depan” ini menikmati publisitas yang lebih besar dan menghabiskan lebih banyak uang untuk beriklan, keunikan mereka justru cenderung berkurang. Beberapa pemain seperti Go-Jek bahkan tidak perlu untuk secara khusus mengeluarkan uang untuk beriklan, karena warna hijau pada helm dan jaket para pengendaranya sendiri, yang bahkan lebih umum ditemukan daripada warna hijau pada daun dan pohon, telah menjadi media iklan yang paling efektif.

Merupakan suatu hal yang positif untuk melihat semakin banyak pengguna menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut, menandakan bahwa para startup tersebut sebenarnya memiliki kapasitas untuk menjadi mainstream. Jika Ibu saya tahu nama-nama startup tersebut, maka Anda bisa pastikan bahwa mereka telah menjadi mainstream. Janji indah Indonesia sebagai pasar potensial dengan 250 juta jiwa semakin mendekati kenyataan, meskipun masih banyak yang harus dilakukan.

Selain para pengguna, hal ini juga menarik minat para investor. Saya memang menyebutkan VC di paragraf sebelumnya. Namun hal yang menarik adalah fakta bahwa angel investor lokal kini mulai menjamur di Indonesia. Hebatnya, ekosistem Indonesia dapat berkembang sejauh ini tanpa dukungan kuat dari investasi para angel investor.

Jika Anda adalah startup yang hanya mencari pendanaan sebesar IDR 250 juta (~ US$ 15 thousand) untuk memulai bisnis mereka, kemana Anda akan pergi? Uang sebanyak itu terlalu kecil bagi (kebanyakan) VC. Beberapa pendiri startup sangat hebat dalam bidang mereka sehingga mereka dapat terhubung dengan jaringan dari jaringan mereka, termasuk para angel investor yang berminat pada bisnis mereka. Namun jumlah startup yang memperoleh pendanaan dari angel investor seharusnya jauh lebih banyak lagi.

Ini merupakan data yang saya peroleh dari Angel Labs mengenai fakta yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2013:

Angka di atas memang lebih mengejutkan jika kita bandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Namun bukan itu maksud saya. (Oh ya, cukup mengejutkan ketika mengetahui bahwa para angel investor ternyata bersedia untuk berinvestasi nyaris sebanyak VC).

Lihat saja jumlah pendanaan yang terjadi serta jumlah angel investor yang berniat untuk berinvestasi. Untuk setiap pendanaan dari VC, terdapat 18 pendanaan dari angel investor. Dan untuk setiap perusahaan VC, terdapat 320 angel investor! Jika kita asumsikan bahwa ada 1 pendanaan VC setiap minggunya (paling tidak yang dipublikasikan), maka paling tidak ada 18 pendanaan angel setiap minggunya di seluruh Indonesia.

Jika kita asumsikan bahwa saat ini ada 50 perusahaan VC yang beroperasi di Indonesia, maka saya yakin bahwa kita tidak memiliki 16,000 angel investor yang siap untuk berinvestasi di startup. Sebuah ekosistem yang sehat memerlukan investor yang siap untuk berinvestasi pada setiap tahap pendanaan. Para angel memerlukan VC untuk menindaklanjuti investasi pada startup yang berkembang. VC memerlukan angel untuk mendanai pendanaan awal mereka yang, pada akhirnya, akan mengisi saluran investasi mereka.

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, kini semakin banyak pengusaha mapan yang mulai bertanya-tanya mengenai kesempatan untuk berinvestasi di startup. Mereka sendiri telah cukup sukses dalam sektor-sektor yang lebih ‘tradisional’: pertambangan, perkebunan, properti, media, ritel, dll. Ketika pertumbuhan ekonomi melambat pada 2015 (meskipun beberapa orang berpendapat bahwa kondisi ini sama seperti pada saat krisis tahun 1997, mereka perlu untuk membaca buku makro ekonomi lama milik saya), mereka menunda keputusan untuk berinvestasi di sektor-sektor tersebut karena bisnis mereka terkena dampaknya.

Beberapa bahkan mengakui bahwa mereka menguangkan saham mereka sebanyak mungkin dan meminimalisir kerugian. Hal ini menciptakan banyaknya uang yang tidak terpakai dan beberapa dari mereka bersedia untuk bereksperimen dengan menginvestasikan sejumlah kecil uang mereka pada sektor yang perkembangannya cenderung stabil: teknologi.

Saya terus mendengar ucapan seperti ini berulang kali, “Beritahu saya jika Anda memiliki peluang yang menarik, saya ingin mulai berinvestasi di startup-startup tersebut.”

Banyak orang percaya bahwa teknologi merupakan bagian yang penting dari bisnis apapun di masa depan. Meskipun kepentingan Kinara lebih mengarah pada agrikultur, pendidikan, kesehatan, keuangan, lingkungan dan (beberapa) ritel, kami sudah mulai melirik beberapa komponen teknologi. Beberapa media bahkan menamakan sektor-sektor tersebut agritech, edutech, healthtech, fintech, dan cleantech untuk membuatnya terdengar lebih keren (seolah-olah kita belum muak dengan akhiran –preneur).

Kembali ke poin awal saya, saya rasa hal ini merupakan hal yang positif. Jika Anda memiliki startup fintech, bukankah menyenangkan untuk memiliki angel investor yang berprofesi sebagai bankir? Sama seperti startup edutech yang akan sangat senang jika memiliki angel investor yang memiliki banyak sekolah. Hal ini memberikan nilai lebih dibandingkan dengan nilai uang yang ditawarkan.

Jadi, mengapa harus khawatir?

Sebagai mantan bankir dan seorang investor, saya dilatih untuk menemukan resiko dalam segala hal. Anda boleh menyebutnya sebagai sifat negatif, namun kini saya dapat menjelaskannya setelah menonton film Inside Out. Fear dan Disgust melindungi Riley dari kecelakaan dan momen memalukan dalam hidupnya! Meskipun saya selalu percaya bahwa kita butuh lebih banyak angel investor, ada beberapa hal yang perlu dipahami oleh para angel investor ini sebelum memulai komitmen mereka.

  1. Biarkan para pendiri startup tetap memegang mayoritas saham

Bagi para investor tradisional, hal ini mungkin terdengar tidak intuitif. Meskipun kebanyakan startup baru belum memiliki aset dan para pendirinya belum memiliki uang untuk berinvestasi, namun lebih baik jika para angel investor hanya mengambil sebagian kecil saham. “Apa?? Saya yang mengeluarkan uang namun mereka yang dapat saham lebih banyak??”. Ada alasannya mengapa Anda sebaiknya mengenal pendiri startup tersebut dengan SANGAT BAIK sebelum menanamkan uang Anda di perusahaan mereka. Hal ini mungkin terdengar klise, namun ketika Anda ingin berinvestasi pada startup, maka Anda berinvestasi pada timnya.

Percayalah, saya dulu cukup bodoh karena mengetahui hal ini namun tidak mempraktikkannya. Kami jatuh cinta dengan ide yang brilian, namun kemudian harus menerima kenyataan bahwa sang pendiri startup tidak dapat mengeksekusi ide tersebut. Kami kehilangan uang kami dan tidak menerima apa-apa kecuali slide presentasi yang menawan (mungkin memang kita harus menjadikannya sebagai pengingat bagi semua tim kami). Nah, bukankah ‘sekedar’ ide tersebut yang membuat para angel investor akhirnya meminta saham mayoritas? Sayangnya, baik itu mayoritas maupun minoritas, nol tetaplah nol.

Satu-satunya alasan untuk membiarkan para pendiri startup tetap memegang mayoritas sahamnya adalah karena kita percaya mereka 100% dan kita percaya penuh bahwa bisnis tidak akan berjalan tanpa mereka. Jika Anda tidak dapat mempercayai mereka, maka jangan buang uang Anda. Situasi terburuk adalah jika mereka kehilangan motivasi dan meninggalkan perusahaan. Mungkinkah bisnis Anda tetap berjalan dan menghasilkan? Atau apakah Anda hanya akan mendapatkan nol besar?

(Hal ini memang pernah terjadi sebelumnya, seorang investor mengambil alih sebuah bisnis yang terancam bangkrut dan mengembalikannya menjadi raksasa. Namun orang tersebut adalah Tony Hsieh dan startup tersebut adalah Zappos. Anda dapat membaca kisahnya dalam buku berjudul Delivering Happiness. Jika Anda yakin bisa sebagus Tony, silakan saja).

“Ideas are just a multiplier of execution” ~Derek Sivers

  1. Bersiaplah untuk bekerja keras

Kebanyakan angel investor di Amerika Serikat merupakan mantan pengusaha yang kaya raya karena berhasil menjual perusahaan yang mereka bangun dari bawah. Dan mereka keranjingan dalam membangun sesuatu. Ketika mereka berinvestasi, mereka suka untuk menghabiskan waktu mereka dengan pengusaha tersebut dan membantu mereka memecahkan permasalahan yang ada. Mereka juga siap untuk membantu para pengusaha tersebut terhubung dengan jaringan mereka. Mereka terkadang duduk di jajaran komisaris namun tidak bersikap seperti jajaran direksi di perusahaan besar yang hanya duduk dan menerima laporan bulanan serta mengadakan rapat bulanan. Pendeknya, bersiaplah untuk ikut bekerja keras.

Tentu saja ada bahayanya jika Anda terlibat terlalu jauh. Banyak lelucon di luar sana menceritakan tentang hal ini (contoh paling ekstrim adalah Russ Hanneman & Erlich Bachman di serial TV Silicon Valley). Namun berdasarkan pengalaman pribadi saya dengan startup Indonesia, mereka biasanya memerlukan bantuan dari para investor dalam banyak hal. Maka bersiaplah untuk ikut bekerja keras jika diminta, lalu duduk tenang dan membiarkan mereka melakukan sisanya. Jangan lupa untuk memberitahu mereka bahwa Anda siap untuk membantu mereka dalam menyelesaikan masalah.

Beberapa ‘angel’ yang saya temui merupakan profesional yang masih bekerja. Logikanya mereka pasti sangat sibuk. Mereka mungkin memang menghabiskan 1-2 jam untuk ‘membimbing’ para pengusaha setiap bulannya, namun itu tidaklah cukup. Saya sendiri mengakui bahwa saya masih berjuang untuk menyeimbangkan antara pencarian terhadap potensi investasi baru dengan pengelolaan investasi yang sudah ada, padahal saya sudah mencurahkan seluruh waktu saya!

  1. Jangan melakukan hal tersebut hanya karena terlihat keren

Startup teknologi memang merupakan primadona dalam dunia bisnis saat ini. Semua orang ingin terlihat bersama mereka. Para pecandu teknologi kini dianggap keren. Namun coba tebak, menjadi pecandu memerlukan komitmen dan ketertarikan yang nyata. Kita bicara mengenai menyatukan diri Anda ke dalam kebudayaan. Tidak hanya dengan membaca mengenai mereka dalam berita (mainstream).  Gunakan aplikasinya untuk benar-benar memahami bisnis mereka. Bersiaplah untuk memasang dan menghapus puluhan aplikasi setiap harinya, untuk membuka dan menutup puluhan browser di laptop Anda. Benar-benar rasakanlah sendiri sensasinya.

Anda bukanlah seorang pecandu jika Anda hanya mendapat pengetahuan mengenai startup teknologi dari media mainstream. Jika Anda berpikir bahwa para pengendara Uber takut tertangkap polisi setelah membaca berita bahwa Ahok ingin mengatur mengenai bisnis Uber, maka Anda bukanlah seorang pecandu. Saya mengenal beberapa orang yang masih menggunakan Uber setiap hari dan mengetahui realita langsung dari para supir Uber. Jika Anda berpikir bahwa WhatsApp merupakan aplikasi chat terpopuler, tanyalah para remaja tentang Snapchat (saya tidak menggunakan Snapchat tapi mengetahui bahwa aplikasi tersebut cukup keren dari para murid dan anak saya sendiri).

Jika Anda masih berpikir bahwa Twitter telah menggantikan posisi Facebook sebagai ‘raja sosial media’ dan tidak tahu menahu mengenai masalah bisnis yang Twitter alami, maka Anda bukanlah seorang pecandu (sekedar informasi, harga saham Twitter turun 50% sejak akhir September 2014 sementara saham Facebook naik 17% dalam periode yang sama). Jika Anda belum pernah mendengar apa yang para penentang katakan mengenai Evernote (atau lebih buruk, tidak tahu apa itu Evernote), maka maaf-maaf saja, Anda bukanlah seorang pecandu.

Sayangnya, mayoritas media Indonesia masih belum memahami permainan startup seutuhnya. Sebuah majalah bisnis (asing) terkemuka pernah menulis mengenai kebangkitan startup Indonesia dan mereka kebingungan saat menulis mengenai pendapatan startup dan keuntungan para investor. Investasi ekuitas merupakan hal yang asing bagi kebanyakan orang Indonesia. Kebanyakan media hanya menulis tentang kisah sukses startup. Namun, untuk mengetahui fakta bahwa 8 dari 10 startup ternyata gagal, Anda harus menggali lebih dalam. Tidak ada yang ingin membicarakan kegagalan, namun hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar dalam dunia startup.

Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang teman saya yang tertarik untuk menjadi seorang angel investor. Ia terus berbicara mengenai betapa kerennya dunia startup, mengenai melejitnya industri e-commerce, dan kekagumannya terhadap mereka. Yang mengejutkan, ia tidak menyadari bahwa kebanyakan dari startup yang ia bicarakan sebenarnya masih mengalami kerugian. Ia tidak memahami bagaimana valuasi perusahaan yang tinggi tidak ada kaitannya dengan keuntungan perusahaan. Ia tidak mengetahui bahwa meskipun memiliki valuasi yang tinggi, Uber kehilangan banyak uang di Tiongkok dan banyak pasar lainnya. Saya lalu mencari beberapa artikel dan membiarkan ia membacanya sendiri. Ia tampak terkejut. Saya merasa bersalah telah mengacaukan rencananya dan menghancurkan impiannya. Saya hanya tidak ingin ia menaruh uangnya pada startup yang ‘menjanjikan’ hanya untuk kemudian merasa kecewa karena startup tersebut akhirnya bangkrut.

Sekali lagi, jika Anda ingin menikmati lautan, maka bersiaplah untuk menyelam sangat dalam. Dan jika Anda takut air, maka janganlah ikut menyelam hanya karena semua teman Anda juga menyelam.

  1. Buatlah rencana jangka panjang dan bersiaplah menghadapi kegagalan

Investasi ekuitas merupakan permainan jangka panjang. Selain itu, sangat sulit untuk mendapatkan uang dari permainan ini. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kauffman Foundation mengenai angel investment menemukan bahwa lebih dari setengah angel investor kehilangan uang mereka. Sisanya memang memperoleh kembali uang mereka, dan beberapa (~ 10%) bahkan menerima uang 5 kali lipat dari apa yang mereka keluarkan.

“… rata-rata, mereka menerima keuntungan 2.5 kali lipat ketika menjual perusahaan dalam waktu 4 tahun sejak mereka mulai berinvestasi.”

Patut dicatat bahwa contoh kasus tersebut terjadi di Amerika Serikat dan Inggris, dua ekosistem yang paling ‘matang’. Keadaannya jauh berbeda dengan Indonesia. IPO masih merupakan barang langka. Kita dapat menghitung jumlah startup yang IPO pada tahun 2015 dengan satu tangan. Kita belum memiliki pasar sekunder untuk saham perusahaan swasta, sehingga menjual saham kepada investor lainnya masih cukup rumit.

Ini bukanlah investasi cair. Anda tidak dapat menjual perusahaan begitu saja saat Anda sedang memerlukan uang. Anda harus siap kehilangan uang. Jangan gunakan uang kuliah anak Anda. Hidup Anda harus terus berjalan meskipun investasi Anda gagal. Investasi sebaiknya hanya sebesar ~ 10% dari total uang yang Anda miliki.

“Anda membuatnya terdengar sangat menakutkan…!”

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya rasa ekosistem kita masih memerlukan banyak angel investor. Kita tidak dapat mempertahankan VC jika tidak ada angel investor yang mengisi saluran investasi mereka. Sama seperti sebuah lahan pertanian yang tidak dapat bertahan jika tidak ada lahan/perusahaan lain yang menjual bibit. Para angel investor dapat mengubah bibit tersebut menjadi tunas.

Saya percaya kita harus membuat penyebaran angel investment lebih merata. Namun seperti biasa, lakukan hal tersebut secara realistis. Saya pribadi sangat ingin melihat:

  • Lebih banyak sesi sharing mengenai pengalaman nyata dari para angel investor ternama (saya tidak cukup berpengalaman, saya hanya pemula yang bermulut besar)
  • Lebih banyak sesi diskusi dan kisah mengenai tantangan. Berbicara mengenai kerugian dan realita. Mengenai seberapa sulit hal tersebut. Namun, tentu saja kita masih dapat berbicara mengenai kesuksesan kita.
  • Lebih banyak sindikasi oleh para angel investor Hal ini memungkinkan para pendatang baru untuk belajar dari para senior. Namun, kita harus memastikan bahwa mereka juga ikut terlibat. Jangan sampai ada orang yang hanya diam tapi mendapat semua ilmunya. Anda harus melakukan sesuatu sebelum menerima sesuatu.

Tunggangi arusnya!

Seperti apa yang para pemain lama katakan, “ikuti alurnya!”. Tunggangi arusnya! Awal-awal 2010 merupakan eranya startup dimana banyak orang mengikuti tren mendirikan startup teknologi. Seperti yang diduga, kebanyakan dari mereka gagal. Hanya yang terbaik yang masih bertahan saat ini dan mereka yang baru memulai sekarang memiliki persiapan yang lebih matang. Apakah tahun ini akan menjadi tahun dimana beberapa angel investor mulai berinvestasi dan baru mengalami kerugian beberapa tahun kemudian? Selama mereka telah mempersiapkan diri untuk menerima cedera ringan dan tidak merugi terlalu banyak, maka hal tersebut akan membawa dampak positif bagi ekosistem startup Indonesia.

Dan tentu saja, mari pastikan bahwa para angel investor tersebut bukanlah malaikat kematian bagi para startup.

_
Artikel ini pertama kali dipublikasikan di blog pribadi Dondi Hananto, dan dipublikasikan kembali berdasarkan izin dari sang penulis.

Dondi Hananto adalah Founder Kinara Indonesia, sebuah VC lokal. Ia dapat dihubungi melalui akun Twitter @dondihananto.

Artikel ini diterjemahkan oleh Rifki Aria Nugraha.

Leave a Reply

Your email address will not be published.