Total hadiah The International 2019 mencapai lebih dari USD31 juta. Ini menjadikannya sebagai turnamen esports dengan hadiah terbesar.
Berbeda dengan Fortnite World Cup, yang total hadiah sebesar USD30 juta sepenuhnya ditanggung oleh Epic Games sebagai developer, total hadiah The International didapatkan melalui crowdfunding.
Publisher Dota 2, Valve, hanya memberikan kontribusi sebesar USD1,6 juta untuk hadiah The International. Sisanya, didapatkan dari penjualan Battle Pass. Dari total penjualan Battle Pass, sebanyak 25 persen Valve langsung jadikan sebagai hadiah dari The International, menurut The Esports Observer.
Tahun ini, tersedia tiga jenis Battle Pass, yaitu Battle Pass standar seharga Rp144 ribu, Battle Pass – Level 50 seharga Rp420 ribu, dan Battle Pass – Level 100 seharga Rp650 ribu.
The International pertama kali diadakan pada 2011. Ketika itu, total hadiahnya adalah USD1,6 juta. Begitu juga dengan The International kedua yang diadakan pada 2012. Valve mulai memperkenalkan Battle Pass pada 2013.
Sejak saat itu pula, total hadiah dari The International terus naik. Kenaikan paling signifikan terjadi pada 2014. Ketika itu, hadiah The International mencapai USD10,9 juta, naik 380 persen dari total hadiah pada tahun sebelumnya, yang hanya mencapai USD2,8 juta.
Anda bisa melihat kenaikan total hadiah The International pada grafik di bawah ini.
Dampak besarnya total hadiah The International
Menurut esportearnings, turnamen esports yang menawarkan total hadiah lebih dari USD10 juta hanyalah The International dan Fortnite World Cup. Besarnya total hadiah The International memiliki dampak baik dan buruk.
Efek positifnya adalah total hadiah The International ini efektif untuk membuat hype. Cara Valve mengumpulkan dana ini juga memiliki pengaruh positif. Mengingat sebagian besar total hadiah The International merupakan kontribusi penjualan Battle Pass, para fans akan turut andil dalam turnamen bergengsi tersebut. Tidak hanya itu, ini juga mendorong mereka untuk terus bermain.
Data dari Steam Charts menunjukkan bahwa rata-rata jumlah pemain Dota 2 setiap bulannya tidak pernah kurang dari 400 ribu sejak Februari 2014. Sementara jumlah concurrent player Dota 2 tidak pernah kurang dari 600 ribu sejak November 2013.
Anda bisa melihat peak concurrent players sejak tahun 2016 pada grafik di bawah.
Sayangnya, ini bukan berarti, metode yang digunakan oleh Valve bebas dari masalah. Menurut Kotaku, salah satu masalah yang muncul akibat besarnya total hadiah dari The International adalah turnamen Dota 2 lainnya jadi terlihat tidak berarti.
“Sulit bagi kami untuk tetap relevan di ekosistem ini,” kata seorang Senior Official dari penyelenggara turnamen pihak ketiga ternama. “Dan yang saya maksud dengan ‘kami’ adalah semua orang kecuali Valve. Ketika ada turnamen yang menawarkan USD20 juta, Anda bakal kesulitan untuk menyaingi itu.”
Karena turnamen pihak ketiga tidak bisa menawarkan total hadiah sebesar The International, sulit bagi penyelenggara untuk menarik perhatian pemain dan penonton. Masalah ini diperburuk dengan keputusan Valve untuk memperketat regulasi terkait pengadaan turnamen.
Sebelum 2016, penyelenggara turnamen seperti ESL dan Beyond The Summit bisa mendapatkan pemasukan dengan menjual item virtual, mirip dengan apa yang Valve lakukan dengan penjualan Battle Pass. Namun, sejak 2016, Valve telah melarang hal ini.
Sulitnya bagi penyelenggara menggalang dana tidak melulu berdampak pada hadiah yang didapatkan pemain, tapi aspek lainnya, seperti akomodasi. Penyelenggara akan kesulitan untuk memberikan akomodasi yang diharapkan pemain karena ketiadaan budget.
Pada pemain, ini akan membuat mereka hanya tertarik untuk mengikuti The International. Akibatnya, pemain menjadi tidak setia dengan timnya. Bukannya fokus untuk meningkatkan performa tim, para pemain akan fokus untuk bisa masuk ke tim besar yang memang memiliki kemungkinan untuk bermain di The International.
Pada bulan Mei, biasanya terlihat bagaimana tim-tim yang tidak diundang untuk bermain di The International akan kalang kabut untuk membuat tim agar bisa lolos babak kualifikasi regional. Karena roster tim yang tidak stabil, ini membuat perusahaan enggan untuk menjadi sponsor karena ini membuat mereka sulit untuk berinteraksi dengan penonton. Alhasil, gaji pemain menjadi rendah.
Pada akhirnya, ini membuat para pemain menjadi semakin tergiur untuk memenangkan atau setidaknya masuk ke The International.
Memang, Valve juga telah menetapkan beberapa aturan yang melarang untuk terus berganti tim. Namun, ini tidak menyelesaikan masalah yang diakibatkan keberadaan The International. Mengingat The International juga sangat menguntungkan Valve, kecil kemungkinan mereka akan berusaha untuk mengubah sistem yang ada saat ini.
Bagaimana di Indonesia?
Menurut shoutcaster Gisma “Melondoto” Priayudha, tidak heran jika angka total hadiah The International terus naik. Menurutnya, ini sesuai dengan game Dota 2 sendiri yang memang terus berkembang. Tidak hanya itu, Valve juga bisa menawarkan “bonus” yang berbeda setiap tahun, membuat pemain/fans Dota 2 tergoda untuk membeli Battle Pass.
Sayangnya, selama ini, tim Indonesia tidak pernah masuk ke The International.
“Kalau yang saya amati lima tahun ini, masalahnya cuma di skill, meta dan mekanik pemain di Indonesia belum sebanding dengan pemain luar,” kata Melon ketika dihubungi. “Untuk kelas Asia Tenggara, hanya masalah di kerja sama tim saja.”
Menurutnya, The International juga tidak memberikan dampak buruk pada tim/pemain di Indonesia. “Kelar kualifiksai TI pasti ada pergantian pemain. Paling banyak, dua orang diganti. Sisanya, masih solid sampai TI berikutnya,” ujar Melon.
Dia juga percaya, turnamen Dota 2 di Indonesia tidak akan mati, meskipun belakangan, game mobile seperti Mobile Legends lebih diminati. “Soalnya, kan landasan pemain Dota 2 dari iCafe, iCafe berkembang ready esport, jadi sealur sama generasi,” katanya.