Ketika Konten Platform Live Video Mulai Menjurus Ke Arah Negatif

Video streaming merupakan layanan yang makin populer terutama dikalangan millenial. Youtube sebagai salah satu pionir video streaming saat ini telah bertransformasi menjadi konten video kreatif yang kerap digunakan kalangan millenial untuk berbagi konten video menarik dan kreatif, sementara pemilik perusahaan hingga brand mulai banyak menggunakan YouTube sebagai media promosi dan branding.

Ketika Youtube sudah semakin mainstream, makin banyak layanan lain yang mencoba untuk bermain di layanan serupa, di antaranya adalah Periscope dan Meerkat yang mengedepankan layanan chatting dengan konten video dan disiarkan secara streaming. Kedua produk tersebut sempat menikmati masa kejayaannya dan sempat menjadi aplikasi yang paling trendy dan terkini.

Namun demikian layanan chatting yang dilengkapi dengan konten video yang saat ini makin populer tentu saja adalah Snapchat. Aplikasi buatan Evan Spiegel ini awalnya sempat mengalami kesulitan untuk menjadi aplikasi favorit, namun seiring berjalannya waktu, Snapchat saat ini makin digemari oleh kalangan millenial dengan ragam filter dan kemudahan yang ditawarkan. Tidak heran jika selanjutnya Instagram mencoba untuk menerapkan layanan hampir mirip dengan nama Instagram Stories.

Konten live video menjurus ke arah “vulgar”

Di Indonesia sendiri saat ini mulai banyak bermunculan layanan chatting dengan memanfaatkan platform live video yang dipandu host atau pengguna. Aplikasi yang kebanyakan buatan produk asing ini mencoba untuk menyasar kalangan millenial yang merupakan target pasar paling ideal. Sebut saja seperti Zeemi, Nonolive, CliponYu, atau Bigo Live.

Lantas apa yang membedakan layanan chatting dan video streaming ini dengan produk serupa yang telah populer secara global sebelumnya? Adalah fungsi dan pendekatan promosi serta penggunaan yang kemudian cukup menjadi perhatian dan tentunya perbedaan yang tampak jelas terlihat. Sekilas layanan Nonolive dan CliponYu tidak berbeda dengan layanan lainnya, namun foto profil yang ditampilkan (kebanyakan perempuan muda dengan foto seksi) cukup ampuh untuk mengundang perhatian pengguna (terutama kaum pria).

Saya pun kemudian tertarik untuk melihat lebih jauh, apa konten video dari layanan ini. Ternyata cukup mengejutkan, video yang dipandu oleh host (pengguna yang kebanyakan perempuan) menjurus kepada sikap dan perilaku yang sedikit ‘mengundang’ dan bersifat negatif. Meskipun ada juga pesan yang berisikan nada ramah dan sopan, namun kebanyakan host di layanan ini justru lebih mengedepankan kepada pendekatan yang vulgar.

Yang menjadi perhatian saya selanjutnya adalah kebebasan yang saat ini banyak diberikan orang tua yang telah memberikan smartphone kepada anak-anaknya. Hal ini bisa menjadi peluang, bagi anak-anak di bawah umur, untuk kemudian mengakses aplikasi dan situs layanan live video ini. Hanya dengan mengetik alamat situs atau mengklik tautan yang ada, pengguna sudah bisa langsung melihat tampilan video yang dipandu host seksi.

Jargon “sex sale” merupakan peluang yang kemudian dicoba untuk diambil oleh kedua layanan chatting dan live video tersebut, apalagi dengan menargetkan kalangan millenial yang memang sedang dalam masa “pematangan diri” menuju kedewasaan dan getol mengkonsumsi tayangan berbasis video.

Apakah nantinya layanan ini akan bertransformasi untuk melakukan filtering atau kurasi demi meminimalisir konten video yang bersifat vulgar? Tentunya hal ini  akan menarik untuk dicermati. Sementara itu, sebagai orang tua, ada baiknya untuk memonitor kegiatan yang dilakukan putra-putri Anda, terutama yang di bawah umur, untuk meminimalisir dampak buruk yang mungkin terjadi.

About Yenny Yusra

Curiosity has always been a part of my life. With my love for technology with all digital entrepreneur aspects and related ecosystems, I hope to be able to provide relevant and insightful information for tech enthusiasts out there.