Pinjaman Macet Fintech Lending

Kredit Macet Meningkat, Alarm Industri Fintech Lending

Kredit macet fintech lending tercatat meningkat, seiring membengkaknya beban operasional sepanjang Juli 2022. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding pinjaman macet mencapai Rp785,94 miliar pada Januari 2022. Nilainya menggelembung jadi Rp1,21 triliun per Juli 2022 atau naik 8% dari bulan sebelumnya Rp1,11 triliun.

Pinjaman perseorangan mencatatkan porsi terbesar dalam struktur pinjaman macet tersebut, yakni sebesar Rp1,10 triliun. Kemudian, sisanya pinjaman badan usaha sebesar Rp118 miliar. Jika dirinci, nasabah perempuan mendominasi pinjaman macet, yaitu sebanyak Rp563 miliar. Sedangkan dari usianya, nasabah 19-34 tahun paling banyak tercatat dalam pinjaman macet.

Sementara itu, pinjaman online tidak lancar atau 30-90 hari mencapai Rp3,21 triliun, dan pinjaman lancar atau keterlambatan sampai dengan 30 hari sebesar Rp41,29 triliun.

Selanjutnya, industri ini mencatatkan kenaikan kerugian sebesar Rp114,08 miliar dari Januari 2022 sebesar Rp7,42 miliar. Bila dirinci, beban operasioal mencapai Rp4,69 triliun dan pendapatan operasional hanya Rp4,61 triliun. Adapun beban terbesar dari pos ketenagakerjaan yang naik sembilan kali lipat sebesar Rp1,21 triliun.

Mengutip Koran Tempo, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, pelemahan kinerja fintech lending, seperti kenaikan tingkat pinjaman macet, pada akhirnya akan berdampak pada kinerja perbankan. “Tak hanya itu. Jika kredit macet fintech lending makin tinggi, kemampuan mereka untuk memberikan pembiayaan kepada dunia usaha juga menurun. Kesempatan usaha mendapatkan pinjaman juga berkurang. Pada akhirnya, ini akan merugikan perekonomian,” kata dia.

Secara sederhana, bisnis fintech lending adalah menghubungkan antara pemilik dana sebagai pemberi pinjaman dan pihak yang membutuhkan dana sebagai peminjam. OJK mencatat outstanding penyaluran pinjaman di industri ini mencapai Rp45,72 triliun atau naik 88,84% secara year-on-year.

Sumber dana yang disalurkan ini berasal dari pinjaman dalam negeri, bank menjadi kelompok pemberi pinjaman tertinggi sebesar Rp15,8 triliun. Sisanya, ada perseorangan, badan hukum, dan industri keuangan non-bank.

Ekonom Indef Nailul Huda menyampaikan, kenaikan pinjaman macet sejalan dengan pertumbuhan penyaluran pinjaman fintech lending dalam beberapa waktu terakhir. “Sistem paylater dengan proporsi kredit konsumtif yang cukup besar belum diimbangi dengan seleksi peminjam (borrower) yang berkualitas. Analisis kredit scoring masih harus banyak diperbaiki,” kata Nailul.

Di sisi lain, upaya mengumpulkan pendanaan dari lender juga dibayangi persaingan yang relatif ketat. Menurut dia, pendanaan yang kurang tak jarang harus diatas dengan mengorbankan pendapatan. Kondisi itu tampak dari tren peningkatan beban operasional perusahaan, sehingga kerugian yang ditanggung pun makin besar.

Pembayaran telat

Sementara itu, kondisi di atas tercermin dengan apa yang dialami oleh iGrow saat ini. Tepat setahun sebelumnya, perusahaan juga mengalami kondisi yang serupa, telat mengembalikan dana pinjaman para pemilik dana dalam berbagai proyek. Alhasil, para lender iGrow yang bernasib sama berkumpul dalam grup Telegram, dinamai Investor iGrow. Beberapa menceritakan pengalamannya di media sosial dan surat pembaca untuk meminta kejelasan.

Para lender menghujani kolom review dan rating aplikasi iGrow di Google Play dengan berbagai keluhan. Mayoritas menyebutkan pihak perusahaan yang tidak transparan dalam menjelaskan status proyek yang didanai. Langkah tersebut diambil, salah satunya karena kolom komentar di akun Instagram iGrow telah ditutup.

Mengutip dari DealStreetAsia, manajemen iGrow telah menyampaikan notifikasi soal keterlambatannya tersebut kepada para lender yang terkena dampak. “Kondisi ini telah ditangani oleh tim collection kami, yaitu melakukan upaya penghimpunan dana dari proyek-proyek terkait sesuai dengan standar operasional prosedur dan peraturan OJK. Kami telah menawarkan solusi dan penjelasan untuk beberapa proyek melalui fitur informasi di aplikasi iGrow, sementara proyek lain masih dalam penyelidikan dan verifikasi oleh tim koleksi kami.”

Perusahaan mengatakan proyek pertanian menghadapi berbagai tantangan dan risiko yang dapat mempengaruhi hasil panen. Di antaranya, kehilangan hasil panen karena cuaca yang tidak menentu, bencana alam, hama, dan kenaikan atau penurunan harga di pasar dapat mengganggu arus kas peminjam [petani], dan pada akhirnya, mengganggu pembayaran kepada pemberi pinjaman.

Sebelumnya di ranah agrikultur, ada TaniFund, Tanijoy, Crowde, Angon, dan Vestifarm yang tersandung kasus serupa.

Secara umum, berinvestasi di platform p2p lending memang tidak luput dari risiko, di tengah tingginya imbal hasil yang ditawarkan. Terlebih lagi, menaruh dana untuk sektor agrikultur yang penuh tantangan ini. Bila dilihat dari hulu dan hilir masalah di agrikultur begitu melimpah, tak hanya soal akses permodalan yang sulit. Oleh karenanya, sektor ini banyak dilirik para pemain.

OJK memberikan rasio untuk melihat kesehatan bisnis para pemain fintech lending ini berdasarkan TKB90. TKB90 adalah ukuran pinjaman yang berhasil diselesaikan dalam waktu 90 hari dari tanggal jatuh temponya — kebalikan dari rasio NPL yang lebih umum. Semakin rendah angka TKB90, semakin tinggi tingkat NPL.

Saat TaniFund tersandung pada 9 Mei, tingkat TKB90-nya berada di 93,53%, di bawah rata-rata nasional 97,68%. TKB90 ini wajib dipublikasikan di laman utama situs dan harus diperbarui tiap bulannya. Adapun, TKB90 dari iGrow saat ini adalah 93,71%.

Sementara itu, menurut data OJK, TKB90 industri saat ini sebesar 97,33%. angka ini sedikit lebih baik dari bulan sebelumnya, yakni Juni 2022 sebesar 97,47% atau Mei 2022 sebesar 97,72%.