Masih seputar tentang bagaimana startup menyikapi proses pengembangan produk teknologi. Di awal tahun 2014, saya pernah mendengar General Manager PT Infinys System Indonesia Dondy Bappedyanto mengatakan bahwa masih banyak startup di Indonesia yang kurang peduli dengan kualitas teknologi.
Seiring dengan makin banyaknya pilihan teknologi yang ada saat ini dan makin mudah untuk diakses, saya tertarik untuk menanyakan lagi tentang kondisi tersebut, apakah saat ini sudah bergeser menjadi lebih baik.
Ketika ditanya apakah trennya sudah berubah? Secara tegas Dondy mengatakan bahwa masih sama seperti dulu. Banyak startup kurang aware dengan kualitas teknologi. Dondy juga mengatakan, dari beberapa diskusi dengan penggiat dan pengamat startup, banyak yang mengatakan bahwa permasalahan teknolgi sudah mulai menghambat opersional bagi startup yang sudah tumbuh besar, startup yang sudah mendapatkan funding dalam jumlah besar.
Mengapa startup kurang aware dengan kualitas teknologi?
Menurut Dondy akar muara dari persamalah tersebut sederhana, yakni teknologi yang mereka pilih di awal startup berdiri tidak bisa dengan mudah ter-scale ketika startup menjadi besar. Lalu startup dihadapkan pada dua pilihan, bertahan dengan teknologi yang ada dengan serangkaian upaya tambal sulam untuk memenuhi load balancing yang meningkat atau membuat ulang dari baru. Keduanya adalah pilihan yang sulit, karena sama-sama dapat menganggu operasional. Namun setidaknya dampak risiko yang ditimbulkan dapat menjadi pertimbangannya.
Untuk mengantisipasinya, Dondy begitu menekankan bahwa startup harus piawai memilah dan milih teknologi yang sesuai dengan kebutuhan sistemnya, bukan berdasarkan tren yang ada. Dan bagi startup yang masih dalam tahap awal, penting untuk mempertimbangkan berbagai aspek dalam memilih teknologi yang akan menyangka produk atau solusi yang dikembangkan.
Apa yang harus diperhatikan dalam memilih teknologi sebagai pondasi sebuah produk startup?
Pemilihan teknologi menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi startup. Tentang bagaimana mereka dapat menentukan teknologi sesuai dengan budget investasi awal yang mereka miliki, namun tetap bisa bertahan saat tiba-tiba penggunaan aplikasi meningkat derastis. Berkaitan dengan hal tersebut Dondy mengatakan bahwa penting bagi startup untuk memahami arsitektur teknologi yang mereka kembangkan.
Skalabilitas menjadi sesuatu yang multak untuk dipikirkan dan dipertimbangkan. Meskipun mungkin belum perlu diimplementasikan di awal karena pertimbangan pengguna yang tidak terlalu banyak. Tapi pada fase development dan staging perlu untuk dibuat pengujian dengan skenario pengguna mencapai best case sceneario. Dari situ menurutnya akan bisa dilihat apa saja yang bisa ditinggalkan dulu dan apa saja yang harus diimplementasikan sejak awal.
Hampir semua pelaku di industri IT setuju, untuk mendapatkan skalabilitas sistem yang baik pendekatan berbasis cloud computing adalah solusi terampuh yang ada saat ini. Terkait dengan bagaimana startup memilih teknologi cloud yang tepat untuk menjadi pondasi pada aplikasinya, Dondy mengatakan bahwa pertimbangannya tergantung pada aplikasi apa saja, besaran data yang ingin disajikan serta kemampuan teknis yang dimiliki oleh startup tersebut.
“IaaS mungkin akan sangat fleksibel, tetapi apakah tim teknisnya mempunyai kompetensi? Apakah aplikasinya yang ingin dijalankan butuh skalabilitas yang lebih lanjut? Semua tergantung dari bisnis startup itu sendiri,” ujar Dondy.
Bagaimana kesadaran pengembang untuk mengikuti proses pengembangan yang benar?
Meskipun saat ini sudah banyak berbagai macam metodologi pengembangan software yang relevan bagi startup, seperti contoh yang disampaikan oleh Norman Sasono yakni Agile dan SCRUM, namun Dondy meyakini bahwa banyak startup yang mengabaikan hal ini. “Kalau pemilihan teknologi saja mereka sedikit mengabaikan, tentu saja ke hal detil seperti metodologi pengembangan software mereka akan abai juga,” ujar Dondy.
Dondy melanjutkan, “Masalah metodologi pengembangan ini memang tidak serta merta harus diikuti dari awal, terlebih ketika jumlah orang teknis yang ada hanya segelintir. Tetapi seharusnya nilai-nilai metodologi tersebut mulai ditanamkan, bukan diabaikan untuk membuat software yang asal bisa jalan dulu.”
Terkait dengan metodologi apa yang paling tepat, menurut Dondy hal ini akan tergantung pada jumlah dan kapabilitas tim teknis yang ada serta kompeksitas software yang ingin dibuat. “Kalau timnya masih kecil mungkin tidak perlu mengimplementasikan secara penuh metodologi yang ada, cukup nilai-nilai pentingnya saja yang diterapkan. Misalnya penggunaan source control atau continous integration atau pair programming,” pungkas Dondy.