Wabah corona virus disease 2019 (Covid-19) sudah nampak memukul berat segala lapisan perekenomian. Dampaknya tak tanggung-tanggung. Ratusan ribu pekerja dikabarkan sudah dirumahkan oleh kantor masing-masing. Krisis ekonomi sudah berlangsung dan diperkirakan masih terjadi hingga beberapa bulan ke depan.
Dalam situasi seperti saat ini salah satu institusi yang menjadi sorotan adalah peer to peer (P2P) lending. Sebagai lembaga penyalur kredit di samping perbankan, layanan P2P lending bisa jadi andalan masyarakat terutama pemilik usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk mengakses modal di situasi sulit seperti ini. Namun dalam kondisi ini juga, risiko yang mereka hadapi meningkat. Ancaman kredit macet bisa terjadi jika langkah antisipasi tak diambil dari jauh hari.
Kami berbicara dengan sejumlah fintech P2P lending menyikapi situasi ini. Investree, Modalku, dan Koinworks turut bicara mengenai ini.
Antisipasi para pemain
Keterangan pertama datang dari Modalku. Secara tertulis, Modalku mengaku sudah memantau potensi dampak Covid-19 sejak Januari lalu. Setidaknya ada tiga langkah yang mereka tempuh sebagai antisipasi yakni seleksi yang lebih ketat kepada calon peminjam dan bereaksi lebih cepat terhadap perubahan kondisi ekonomi makro.
Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya mengatakan, sejumlah industri seperti pangan, perjalanan, perdagangan lintas negara, dan industri jasa yang intens memakai tenaga kerja asing yang terkena dampak di Asia Tenggara adalah contoh implementasi langkah mitigasi poin pertama mereka. Reynold menyebut industri-industri itu akan mendapat disorot lebih dalam penilaian pengajuan pinjaman. Untuk poin kedua, Modalku berusaha membuat penyesuaian batas jumlah dan tenor sesuai jenis UMKM yang diselesaikan kasus per kasus. Terakhir, Modalku akan menggenjot kerja sama dengan e-commerce mengingat segmen mikro sekarang kian banyak beralih ke e-commerce.
“Secara berkala, kami akan terus mengelola langkah- langkah tersebut dengan hati – hati dan mengembangkan kemampuan manajemen risiko sesuai dengan situasi ekonomi global saat ini. Modalku juga akan terus berkoordinasi dengan OJK sebagai regulator & AFPI sebagai asosiasi sehingga langkah-langkah yang kami ambil sesuai dengan regulasi dari OJK,” jelas Reynold.
Nada lebih optimis datang dari Investree. CEO Adrian Gunadi menjelaskan bahwa ada peluang untuk keluar dari krisis dengan keuntungan baru. Salah satunya adalah munculnya sejumlah sektor yang dianggap punya masa depan cerah di tengah situasi sulit saat ini yakni seperti telekomunikasi dan kesehatan.
Namun langkah antisipasi juga mereka buat. Investree memantau ketat proses pengajuan kredit baru, mengikat kerja sama dengan asuransi kredit, hingga membuka opsi restrukturisasi kepada peminjam.
“Kita akomodir kalau ada bororower yang mengajukan restruktur[isasi]. Sampai saat ini kita sedang diskusi dengan beberapa borrower di beberapa sektor hotel, ritel, dan kita lihat case by case apa saja yang bisa kita lakukan apakah ini jangka pendek, atau restruktur,” ungkap Adrian.
Sementara itu Koinworks mengklaim sejauh ini proses pengembalian pinjaman masih berjalan normal dengan non-performing loan (NPL) sekitar 1%. Tak berbeda jauh dengan pelaku lain, VP Marketing Koinworks, Frecy Ferry Daswaty menjelaskan pihaknya memperbanyak jalur kerja sama tak hanya dengan e-commerce tapi juga gerbang pembayaran, piranti lunak akuntansi, hingga logistik.
Koinworks juga menegaskan mengikuti ketentuan OJK terbaru yang memperlunak kewajiban peminjam dalam mengembalikan utangnya. Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 itu sebelumnya menetapkan sektor pariwisata, transportasi, perhotelan, pemrosesan, pertanian, dan pertambangan berhak memperoleh restrukturisasi keuangan akibat dampak wabah.
“KoinWorks memberikan solusi restrukturisasi cicilan yaitu menghitung kembali kemampuan atau kapasitas peminjam pada saat ini sehingga nilai angsuran akan disesuaikan. Perhitungan baru ini akan membantu debitur untuk mendapatkan waktu yang lebih lama dalam menyelesaikan angsuran tetapi pada saat yang sama kreditor masih akan mendapatkan bunga,” ujar Frecy.
Risiko yang tersisa
Peneliti Yusuf Rendy Manilet dari Center of Reform on Economics (CORE) menyebut langkah pemerintah dan p2p lending dalam menyikapi situasi krisis sudah tepat sejauh ini. Meskipun demikian, Yusuf menegaskan masih ada bayang-bayang risiko yang dapat menimpa pemain p2p lending jika tak cepat ditangkal.
Risiko itu menurut Yusuf bakal berpengaruh kepada pihak pemberi pinjaman. Karakter modal di p2p lending yang lebih banyak berasal dari individu dianggap membuat mereka lebih rentan. Jika relaksasi cicilan tak berjalan tepat, potensi NPL akan meningkat lebih tinggi.
“Perlu ada semacam kewajiban menunjukkan untuk meng-underline bahwa mereka memiliki aset yang memadai. Memang dilematis dalam p2p individual lenders tidak punya bantalan,” imbuh Yusuf.
Yusuf pun berharap pemain p2p lending dapat menurunkan besaran suku bunga mereka. Pasalnya jadi pengetahuan bersama p2p lending memberlakukan bunga yang lebih tinggi dari perbankan. Penurunan daya ekonomi hampir segala lini masyarakat bagi Yusuf cukup menjadi alasan untuk hal itu.