[Manic Monday] Lisensi Musik Untuk Layanan Digital

Menjalankan bisnis yang melisensikan sesuatu untuk layanan-layanan digital tidaklah mudah. Pertama, karena dasar hukum bisnis lisensi tergantung pada perlindungan hak kekayaan intelektual, yang nyatanya sangat tergantung pada keseriusan pemerintah setempat dalam pelaksanaannya; terlebih lagi adanya perbedaan regulasi di setiap negara, meski berbagai upaya untuk menstandarkannya melalu badan-badan seperti WIPO sudah dilakukan. Bisnis lisensi juga intinya adalah bisnis yang berdasarkan izin, yang bergantung pada kontrol dan kepercayaan – dua hal yang sulit ditegakkan di ranah internet.

Musik adalah salah satu hal yang sangat rumit untuk dilisensikan ke ranah digital. Dalam satu rekaman suara lagu saja, ada dua hak inti yang terkandung di dalamnya, yaitu: hak atas rekaman suaranya sendiri (yang berkait dengan proses rekaman, produser, artis, sound engineer, pemain musik, penyanyi latar, dan sebagainya), dan hak karya cipta lagu (yang terkait ke ciptaan lagunya sendiri, sang pencipta lagu/komposer). Pada awal maraknya layanan digital, banyak perusahaan rekaman harus merevisi semua kontrak-kontraknya dengan para artisnya, yang sebelumnya hanya mencantumkan distribusi musik melalui kaset, CD dan piringan hitam, untuk memasukkan berbagai format digital yang sudah maupun belum diciptakan.

Proses ini bukannya berjalan tanpa halangan. Musisi dan artis yang cerdik pastinya akan mengambil kesempatan ini untuk menegosiasikan ulang kontraknya dengan perusahaan rekaman, sehingga proses transisi ini berlangsung lebih lama. Walaupun proses ini sudah mulai di perusahaan-perusahaan rekaman besar semenjak tahun 2002, contoh satu saja adalah band AC/DC yang baru mengizinkan distribusi lagu-lagu mereka dalam format digital di akhir tahun 2012.

Tentunya, negosiasi ini lebih mudah dilakukan dengan pihak musisi dan artis yang masih hidup. Di Indonesia saja, ada banyak sekali musik Indonesia yang hilang bersama waktu karena masa populernya sudah lewat dan rekaman masternya tidak terpelihara, artis atau pencipta lagu sudah meninggal tanpa meninggalkan instruksi atau aturan jelas ke ahli warisnya mengenai karya ciptanya, atau bahkan kontraknya saja sudah tidak ada.

Kalaupun berkas kontraknya lengkap dan jelas, ahli waris sudah ditemukan dan bisa dihubungi, belum tentu juga proses mentransisikan konten yang diwakili kontrak tersebut akan segera berjalan. Sebuah bisnis pastinya akan membandingkan, apakah usaha untuk mentransisikan konten ini ke digital, akan terbayarkan dengan potensi penjualannya? Sederhananya: “gue repot-repot beresin kontrak ini, RBTnya bakal jualan nggak?” Saya tidak menyalahkan pemikiran seperti ini, ini murni bisnis. Mau tidak mau, sebuah bisnis harus memprioritaskan produk yang akan menghasilkan potensi penghasilan yang lebih banyak. Pastinya sih bisnis seharusnya tidak berhenti di situ dan harus berani investasi di berbagai potensi masa depan, namun industri musik rekaman sendiri sepertinya sudah berada dalam survival mode beberapa tahun ini.

Jadi, kalau ada pertanyaan “kenapa lagu X tidak ada di layanan Y”, faktornya banyak sekali! Dari pencipta lagu, artis dan musisi, perusahaan rekaman, layanan digitalnya sendiri, semua punya kepentingan, apalagi kalau belum ada kesepakatan antara pihak-pihak tersebut. Ada berbagai lapis izin dan kontrak yang harus diselesaikan sebelum lagu dapat disampaikan secara legal pada konsumen, sementara konsumen dapat mem-bypass semua itu dan mencari lagu yang mereka inginkan dari situs-situs berisi konten ilegal (saya sebut ‘ilegal’ di sini karena pastinya situs-situs seperti ini menyebarkan konten tersebut tanpa izin maupun remunerasi pada para pemilik hak pada lagu tersebut). Apakah sekarang sudah memungkinkan untuk menyederhanakan struktur ini?

Ario adalah co-founder dari Ohd.io, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, sebelum bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

Header image dari Shutterstock

Leave a Reply

Your email address will not be published.