[Manic Monday] Masih Ingat Industri Konten “Lama”?

Satu hal yang tragis dalam kehidupan kita yang kian digital adalah, apapun yang muncul pada kita melalui sebuah ‘layar’ (bisa saja layar TV, komputer ataupun HP) muncul dalam hitungan detik dan dapat dicari sesuai keinginan. Ada di internet atau tidak ada sama sekali. Sama sekali tidak ada kondisi peralihan di internet – bahkan layanan yang masih di dalam tahap beta, ya sudah ada, dan Anda tidak akan melihat proses pembangunannya bila tidak melihat secara seksama. Meniru bahan dasarnya yang berupa byte, karena hanya kondisi ‘0’ dan ‘1’ yang berlaku. Nyala atau mati. Dan dalam banyak kasus, baik atau buruk. Di-‘Like’ atau tidak di-‘Like’.

Saya termasuk generasi yang ingin segera sampai di rumah sepulang sekolah karena mengejar jam tayang serial kartun di sore hari di TV karena memang tidak ada cara lain untuk menontonnya. Sabtu pagi adalah saat yang ditunggu-tunggu karena ada rentetan kartun yang dapat ditonton sampai jam 10 pagi dan setiap minggunya ada satu atau dua hari yang dilalui dengan menanti tayangan episode berikutnya dari serial TV favorit yang diikuti. Dan tentunya, menonton film adalah acara istimewa – semua orang menonton film baru pada saat yang kurang lebih sama dan pasti akan menjadi topik pembicaraan di antara teman-teman.

Musik juga kurang lebih sama. Anda dapat mendengar satu atau dua lagu dari TV atau radio, tapi harus pergi membeli kasetnya untuk mendengar lagu-lagu yang lain. Mungkin sesama pecinta musik akan mengingat pengalaman yang tak tergantikan – mendengarkan album baru sambil membaca sampul kasetnya – atau bahkan kekecewaan saat menemukan bahwa lagu-lagu lain di album tersebut tak sebanding kualitasnya dengan yang sudah didengar di radio. Mencari album langka atau melengkapi koleksi album artis tertentu menjadi semacam ziarah atau pencarian harta karun – mencari sebuah toko entah di mana yang mungkin menjual CD yang sedang dicari.

Perjalanan konsumen tersebut membutuhkan usaha sebuah industri supaya dapat berjalan. Program TV dibuat oleh kru kamera pada panggung khusus setelah proses penulisan naskah dan pencarian pemeran yang panjang. Program TV yang sama ditawarkan pada jaringan-jaringan TV, yang memilih program TV yang diperkirakan akan mendapatkan penonton (dan pengiklan) yang banyak.

Pada dasarnya industri musik pun serupa – dari pencari bakat, penulis lagu, musisi, sound engineer, pemasaran, direktur musik di radio, sampai orang yang mengangkat dan memasukkan kotak-kotak berisi CD ke dalam truk untuk dikirim ke toko-toko CD; musik juga melewati proses yang sangat panjang bahkan sebelum sampai di telinga Anda. Pola-pola industri ini dibangun untuk memenuhi siklus kreasi dan konsumsi yang seolah tak pernah habis.

Konten yang Anda nikmati sudah melalui proses kerja dan proses kreatif ratusan, mungkin ribuan orang – dari penulis naskah film indie sampai penjual popcorn di bioskop – untuk memastikan Anda dapat menikmati filmnya.

Kini, industri-industri ini – yang menghidupi ratusan bahkan ribuan orang di berbagai negara – sedang disandera. Apakah si penjual popcorn yang salah kalau dia sulit mencari pekerjaan baru saat makin banyak orang menonton film secara online? Atau si pemandu vokal yang sulit mencari murid karena kebanyakan artis baru langsung menawarkan karyanya di internet tanpa dipandu oleh produser?

Industri konten “lama” memang bukannya tanpa salah; mereka gagal mengantisipasi perubahan pola konsumsi dan aliran transaksi secara keseluruhan. Mereka gagal dalam mengakui bahwa hak cipta dan perlindungan hak cipta tidak cukup, atau bahkan sudah usang. Tapi selain para pimpinan studio yang mencari bonus jutaan dolar dari film-film blockbuster, industri ini menjadi tumpuan penghasilan banyak orang dan kita tidak mungkin mengharapkan mereka untuk cepat beralih atau bahkan berhenti, hanya karena makin banyak konsumen tidak menjalankan perjalanan konsumen seperti sebelumnya. Ekonomi digital belum mampu memberi makan untuk semua orang, karena pada dasarnya, belum cukup banyak orang yang dapat cepat beradaptasi ke dunia digital yang masih terasa baru ini.

Industri konten “lama” mungkin lambat dan penuh waspada dalam mengadaptasi diri pada ekonomi digital yang baru ini, tapi saya tidak menyalahkan mereka. Jumlah karyawan yang mereka himpun selama bertahun-tahun perlu dipikirkan karena itu bagian dari ketahanan si perusahaan. Sebuah transisi pastinya sedang terjadi, dan tidak mungkin ditunda. Pertanyaannya adalah, bagaimana transisi itu akan terjadi dan juga bagaimana dengan nasib para pekerjanya?

Ario adalah co-founder dari Ohd.io, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, sebelum bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published.