[Manic Monday] Menghidupkan Kembali Penjualan CD

Penjualan CD album musik dari tahun ke tahun sudah turun semenjak awal abad ke-21. Ini terjadi seiring dengan maraknya penyebaran lagu berbentuk MP3 via internet, melalui layanan-layanan seperti Napster, Kazaa dan sebagainya. Adanya pilihan untuk mengunduh lagu dari internet, dengan ‘hanya’ bermodalkan koneksi internet (atau malah titip teman yang memiliki koneksi internet), sepertinya sangat mempengaruhi kebiasaan beli CD yang sebelumnya ada, sehingga merugikan para perusahaan produsen CD. Para perusahaan rekaman kemudian membidik layanan-layanan tersebut sebagai pembajak, dan meminta mereka menanggung kesempatan penjualan yang hilang karena memfasilitasi penyebaran materi lagu tanpa izin.

Dampak dari turunnya penjualan CD tentunya bukan hanya pada perusahaan rekaman. Skalabilitas produksi CD, yang tadinya diproduksi dengan jumlah sangat banyak, tentunya turun sehingga biaya per CD secara rata-rata naik karena jumlah yang diproduksi lebih sedikit. Padahal harga jual CD album musik akan turun mengikuti permintaan pasar yang turun juga.

Jalur distribusi CD, yang melalui agen maupun toko, juga terpengaruh. Sudah ada beberapa agen distribusi CD musik besar yang tutup dalam periode 2003-2010 selama saya bekerja di industri musik. Jumlah toko CD pun berkurang berhubung minat pembelian rendah sementara sewa toko tetap tinggi (dan malah makin tinggi).

Problematika distribusi CD ini malah makin memperparah problem distribusi musik secara umum, apalagi yang dianggap oleh perusahaan rekaman sebagai cara yang legal. Semakin sedikitnya permintaan pasar untuk CD, semakin mahal produksinya, dan semakin sedikit jalur distribusinya, sehingga menyebabkan semakin sedikit jumlah CD yang ditawarkan di pasaran. Kalau jumlah CD di pasaran sudah sedemikian sedikitnya, pelanggan yang berminat membeli CD pun akan kesulitan membeli CD yang diinginkan, sehingga mereka ‘terpaksa’ mencari alternatif produk musik lain. Tak sedikit yang akhirnya lari ke internet, terlepas dari urusan legal maupun tidak.

Adanya berbagai layanan digital seperti iTunes, Spotify, Deezer, atau Melon yang masuk ke Indonesia tentunya merupakan salah satu solusi untuk pendengar musik, kalau layanan file sharing dirasa kurang memuaskan (dan tentunya merupakan solusi untuk para perusahaan rekaman). Tentunya, berbagai layanan dan model bisnis musik digital via internet akan membutuhkan waktu untuk tumbuh dan berkembang, terutama karena masalah edukasi pasar, dan penetrasi pemakaian kartu kredit yang dibutuhkan kebanyakan layanan seperti ini. Tentunya pembayaran via pulsa telepon merupakan alternatif yang baik dibandingkan dengan kartu kredit, namun penerapannya rupanya tidak sederhana terutama karena perbedaan infrastruktur yang dibutuhkan.

Sementara itu, pasar peminat CD, meskipun tidak sebesar dahulu, tetap ada, dan mereka kesulitan mendapatkan CD. Tidak semua pendengar musik ingin ‘hanya’ mengunduh sebuah file MP3, banyak juga yang masih senang dengan CD. Hal ini muncul seiring dengan makin lebarnya cara menikmati musik, sampai bahkan timbul perbedaan minat produk musik juga. Contohnya, misalnya penggemar Kangen Band cukup puas dengan RBT (terlihat dari proporsi penjualan RBT terhadap produk lain), mungkin band seperti Seringai memiliki penggemar yang justru meminati CD atau merchandise.

Munculnya toko CD online seperti Helmedroom dan Disc Tarra Online seharusnya merupakan solusi yang logis untuk terus menyediakan CD bagi penggemar musik tertentu, namun ternyata belum banyak yang melakukannya. Helmedroom, misalnya, sudah melayani pelanggan dari semua sudut Indonesia, terutama di daerah-daerah yang tidak tersentuh distribusi CD tradisional. Namun, toko CD online merupakan solusi yang menurut saya, belum sepenuhnya memanfaatkan teknologi masa kini.

Salah satu ide yang selalu membuat saya penasaran adalah toko CD online yang pembuatannya berdasarkan permintaan. Sebuah gabungan antara batas waktu pemesanan, pemesanan minimum dan harga yang berubah sesuai permintaan dapat menghidupkan kembali penjualan CD-CD lama, karena kalau sudah betul-betul jadi penggemar, pembeli pasti rela membeli di atas harga pasar. Misalnya, kalau hanya 10 orang memesan album pertama Godbless yang dicetak ulang via layanan ini, harganya menjadi, misalnya, Rp 100 ribu. Kalau ada 20 orang, jadi Rp 75 ribu dan seterusnya. Produksi CD secara massal, seperti yang dilakukan dahulu, tentunya mengandung risiko tidak terjual semua; namun dengan metode ini, risiko dapat dikurangi. Pertanyaannya adalah, para perusahaan rekaman mau tidak melakukan ini?

Ario adalah co-founder dari Ohdio, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, sebelum bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

 

 

[ilustrasi foto dari Shutterstock]

Leave a Reply

Your email address will not be published.