[Manic Monday] Microsponsorship

Indonesia merupakan salah satu negara yang kemajuan ekonominya sangat dipengaruhi oleh usaha kecil dan menengah. Bayangkan, beribu-ribu usaha dengan perputaran uang yang relatif kecil, yang mendorong perputaran roda ekonomi konsumsi dan produksi. Semua tukang gorengan membutuhkan minyak goreng, gas elpiji, bahan makanan dan sebagainya, untuk membuat gorengan yang memberi makan pada pekerja kantoran maupun buruh pabrik. Pekerja kantoran dan buruh pabrik ini pun bekerja untuk menghasilkan sesuatu dari kantornya, yang kemudian akan ditawarkan pada pelanggan-pelanggannya, dan seterusnya. Saking tingginya perputaran konsumsi dan produksi ini, Indonesia malah sekarang menjadi pengimpor bahan makanan.

Ekosistem konsumsi dan produksi ini tentunya harus didukung oleh berbagai usaha komunikasi mengenai tawaran usaha. Ada usaha yang memiliki pegawai sales, ada yang melalukan periklanan, sampai ada yang mensponsori konser musik. Usaha komunikasi ini dilakukan supaya tawaran dagangannya bisa diketahui seluas-luasnya masyarakat, paling tidak pada konsumen yang potensial.

Ini sebabnya, daerah-daerah perkotaan, tempat di mana konsumsi relatif tinggi, dipenuhi dengan berbagai iklan pada berbagai media. Hanya saja, iklan-iklan ini relatif mahal harganya, karena harganya merupakan perimbangan antara infrastruktur pendukung iklan tersebut, serta kebutuhan (demand) pada iklan itu sendiri. Yang terjadi: medium periklanan nyaris dikuasai oleh perusahaan-perusahaan dengan kemampuan promosi besar, dan tidak tersentuh oleh UKM.

Di sisi lain, fragmentasi pasar hiburan sebenarnya merupakan kesempatan yang menarik. Mengalirnya berbagai media dan selera hiburan, baik dalam bentuk buku, musik dan film, lebih mudah dicapai masyarakat yang sudah memiliki akses ke internet (melalui handphone maupun komputer). Kuasa atas media-media massa seperti TV dan koran mungkin masih di tangan pebisnis dengan pemodal besar, namun kita sudah lihat bahwa industri majalah pun sudah berkembang jauh, dan menilik berbagai segmen pasar yang ada di Indonesia. Dan di mana ada media, pastinya ada tempat beriklan.

Salah satu hal yang sering diperbincangkan untuk pendanaan pembuatan karya cipta adalah metode crowdfunding, yang meminta dana langsung kepada orang yang berminat; semacam patungan, dan yang mendapatkan ‘partner’ patungan yang cukup akan didanai. Yang mungkin belum banyak disentuh untuk di Indonesia adalah microsponsorship.

Masih sedikit contoh microsponsorship, dan bentuk yang mendefiniskan kata tersebut pun masih bermacam-macam; tapi yang saya usulkan pada artikel ini adalah sebagai berikut: kalau proyek film Anda membutuhkan pendanaan sekitar Rp 200 juta dan sulit mencari sponsor utama, mungkin agak sulit juga mencari 200 orang yang mau menyumbang Rp 1 juta (atau malah 2,000 orang yang mau menyumbang Rp 100,000), karena meyakinkan ratusan atau ribuan orang untuk menyumbang itu membutuhkan persuasi yang tidak mudah. Tapi kalau pendanaan tadi dibuka untuk microsponsorship, yaitu meminta 200 UKM untuk menyisihkan dana promosi Rp 1 juta, mungkin akan lebih jelas?

Sebuah kendaraan seperti film mungkin akan memberikan dampak lebih besar ketimbang memasang iklan baris atau Google/Facebook ads. Tergantung tawarannya – paling tidak tawaran beriklan pada UKM ini harus dibuat dengan cara yang menarik, memenuhi kebutuhan pengiklan untuk berpromosi, tapi dapat terintegrasi dengan baik pada proyek karya ciptanya.

Saya pribadi mungkin akan berpikir tujuhbelas kali sebelum menginvestasikan sendiri sebanyak Rp 1 juta untuk ‘hanya’ mendapat rekaman terbaru dari band kesayangan, dalam sebuah box set lengkap dengan merchandise. Tapi apabila tawaran Rp 1 juta tersebut memiliki potensi promosi yang cukup baik untuk perusahaan saya, kenapa tidak? Sekarang saja sudah banyak perusahaan yang menginvestasikan nominal uang yang sama untuk Google Ads, misalnya. Yang perlu dibuat tentunya adalah, sebuah platform ‘marketplace’ yang mempertemukan para UKM yang ingin beriklan dan kebutuhan beriklannya, beserta para pembuat karya cipta, supaya lebih efektif. Ada yang mau buat?

Ario adalah co-founder dari Ohdio, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, sebelum bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

[Ilustrasi foto dari Shutterstock]

Leave a Reply

Your email address will not be published.