[Manic Monday] Pentingnya Simbiosis Antara Konten Dan Teknologi

Industri musik [rekaman] dan industri-industri konten lainnya bukan sebuah industri yang memiliki ilmu yang cukup pasti. Apabila dibandingkan dengan berbagai industri konsumsi lain, seperti bahan bakar minyak atau produk konsumen (FMCG atau rokok) yang potensi penjualannya dapat terukur dari survei konsumen, FGD sampai penawaran ke distributor. Hampir semua tahap pengembangan produk konsumen sudah terbentuk menjadi proses dan ilmu, dari riset, pengembangan produk, tes pasar hingga penjualan bebas. Berhubung industri konten merupakan sebuah industri yang menggantungkan keputusan pembelian terhadap sesuatu yang subyektif, sesuatu yang sebelumnya diterima pasar dengan baik, belum tentu akan diterima dengan baik lagi di masa datang.

Diterimanya sebuah konten itu sangat tergantung pada sebuah hubungan emosional yang dipancing oleh konten tersebut. Hubungan emosional ini dapat berupa apa saja: enak didengar sehingga membuat orang yang mendengarnya bahagia; mengingatkan suatu kenangan, atau bahkan ‘hanya’ berupa landasan supaya diterima di sebuah kelompok.

Proses ini tentu saja sangat subyektif, sehingga ‘ilmu’ untuk mendapatkan konten dengan potensi pasar yang besar itu sebenarnya tetap saja lebih berupa seni, ketimbang ilmu yang didasari psikologi konsumen dan sejarah penjualan. Kemampuan inilah yang biasanya mendasari berbagai industri konten seperti label rekaman maju, dengan memilih berbagai konten lagu yang memiliki potensi pasar yang cukup menarik (terlepas dari seberapa besar pasar tersebut).

Tapi tetap saja, walaupun ‘seni’ tadi dan pengalaman industri bertahun-tahun belum tentu akan selalu menghasilkan konten yang selalu segar dan menarik untuk konsumen, ini merupakan kompetensi inti dari perusahaan-perusahaan seperti ini.

Dengan berkembang pesatnya teknologi, alur konsumsi konten yang linear yang sudah terbentuk dari produser, media sampai konsumen mulai terdekonstruksi, sehingga keberagaman selera dan minat konsumen konten mulai meningkat (atau malah, lebih mudah terlihat karena dekonstruksi media mainstream).

Potensi usaha industri konten pun makin lebar dengan berbagai pemain baru masuk, dengan cara menseleksi dan memproduksi konten yang makin beragam juga. Jadi tidak aneh apabila beberapa tahun terakhir, industri konten independen makin menggeliat, seiring dengan makin banyak tersedianya peralatan pendukung produksi dengan harga yang relatif makin murah. Tetap saja, para pemain industri yang sudah ada lebih dahulu masih bergantung pada kompetensi intinya.

Yang menarik adalah, semenjak zaman diperkenalkan media CD sekalipun, kompetensi di teknologi itu merupakan sesuatu yang jarang sekali dikembangkan oleh industri konten. Konon saat periset memperkenalkan format CD audio ke sekelompok eksekutif perusahaan rekaman, mereka semula menolaknya, sampai ada dukungan dari musisi seperti Stevie Wonder yang memuji-muji kualitas audionya.

Salah satu toko musik online pertama di dunia, Soundbuzz, mengalami kesulitan untuk membujuk perusahaan-perusahaan rekaman untuk ikut menjual lagu pada layanan tersebut. Bahkan sampai saat ini, berbagai teknologi yang bisa digunakan untuk industri konten masih belum merupakan bagian dari kompetensi inti mereka.

Apabila kita melihat beberapa tahun terakhir saja di Indonesia, berbagai inovasi layanan musik digital datang dari pemain teknologi. Content Provider dengan berbagai layanan SMSnya, operator telekomunikasi dengan layanan-layanan VASnya (Value Added Services, termasuk RBT) dan kini ada layanan-layanan musik digital seperti MelOn dan iTunes.

Perusahaan-perusahaan ini memang memiliki kompetensi inti di teknologi, dan menawarkan teknologi yang mereka kembangkan untuk menjadi tempat untuk menawarkan berbagai konten kepada perusahaan-perusahaan produsen konten tersebut. Berbagai negosiasi bisnis dilakukan, dan apabila mencapai kesepakatan, beragam konten ditawarkan melalui teknologi-teknologi ini.

Lingkaran yang terbentuk: industri konten sebenarnya sangat tergantung ke industri teknologi, dan sebaliknya. Keduanya saling terkait dalam sebuah simbiosis, terlebih lagi karena terdekonstruksinya distribusi konten yang tadinya linear, menjadi nyaris tak terkontrol. Karena kompentensi inti dari industri konten adalah membuat konten, kemampuan teknologi menjadi nomor dua, dan ketergantungan ke rekanan teknologi menjadi tidak bisa terhindarkan. Dan perusahaan-perusahaan teknologi ini pun membutuhkan konten supaya layanan yang mereka tawarkan menjadi hidup.

Lucunya, kedua pihak ini seperti sulit bersimbiosis, sulit berkomunikasi. Perusahaan konten seperti label rekaman biasanya meminta minimum guarantee (uang di muka) kepada perusahaan-perusahaan teknologi yang mengembangkan layanan musik, yang secara praktis meniadakan risiko bisnis yang dialami label kepada perusahaan layanan tersebut, dengan meningkatkan risiko bisnis yang dialami perusahaan itu.

Perusahaan teknologi pun bisa ‘menyandera’ para perusahaan konten untuk tunduk pada model bisnis yang diinginkan untuk layanan, dengan risiko tidak bisa ‘berjualan’ lagi kalau tidak setuju (terlebih lagi kalau layanan tersebut sudah menghasilkan banyak uang sebelumnya).

Kemajuan industri konten secara umum sangat tergantung pada kerja sama yang baik antara produsen konten dan pengelola layanan musik, apapun musiknya, apapun teknologinya, dan siapapun konsumennya. Fragmentasi pasar dan metode distribusi menuntut terus berkembangnya inovasi distribusi musik, baik secara teknologi ataupun secara pengalaman konsumen, dan bukan ‘hanya’ melakukan apa yang sebelumnya sudah sukses sebelumnya.

Ketergantungan pada satu jenis teknologi – CD, RBT, ataupun malah MP3 – akan merupakan perulangan sejarah yang tak perlu diulang. Dengan menyokong inovasi sambil tetap mengembangkan lini-lini bisnis yang sudah lebih berkembang, niscaya industrinya akan lebih stabil. Tentunya, volume industrinya pun harus sesuai jaman.

Ario adalah co-founder dari Ohdio, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, sebelum bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

[Sumber gambar dari Shutterstock]

Leave a Reply

Your email address will not be published.