Masa Depan Check-in Baru Saja Dimulai

Berkat ReadWriteWeb, perhatian kalangan teknologi sekali lagi diarahkan pada fenomena check-in, yang sebelumya telah banyak digunakan di web. Apakah kita sudah tiba di titik jenuh dari aktivitas check-in atau kita baru benar-benar mulai menemukan nilainya? Jika Anda memikirkan suatu kegiatan, maka kemungkinan besar Anda akan menemukan layanan web yang menawarkan cara untuk berbagi pengalaman dengan setiap orang lain.

Sebelum kita melanjutkan, mari kita lihat apa sebenarnya aktivitas check-in itu. Check-in adalah sebuah kegiatan yang melibatkan kehadiran Anda di lokasi atau aktivitas tertentu dan mengumumkan kepada dunia bahwa Anda sedang melakukannya, dan kadang-kadang beserta alasannya kenapa Anda melakukannya. Jadi sebenarnya, tidak benar-benar harus berhubungan dengan lokasi.

Aktivitas check-in masuk ke dalam kecenderungan narsistik yang melekat pada banyak orang. Orang tidak hanya ingin dilihat, tapi mereka ingin dilihat sebagai seseorang yang populer, atau untuk para hipster (yang sebenarnya menunjukkan perilaku yang ironis) anti-populer. Kebanyakan orang melakukan aktivitas check-in di mana orang lain juga melakukannya, walaupun banyak orang melakukan check-in di lokasi tertentu untuk menunjukkan bahwa mereka tidak mengikuti arus. Apapun alasannya, mereka tetap melakukan check-in juga.

Titik Jenuh Check-in
Rama Mamuaya, CEO saya terhormat, pendiri perusahaan, dan target harian untuk jahilnya karyawan, pernah menuliskan artikel tentang titik jenuh dari aktivitas ini tahun lalu. Pada artikel tersebut Rama mengatakan bahwa alasan ia berhenti menggunakan Foursquare adalah banyaknya duplikasi lokasi di Foursuare. Dia juga mengatakan, badge yang merupakan salah satu fasilitas di Foursquare adalah sebuah fitur yang “jenius”, tetapi di sisi lain juga menjadi gangguan dari bagaimana seharusnya Foursquare digunakan, yaitu sebagai layanan untuk memfasilitasi pertemuan antar pengguna secara kebetulan serta tempat dimana para pengguna ini menemukan berbagai hal yang berkaitan tentang lokasi-lokasi tertentu.

Pada saat itu saya setuju dengan Rama dan hampir menuliskan artikel tentang hal serupa, namun tertunda. Secara personal, saya merasa aktivitas check-in seperti yang kita tahu, telah usai di tahun 2010, meski angka pertumbuhan pengguna Foursquare ternyata cukup besar dan banyak yang baru mengetahui tentang layanan serupa. Foursquare tumbuh karena meningkatnya jumlah pengguna yang baru mengetahui tentang Foursquare. Data Foursquare sendiri memperlihatkan bahwa aktivitas pengguna selama satu tahun terakhir mengalami penurunan, meskipun naik lagi setelah festival South by Southwest tahun ini.

Ketika saya mengatakan selesai bukan berarti layanan check-in mati, maksud saya, pada saat itu belum ada yang menemukan cara untuk mendorong layanan berbasis check-in ini ke depan. Belum ada inovasi yang membuat aktivitas check-in sebagai sesuatu yang menyenangkan atau menarik sebagai sarana untuk berbagai update status, tidak peduli status tersebut penting atau tidak.

Setelah merebaknya layanan check-in di tahun 2009, berbagai layanan lain mulai menyediakan fasilitas check-in sebagai bagian dari fitur mereka seperti Yelp, Miso, dan GetGlue. Nilai inti dari check-in di sebagian besar layanan ini terletak pada komponen berbagi aktivitas, yang tanpanya maka check-in menjadi tidak revelan. Untuk apa check-in jika tidak diumumkan?

Saya sendiri hadir dan menjadi bagian dari perkembangan layanan check-in ini pada 2008, ketika BrightKite masih berusaha menemukan pengguna dan beberapa bulan kemudian, tiga orang yang berbasis di Barito, Jakarta, mulai merilis layanan berbasis lokasi dengan aktivitas check-in a la BirghtKite versi mereka sendiri yang disebut Koprol.

Koprol, dan kemudian Foursquare dan Gowalla, diluncurkan secara terbuka pada awal 2009, semua menawarkan gimmick yang serupa, pada perjalanannya entah bagaimana caranya Foursquare “menang.” Sementara Foursquare dan Gowalla telah berkembang secara internasional, Koprol tetap di Asia Tenggara, atau mungkin lebih tepatnya terjebak di Indonesia. Tentu saja, layanan mereka kini telah diperluas ke Filipina, tapi itu sulit untuk disebut sebagai cakupan pangsa pasar internasional.

Sebagian besar fitur dan layanan yang dibutuhkan Koprol untuk berhasil telah ada, Koprol hanya membutuhkan dorongan untuk ‘lepas landas’, dan seperti yang saya sebutkan sebelumnya, mungkin perlu beberapa perbaikan di sisi desain. Rupanya co-founder dari Koprol, Satya Witoelar, setuju dengan pendapat saya, kecuali dia menipu saya, yang jarang (mungkin tidak pernah?) dia lakukan. Dia orang baik, menyenangkan berteman dengannya. Ok, saya ngelantur, mari kita kembali ke persoalan.

Membosankan dan Monoton
Saya adalah anggota dari halaman Facebook untuk orang-orang yang memantau perkembangan media sosial di Indonesia dan di dalamnya terdapat diskusi hangat yang berhubungan dengan titik jenuh aktivitas check-in. Sentimen umum yang ada adalah bahwa seluruh gagasan dari check-in adalah membosankan dan monoton. Check-in tidak membawa banyak, atau jika pun ada, nilai nyata bagi para pengguna yang menjalankan aktivitas check-in atas lokasi tertentu. Pemberian lencana sebagai fasilitas tambahan dari layanan yang menyediakan proses check-in sebenarnya baik tetapi tidak memberikan manfaat apapun selain meningkatkan rasa prestasi diri yang menyamai keberhasilan Anda ketika memukul seekor lalat.

Apa yang hilang dari layanan tersebut adalah interaktivitas yang dimiliki oleh Twitter dan yang juga pada perkembangannya dimiliki Facebook. Selain itu, salah satu unsur yang mungkin belum ada dari berbagai layanan yang disediakan oleh startup yang mengusung aktivitas check-in adalah penghargaan yang sebenarnya, bukan yang virtual.

Yoga Nandiwardhana, kepala divisi mobile Detik dan mantan penulis DailySocial mengatakan bahwa, “Saya tidak lagi melakukan [check-in], daya tarik layanan ini telah memudar. Unsur-unsur permainan yang ada tidak membuat keterikatan yang lebih. Berbagai layanan ini membutuhkan hadiah dalam bentuk nyata. ”

Daniel Giovanni, manajer media sosial di agensi digital Magnivate, masih menjadi pengguna aktif Foursquare, tetapi ia tidak menemukan nilai dari aktivitas check-in yang tidak berbasis lokasi. Dia mengatakan, “Selain dari yang layanan berbasis lokasi sebenarnya agak membosankan, tetapi saya rasa layanan Foursquare kini menjadi menarik kembali. Setiap kali saya pergi keluar untuk makan, saya bisa melihat tips yang ada di Foursquare untuk rekomendasi. Biasanya ini terjadi ketika saya berada di tempat baru. ”

Penawaran bagi walikota (mayor) atau imbalan dalam Foursquare tidak diterjemahkan dengan baik ke seluruh belahan dunia, dengan rendahnya tingkat partisipasi pemilik usaha. Foursquare saat ini belum menawarkan insentif yang cukup bagi para pemlik bisnis untuk berpartisipasi. Akibatnya, para pengguna mengejar gelar untuk menjadi ‘mayor’ melalui duplikasi lokasi dengan detail yang seringkali salah. Banyak pengguna yang hanya mengejar status mayor walaupun tidak ada insentif penawaran.

Nilai
Selain dari para pengguna yang melakukan aktivitas check-in langsung lewat Foursquare, layanan ini juga memperoleh nilai tambah melalui API yang mereka sediakan dan sebagai timbal balik, juga menambah nilai untuk layanan lain yang menggunakan API mereka, seperti Instagram, sebuah layanan berbagi foto yang dirilis untuk publik pada akhir tahun 2010. Foursquare sendiri mungkin sudah memiliki berjuta foto pada layanan mereka, tetapi jumlahnya jauh tertinggal oleh oleh Instagram yang setiap minggunya menerima 3,6 juta foto untuk ditampilkan.

Instagram membawa babak selanjutnya dari booming awal pada layanan check-in. Foto yang dibagikan di Instagram dapat ditandai dengan informasi lokasi yang ditarik dari database Foursquare. Hal ini menjelaskan bagaimana layanan berbasis lokasi dapat berguna untuk layanan lainnya.

Menurut Waraney Rawung dari Edelman Digital, banyak agensi digital yang melihat check-in sebagai sesuatu yang berharga untuk merek-merek yang mereka wakili. Seperti disebutkan sebelumnya, orang ingin terlihat di acara-acara keren dan lokasi yang paling populer. Edelman Digital baru-baru ini juga bekerja sama dengan Foursquare ketika mengadakan konser Live & Rockin di Jakarta. Konser ini cukup sukses karena menjadi acara Foursquare terbesar di negara ini dan tentunya membuat para punggawa Edelman Digital sangat bahagia.

Layanan check-in tidak mati, mereka masih dalam tahap bayi dan orang baru saja menemukan cara yang berbeda dalam memanfaatkan aspek yang relatif baru dari dunia web ini.

2 thoughts on “Masa Depan Check-in Baru Saja Dimulai

  1. Fasilitas check.in diawal kemunculannya memang memberikan kesan yang Wah.. 😀 terutama bagi saya sendiri. Dimana saya bisa memberi tahu posisi saya sekarang ada dimana kepada teman-teman.

    Pada dasarnya fasilitas check.in ini dihadirkan agar kita bisa berinteraksi dengan teman yang pada saat itu ada dilokasi yang sama. Tapi apa daya karena sifat user Indonesia yang mudah bosan. Karena kenyataannya walaupun pada lokasi yang sama banyak yang check.in tetapi mereka tidak pernah berinteraksi satu sama lain. Kebanyakan cuma update status saja. LOL

    Kelemahan yang mendasar dari fasilitas check.in ini adalah kita tidak bisa benar-benar tahu, apakah teman-teman kita yang check.in itu benar ada pada lokasi tersebut. Kita bisa dengan mudah memilih check.in ditempat-tempat yang gaul, misalnya cafe agar terkesan gaya. Padahal hal seperti ini adalah nol besar. Inilah yang harus dipecahkan oleh para penyedia layanan check.in sehingga bisa jadi nanti check.in kembali menjadi layanan yang menarik.

    best

Leave a Reply

Your email address will not be published.