Memaknai Kegagalan dalam Sebuah Langkah Awal

Seorang penggiat startup Hampus Jakobsson menuliskan tentang beberapa pengalamannya dengan dua startup yang pernah didirikan. Dalam perjalanannya bersama bisnis rintisannya tersebut, terdapat beberapa hal yang menurutnya baik untuk dipahami para calon pendiri maupun pendiri startup. Dua startup yang didirikan  Hampus memiliki dua hasil yang berbeda, startup pertama berhasil mendapatkan akuisisi dengan baik yang menakjubkan, sedangkan startup kedua yang didirikan baginya sebagai sumber pengetahuan dan kebijaksanaan sebagai seorang pendiri.

Apa yang diceritakan Hampus lekat kaitannya dengan bagaimana korelasi pendiri perusahaan dengan kesuksesan bisnis perusahaan. Ia mendefinisikan kedua poin tersebut sebagai sesuatu yang berbeda. Keberhasilan perusahaan dapat dilihat dengan bagaimana traksi konsumen yang terus meningkat. Sedangkan keberhasilan atau kegagalan lebih dilihat dari apa yang terjadi kepada orang-orang yang terlibat di dalam bisnis tersebut, terutama pendiri.

Dari berbagai sumber analisis bisnis banyak dikemukakan alasan mengapa startup tidak dapat survive, di antaranya karena pendiri tidak memiliki skill-set dalam inti bisnis, ada juga yang menyebutkan bahwa punggawa startup justru tidak mengerti masalah atau konsumen mereka, atau yang paling umum karena kurang bekerja keras dan pengambilan keputusan yang tidak tepat. Namun bagi Hampus semua itu tidak menjamin, nyatanya bumbu rahasia kesuksesan startup adalah keberuntungan dan waktu yang tepat. Terutama saat sudah berbicara sampai di level investor.

Untuk itu Hampus sedikit mendefinisikan berbeda tentang sebuah kegagalan. Baginya kegagalan bukan hanya tentang keadaan saat perusahaan tidak mencapai traksi yang diinginkan. Namun kegagalan adalah proses ketika perusahaan memiliki dampak negatif pada orang-orang yang terlibat di bawahnya, terutama sang pendiri sebagai motor utama bisnis. Beberapa indikasinya adalah sebagai berikut:

(1) Terganggunya finansial pribadi; Tak sedikit pendiri startup rela mengeluarkan banyak uang pribadinya untuk investasi awal. Namun kadang saat keberuntungan tak berpihak, perusahaan kesulitan untuk mengembalikan apa yang sudah diinvestasikan tersebut.

(2) Terganggunya kesehatan; Baik fisik ataupun mental dapat terserang, seiring pikiran yang carut-marut dan rasa frustrasi yang berlebihan. Jika tak piawai dalam mengendalikan, sering kali ini justru akan menjadi hambatan untuk bangkit dan meniti semua dari awal.

(3) Menyalahkan orang lain; Tak sedikit juga untuk orang yang gagal cenderung selalu mencari kambing hitam. Mencoba menyalahkan orang lain atas kegagalan yang diderita. Namun kadang kenyataannya semua itu memang dikarenakan manajerial yang kurang tertata, sehingga berdampak kepada inefisiensi kinerja tim.

(4) Tidak mau belajar; Menjadi salah satu yang paling berbahaya saat seseorang tidak bisa mengambil hikmah dari apa yang telah terjadi. Kendati saat startup bubar dan tidak memberikan valuasi, setidaknya pendiri bisa belajar lebih jauh tentang diri sendiri, dinamika kelompok dan penyiapan masa depan yang lebih baik.

(5) Menjadi lebih buruk lagi; Sayangnya, beberapa pendiri berpikir mereka selalu lebih baik daripada orang lain. Mereka tidak pernah membutuhkan bantuan dan tidak pernah membantu orang lain. Ingat bahwa keberuntungan, kerja keras dan beberapa keterampilan dapat membawa kesuksesan, tetapi tidak pernah menjamin itu.

Dari cerita tersebut disimpulkan bahwa startup membutuhkan kerja keras, dan kegagalan seharusnya dapat dikendalikan. Bahkan tidak ada salahnya untuk selalu siap sedia mengantisipasi hal yang akan menyandung dan membuat kegagalan tersebut menjadi nyata.