NFT hanya sebagian dari strategi musisi untuk berkarya yang berkesinambungan / Pixabay

Mencermati Tempat NFT Di Industri Musik

Tak lama setelah lulus kuliah, saya sudah bekerja di industri musik, terlibat dengan awal-awal layanan musik digital dalam bentuk ringtone dan ringbacktone (RBT). Petualangan pertama saya sebagai wiraswastawan, Ohdio.FM, adalah upaya memperkaya ekosistem musik. Bahkan perusahaan saya yang sekarang, KaryaKarsa, bermula dari menerapkan konsep direct-to-fans untuk musisi, walaupun kini KaryaKarsa bisa digunakan oleh kreator apapun. Jadi, karier saya sudah lama dekat dengan teknologi dan musik.

Salah satu topik paling ramai dibicarakan di tahun 2021 adalah NFT. Berbasis blockchain, NFT memberikan musisi alternatif dalam berpenghasilan dari kegiatan berkarya yang pada dasarnya mengurangi atau menghilangkan porsi pekerjaan (dan porsi bagi hasil) oleh penengah seperti distributor, bahkan label. Sehingga, NFT digadang-gadangkan sebagai teknologi yang akan pada akhirnya membawa kesejahteraan yang lebih merata pada produsen inti industri musik, yaitu musisi, karena musisi akan dapat mengatur sendiri harga dan royaltinya.

Namun, apakah prospeknya sesederhana itu?

2021 menjadi tahun yang cukup istimewa untuk gabungan musik + NFT. Dari 3BLAU sampai Audius, artikel ini cukup merangkum kejadian-kejadian menarik di ranah NFT musik. Dari tanah air, musisi Indonesia pun sudah mulai berkecimpung ke NFT; ada rilisan Aloysius Nitia menggunakan koin TEZ dan Alex Kuple merilis lagu NFT via Distrokid yang didistribusikan via Nifty Gateway (menggunakan ETH).

Secara umum, ketertarikan dunia ke NFT – lengkap dengan penolakannya – semakin meninggi sepanjang 2021. Jadi kalau dilihat secara anekdotal, potensi dampak teknologi NFT untuk industri musik, Indonesia maupun global, cukup besar.

Yang menarik dari NFT itu adalah bagian non-fungible, sehingga mendekatkan rilisan karya (misalnya musik) seperti yang sudah lama terjadi sebelum era internet dimulai, saat jumlah fisik sebuah karya itu terbatas (atau dibatasi).

Teknologi NFT memberikan verifikasi yang tak dapat dibantah soal kepemilikan terhadap sebuah aset digital dengan transparansi sampai ke transaksi awalnya, sebuah antitesis terhadap perbanyakan file digital tanpa batas dan tanpa rekam jejak jelas yang terjadi semenjak internet berdiri. Memang, filenya sendiri tetap dapat diperbanyak, tapi peneguhan hak akan karya tersebut tercatat di blockchain.

Keunggulan dari teknologi ini, digabungkan dengan semakin mudahnya memproduksi karya digital apapun dari komputer maupun HP, memberikan kendali dan kekuatan yang cukup besar kembali ke kreator seperti musisi.

Karena produksi toh sebenarnya bisa dilakukan sendiri semua, kini distribusi pun bisa dilakukan sendiri dengan bantuan situs-situs seperti Nifty Gateway atau Audius, tanpa harus adanya perusahaan rekaman maupun publisher (terlepas dari perlu atau tidak ya).

Nah, sebenarnya produksi dan distribusi mandiri, atau sering disebut indie, ini bukan sesuatu yang baru. Musisi sudah melakukan distribusi mandiri melalui situs seperti Bandcamp [atau KaryaKarsa], atau dibantu oleh layanan seperti Distrokid atua CDBaby.

Akan tetapi, untuk mengakses pendengar yang banyak, memang akhirnya akan berujung di layanan-layanan seperti Spotify dan Apple Music, yang model bisnisnya lebih menguntungkan siapapun label (atau agregator musik, seperti Believe) yang memiliki market share besar berdasarkan jumlah pendengar.

Perputaran uang music streaming belakangan ini bahkan didominasi oleh pemilik katalog lagu lama, yang notabene kebanyakan ada di para major label Universal Music, Sony Music Entertainment dan Warner Music.

Di sisi lain, kebanyakan pendengar musik masih enggan keluar uang jika yang ditawarkan “hanya” lagu. Dari pengamatan, konsumen musik – yang mau keluar uang – memilih untuk membayar untuk langganan layanan musik untuk mendapatkan lagu yang diinginkan, dan akan keluar uang lebih untuk hal-hal “unik” dari artis/musisi yang disukai, seperti merchandise, limited edition CD, dan sebagainya.

Preferensi konsumsi seperti ini, tentunya membuka lebar kemungkinan NFT musik menjadi salah satu cara fans seorang artis/musisi memberi dukungan.

Namun ada faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan seorang artis atau musisi mendapatkan penghasilan dari karyanya melalui merchandise sampai NFT, bahkan mendapatkan pemasukan lebih dari layanan music streaming. Faktor itu adalah basis pendengar atau fans.

Perlu diingat bahwa NFT dan merchandise, misalnya, adalah “barang jualan”. Kalau barang jualannya tidak ada potensi massa yang berminat membeli, akan menjadi masalah. Sehingga, pembentukan massa pendengar, penikmat dan fans ini tetap menjadi unsur penting dalam membangun karier seorang musisi komersial.

Di era sebelumnya, peranan membentuk massa pendengar ini banyak dilakukan oleh perusahaan rekaman. Mereka menemukan sebuah pola bisnis di mana mereka bisa benar-benar “mengorbitkan” seorang artis/musisi melalui usaha promosi yang gencar via media, memastikan lagunya terpasang cukup sering di TV dan radio, dan membentuk persepsi di media dan publik bahwa “lagunya enak dan artisnya keren”.

Di zaman media sosial ini, keadaan praktis berbalik saat seringkali artis sudah memiliki massa yang sudah terbangun sebelum melakukan perjanjian dengan perusahaan rekaman. Artis atau musisi yang sudah cukup sukses pun tidak tergantung pada pemasukan yang bisa dihasilkan via perusahaan rekaman, karena bisa “menyewakan” massa fansnya ke brand secara langsung dengan melakukan brand endorsement.

Dan kini, ada NFT.

Meskipun karier seorang artis atau musisi kini tidak melulu tergantung pada penjualan rekaman musik, komponen membangun massa ini tetap penting untuk memastikan ada yang membeli barang jualannya. Di sisi lain, industri NFT masih tergolong sangat spekulatif, seperti halnya cryptocurrencies yang digunakan untuk mencetak dan membelinya.

Meskipun saya yakin kolektor NFT memiliki keinginan tulus untuk mendukung kreator yang NFTnya mereka beli, tetap saja ada sisi spekulatif yang berharap nilai NFTnya akan mengalami apresiasi; ini bukan sesuatu yang buruk, karena hal yang sama juga terjadi di pasar seni yang lebih “tradisional” melalui seniman, kolektor dan galeri. Apresiasi terhadap seni tentu ada, namun spekulasi investasinya pastinya tetap ada. Ini realita yang perlu dihadapi saja.

Pada akhirnya, setidaknya buat saya, yang penting itu seberapa banyak seorang artis/musisi dapat menghasilkan uang untuk terus berkarya. Industri hiburan secara makro selama bertahun-tahun condong pada karya-karya yang dapat dijual ke massa yang besar, karena modal yang diperlukan untuk membuat karya tersebut – seperti film – juga besar, dipengaruhi juga oleh biaya yang diperlukan untuk pemasaran dan distribusi.

Dengan skala yang lebih kecil, dan pengeluaran biaya yang lebih rendah untuk pemasaran dan distribusi, harusnya ada tempat untuk kreator-kreator yang memiliki massa tak lebih dari 1000 followers sekalipun.

Untuk saya, NFT ataupun teknologi apapun yang akan datang untuk meramaikan pengalaman hiburan kita, hanya sebagian dari strategi atau produk yang perlu dipikirkan untuk karier berkarya yang berkesinambungan.


Disclosure: tulisan tamu ini dibuat oleh Ario Tamat. Ario adalah Co-Founder dan CEO Karyakarsa, platform apresiasi kreator Indonesia. Ia bisa dikontak di ario [at] karyakarsa [dot] com.