#SelasaStartup kali ini menghadirkan CEO The F People Rachel Octavia yang bercerita bagaimana tantangan dan peluang brand sebagai kreator konten digital

Mendalami Peran “Brand” sebagai Kreator Konten

Makin meningkatnya transaksi online menandakan bahwa media digital adalah channel iklan yang perlu diseriusi meski brand menjual produk secara offline. Strateginya tidak bisa disamakan ketika beriklan di televisi atau media cetak sebab channel digital tersebut memiliki karakteristik pengguna yang berbeda.

Hanya saja, membuat konten itu bukan perkara yang mudah. Ketersediaan data di dunia maya akan berguna sebagai bekal untuk membuat konten. Mendalami soal ini, edisi #SelasaStartup kali ini menghadirkan CEO The F People Rachel Octavia. Rachel banyak bercerita bagaimana tantangan dan peluang brand sebagai kreator konten di media digital.

Berikut rangkumannya:

1. Konsumsi informasi saat ini

Sebelum era digital dimulai, komunikasi antara brand dengan konsumen tergolong statis karena informasi hanya bisa didapat sangat terbatas. Konsumen umumnya hanya didikte iklan televisi, radio, dan koran.

Beda halnya dengan sekarang, informasi begitu mudahnya didapat. Menurut Rachel, kondisi ini pada akhirnya membuat brand harus pintar dalam menata konten bagaimana bisa menangkap dan engage dengan konsumen yang sesuai dengan target brand.

“Dalam tipe komunikasi saat ini brand harus membuat konten yang menyampaikan kejujuran, punya tujuan, dan otentik,” kata dia.

Sebagai tambahan, menurut dari statistik Google, secara rerata kini orang melakukan delapan hal lewat internet, membuka delapan aplikasi dalam seharinya, dan menghabiskan waktu paling tidak delapan detik saat melihat konten.

2. Sesuaikan konten dengan platform digital

Berangkat dari fakta di atas, brand punya pekerjaan rumah bagaimana ketatnya seleksi informasi yang ingin diterima oleh konsumen. Untuk itu, brand perlu tahu distribusi channel apa saja yang tepat untuk menyasar konsumen yang ingin dituju agar tidak salah kirim target.

Rachel menggambarkan Facebook seperti majalah, di mana konsumen mencerna konten dengan minim interaksi hanya memencet tombol like. Di sini konsumen cenderung kurang menyukai engage dengan video atau konten bermerek.

Sementara Twitter dianggap seperti koran yang juga memiliki minim interaksi. Instagram, di sisi lain, dianggap seperti tempat bermain, konsumen dapat memberi tanda “like“, komentar, berbagi ke pengguna lain, dan “follow” akun yang mereka suka.

“Line lebih ke arah konten yang ringan, menyenangkan, karena banyak dipakai anak milenial. Sementara YouTube seperti TV digital yang minim interaksi dan situs itu seperti one time stop outlet, jadi akan bergantung pada pengalaman konsumen apakah loading-nya lama atau tidak dan sebagainya.”

3. Pelajari karakteristik konsumen

Berkaitan dengan poin sebelumnya, Rachel menjelaskan konsumen digital saat ini cenderung mudah bosan karena akses terhadap informasi kini begitu mudah. Oleh karena itu, mereka sekarang sangat selektif dalam mendapatkan info, umumnya mencari sesuatu yang memikat mata.

Ketika ada konten yang menarik, konsumen akan lebih reaktif dengan secara otomatis langsung meninggalkan jejak memencet tombok “like” dan berkomentar. Komentar ini merupakan tanda butuh pengakuan di dunia maya, entah ingin terlihat pintar atau sekadar berbagi info yang menandakan dia ingin dikenali orang.

Di tambah, saat bertransaksi online konsumen digital itu ada tiga ciri khas. Yakni mereka mudah penasaran, namun di saat yang bersamaan juga sering menuntut dan tidak sabar.

4. Menyesuaikan konten

Ketika tiga poin sudah dikuasai, maka saatnya brand memosisikan diri sebagai kreator konten. Konten itu harus sesuai dengan kepribadian suatu brand, harus terasa nyata dan tidak dibuat-buat, dan juga ringan.

Brand harus memperhatikan bagian pembuka karena delapan detik pertama itu sangat penting dan berhubungan dengan target konsumen. Konsumen digital tidak akan mengacuhkan konten apabila tidak relevan dengan mereka.

“Brand juga harus membuat konten yang kekinian, berhubungan dengan isu yang terjadi sekarang. Yang terpenting, bahasa yang dipakai harus tepat sesuai dengan target konsumen.”

Dari segi visual, gambar yang dipakai harus eye catching, pemilihan warna dan jenis huruf yang tepat, dan trendi. Ditambah lagi, penggunaan caption entah qoute, candaan, dan emoji yang menarik apabila ingin meningkatkan engagement di media sosial.

Tak lupa, setelah konten dipublikasi, brand harus rajin melakukan evaluasi. Pertama dimulai dari tahap awareness-nya, bagaimana impresi, reach, awareness, dan view. Berikutnya masuk ke tahap evaluasi, lihat bagaimana berapa banyak yang mengklik, view, memberi komentar, engagement, like, love, dan Retweet.

Terakhir, di tahap purchasing, berapa banyak yang akhirnya membeli produk dari suatu brand setelah beriklan. Keseluruhan tahap evaluasi ini bisa menggunakan tools yang disediakan Google Analytics, Google Keyword Planner, Google Trend, YouTube Analytics, Instagram Analytics, Facebook Analytics, Twitter Analytics, dan Keyhole.io