Mendiskusikan Pentingnya Implementasi Big Data dalam Jurnalistik

Era digital membawa penetrasi pengguna internet semakin tinggi, sehingga berdampak pada datangnya informasi dan data yang melimpah. Hal tersebut memberikan kesempatan dan tantangan baru bagi berbagai industri. Salah satunya adalah industri media yang kerap mengalami terpaan arus informasi secara berlebih atau information overload.

Big data menjadi salah satu pendekatan teknologi yang paling sering disinggung. Pemanfaatan big data jadi krusial, sebab kumpulan data yang muncul dengan jumlah sangat besar sejatinya dapat diolah untuk dianalisis di berbagai keperluan seperti melakukan prediksi, membuat keputusan, membaca sebuah tren, melihat tingkah laku konsumen dan lain sebagainya.

Di industri media, penulisan jurnalistik akan lebih rinci, menarik, dan kredibel bila disertai penggunaan dan analisis data yang kuat. Pun demikian, perlu ketelitian dalam memilah data saat akan digunakan sebagai sumber acuan, baik untuk penelitian maupun penulisan berita.

Terkait hal tersebut, Wahyu Dhyatmika, perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menerangkan jurnalisme data sangat ampuh untuk menajamkan angle seorang jurnalis sebelum menayangkan berita. Cara kerja jurnalisme data pada umumnya sama seperti pada umumnya, yakni merumuskan pertanyaan, menemukan data, mendapatkan data, memilah data, menganalisis, dan mempresentasikan data.

Ia mencontohkan untuk sebuah laporan investigatif penggunaan big data sangat berguna bagi jurnalis saat menjawab hipotesis dari pertanyaan yang ingin dipecahkan. Apabila dari hasil data ditemukan hipotesis terbantahkan, berarti jurnalis tersebut bisa langsung mengubah arah tulisan mereka.

“Jurnalisme data itu butuh cara kerja yang berbeda dari yang biasa dilakukan, narasinya pun tidak tunggal, malah pembaca sendiri yang diharuskan mengambil kesimpulan. Proses pengerjaan berita di newsroom pun, bila dari big data hipotesis sudah terbantahkan, jurnalis jadi tahu kapan harus mengubah pertanyaannya. Proses pengerjaan jadi lebih efisien,” terang Wahyu, Senin (14/11).

Wahyu mengakui, masih banyak sumber data (berupa situs website) di tanah air yang belum real-time pengumpulan datanya. Sehingga saat melakukan jurnalisme data, sang jurnalis butuh waktu yang banyak untuk mengumpulkan data yang diperlukan satu per satu. Beberapa situs data yang sering diandalkan disediakan oleh pemerintah untuk diakses oleh publik, misalnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Wahyu kembali mencontohkan, salah satu pemanfaatan big data yang tepat dengan mengawinkan data yang tersedia untuk publik dengan teknologi tercermin dari apa yang dilakukan oleh India Spend, Connected China, Medicare Unmasked yang disediakan oleh Wall Street Journal, dan perjalanan karier Kobe Bryant dalam grafik foto dihadirkan oleh LA Times.

Keseluruhan situs tersebut, disajikan dalam satu halaman saja dengan data yang ditumpahkan seluruhnya oleh pemilik media. Publik bisa menarik sendiri narasi sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

Tony Seno Hartono, National Technology Officer Microsoft Indonesia, menambahkan dalam data yang disajikan APJII 2016 tingkat penetrasi internet yang sudah mencapai angka 132,7 juta pengguna mengakibatkan timbulnya data yang melimpah. Kondisi ini telah menjadi tantangan baru bagi industri media untuk menyaring data yang masuk agar tidak berlebihan dan tetap relevan.

Tony mencontohkan, salah satu aplikasi yang dapat dimanfaatkan oleh jurnalis ataupun orang-orang dari industri lainnya untuk mengolah data mentah jadi data matang, yakni dengan memanfaatkan Power BI (sebuah perangkat visualisasi data dari Microsoft).

“Kekuatan data sangat diperlukan oleh seluruh industri, termasuk media. Agar industri dapat menghadapi tantangan, maka data yang disajikan harus kredibel,” ujar Tony.