Punya ide cemerlang saja bukanlah bekal yang cukup untuk membawa suatu perusahaan startup bisa “lepas landas” dan berkembang. Perlu validasi yang terus menerus, tidak bisa sekali saja saat baru mau merintisnya.
Berangkat dari validasi ide, akan terbentuk cara eksekusi yang tepat sehingga menimbulkan efek “snowball” seperti misalnya dilirik oleh investor, mendapat pengakuan dari para pengguna dan semakin banyak dikenal oleh masyarakat.
Untuk menekankan pentingnya konsep ini, #SelasaStartup menghadirkan CEO & Co-Founder Nodeflux Meidy Fitranto. Meidy banyak berbagi mengenai pengalamannya bagaimana bisa memvalidasi idenya sehingga terbentuklah Nodeflux, startup intelligent video analysis dengan AI.
Tidak validasi ide, penyebab startup gagal
Meidy menjelaskan punya produk bagus, tim dan uang saja yang cukup tidak menjamin suatu startup bisa sukses. Kunci pertama terletak di kemauan founder untuk menekan ego sendiri yang mengasumsikan produk ini canggih dan pasti akan dibeli masyarakat.
Kenyataan sebenarnya, bahwa tidak ada yang peduli dengan produk dikira canggih dan belum ada di pasar manapun. Ini pasti terjadi ketika asumsi berlebihan tanpa disertai validasi ide.
“Saat Nodeflux dirintis, kita juga bermain dengan asumsi yang ternyata tidak fit dengan pasar. Padahal waktu itu kita berpikir produk ini sangat canggih. Akhirnya market fit bolak balik sampai pivot, lalu ketemu celah yang kita pilih ini bisa dioptimalkan dan jadi landasan Nodeflux untuk maju ke depannya,” kata Meidy.
Untuk validasi ide, ada tiga pertanyaan dasar yang harus bisa dijawab oleh founder. Yakni: (1) apakah ada orang yang mau pakai produk kita?; (2) berapa banyak dari mereka yang mau bayar?; (3) dan seberapa banyak orang di luar sana mau beli produk?.
Dalam membuktikan validasi, satu hal yang wajib dilakukan founder adalah pergi ke luar, bertemu orang untuk melihat seberapa terkonfirmasinya ide dengan kebutuhan pasar. Kalau ingin mendapatkan hasil yang instan, bisa menyebarkan kuisioner dengan random sampling bahkan tidak harus mengeluarkan biaya sepeser pun.
Metode lainnya adalah bertemu langsung dengan perwakilan yang memiliki suara cukup penting dan mewakili industri untuk mendapatkan masukan lebih dalam.
Lakukan validasi secara berulang
Meidy juga menekankan bahwa validasi ini bukan berarti harus dilakukan sebelum bertemu investor, ada juga yang kasusnya baru bisa terjadi setelah mendapat kucuran dana. Kejadian tersebut terjadi di Nodeflux, sebab untuk validasi ide ini disadari butuh uang dan tidak bisa dilakukan dengan cara yang instan dan gratis.
Validasi ide juga tidak bisa dilakukan sekali saja, melainkan harus terus menerus. Meidy menjelaskan bahwa ini terjadi karena validasi ide ini bergerak dinamis, menyesuaikan dengan posisi suatu startup.
Bisa jadi pertama kali dilakukan, dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran besar dari industrinya. Seiring waktu berjalan dia meyakini akan berkembang karena ide kita terhadap sesuatu akan menjadi value, yang mana akan terus bergerak sehingga butuh validasi terus menerus.
Pola validasi ide ini dimulai dari membangun MVP, peluncuran produk, memperbaiki semua kekurangan, dan selalu mengulangi ketiga hal ini.
“Prototyping kita dimulai tahun 2015, lalu mulai bangun kantor di tahun berikutnya. Di situ kita dapat funding, rekrut talenta, dan eksekusi produk. Setahun berikutnya baru yakin untuk hadir ke pasar.”
Eksekusi terpenting, ide ada di nomor kesekian
Konsep ini sebenarnya juga dianut oleh para investor, bahwa mereka cenderung untuk berinvestasi ke founder bukan ke produk mereka, seberapa canggih teknologi yang dipakai. Mentalitas founder mampu untuk adaptif terhadap berbagai kemungkinan di luar lingkungan yang bisa memengaruhi bisnis.
Kemampuan adaptif inilah yang lebih penting dari sekadar ide yang bisa ditemukan oleh siapapun tapi belum tentu bisa sukses saat eksekusi.
“Sebaik apapun ide yang dibahasakan dengan baik ke orang, enggak akan segampang itu kalau mau dicontek dari ide saja sebab harus memahami semua seluk beluknya, jadinya tidak mudah.”
Agar eksekusi berjalan mulus, butuh produk bagus yang hanya bisa dihasilkan oleh talenta yang berkualitas. Oleh karenanya, isu rekrut talenta di tahap awal bisa jadi halangan. Meidy mengaku tidak mudah mendapatkan talenta kualitas bagus saat awal Nodeflux dirintis.
Mengingat konsep Nodeflux yang cukup hi-tech, akhirnya diputuskan untuk mengambil pendekatan dengan gimmick marketing “magical particle” yang disematkan dalam situs disertai kalimat marketing dengan susunan eye-catching. Hasilnya cukup banyak aplikasi yang masuk dari anak-anak lulusan S2.
“Kita baru bisa validasi ide setelah dapat funding. Dari situ elemen yang paling susah adalah rekrut orang. Untuk meyakinkan orang gabung itu susah banget, kebanyakan mereka itu mikirnya lebih baik gabung ke startup yang sudah besar. Padahal produk yang bagus itu harus dihasilkan dari orang-orang yang kualitasnya bagus,” pungkasnya.