Sejalan dengan wacana revisi aturan p2p lending, platform fintech lending di bawah supervisi OJK didorong konsolidasi lewat merger dan akuisisi

Mengulik Wacana Revisi Aturan P2P Lending

Empat tahun setelah OJK menerbitkan POJK 77 Tahun 2016, dinamika industri lending tumbuh begitu pesat. Tercatat per 7 Desember 2020, ada 152 perusahaan yang beroperasi, dengan 36 di antaranya sudah memperoleh izin dan sisanya masih berstatus terdaftar.

Angka ini sebenarnya menyusut dibandingkan tahun lalu yang mencapai 164 penyelenggara terdaftar dan berizin. Bergugurannya itu diketahui karena tanda daftarnya dicabut karena tidak memenuhi ketentuan atau secara sukarela mengembalikan ke OJK.

Total outstanding pinjaman per September 2020 tercatat mencapai Rp12,72 triliun. Merekahnya potensi industri ini didukung kucuran investasi yang masuk dari jajaran investor global maupun lokal. Dalam catatan Startup Report 2019 yang disusun DailySocial, fintech menjadi industri tiga besar yang paling sering mendapat investasi dalam kurun tiga tahun belakangan.

Akan tetapi, suburnya angka pemain ini selaras dengan pertumbuhan jumlah perusahaan fintech ilegal. Menurut catatan, Satgas Waspada Investasi sejak bertugas tahun 2018 sampai Oktober 2020 telah menghentikan 2.923 perusahaan, lebih besar dari jumlah perusahaan yang resmi beroperasi.

Pekerjaan rumah regulator tak hanya di situ. Dari total outstanding, persebarannya masih terpaku ke dalam Pulau Jawa dan masih didominasi oleh pinjaman konsumtif. Bahkan, dari seluruh penyelenggara, OJK mencatat hanya 10 pemain teratas dengan kontribusi hingga 61,68% dari pangsa outstanding industri.

Beberapa alasan di atas akhirnya melandaskan regulator untuk merevisi POJK 77 Tahun 2016 dan rencananya akan disahkan menjelang akhir tahun ini. Dalam draft tersebut, ada tujuh poin yang ditekankan:

  1. Penghapusan status pendaftaran, hanya perizinan.
  2. Peningkatan syarat modal disetor minimum, menjadi Rp15 miliar saat perizinan dari sebelumnya Rp2,5 miliar.
  3. Ketentuan persyaratan ekuitas sebesar 0,5% dari total outstanding atau sekurang-kurangnya Rp10 miliar.
  4. Adanya fit & proper test pengurus dan PSP.
  5. Kewajiban pinjaman ke sektor produktif dan luar Pulau Jawa.
  6. Penguatan ketentuan agar pemegang saham existing lebih berkomitmen dalam mendukung penyelenggaraan p2p lending.
  7. Menambahkan ketentuan prinsip syariah yang sebelumnya belum diatur.

Mayoritas dari poin di atas disinyalir sebagai cara OJK mengefisienkan pemain lending agar dapat memberikan kontribusi ekonomi kepada negara secara lebih signifikan.

Tanda-tanda OJK untuk mengambil langkah ini sudah terlihat sejak Februari 2020, saat disahkannya moratorium pendaftaran untuk penyelenggara baru paling lama sampai paruh kedua tahun ini.

Alasannya, jumlah pemain saat ini sudah terlampau banyak dan kualitas industri perlu ditingkatkan lebih dulu. Di saat yang sama, regulator perlu waktu untuk memperbaiki sistem pengawasan.

Perlakuan sama

Mengefisienkan jumlah pelaku industri sebenarnya juga diberlakukan regulator untuk semua industri yang dinaunginya. Di industri keuangan saja, OJK mendorong seluruh industri di bawahnya untuk melakukan konsolidasi baik itu merger atau akuisisi agar memiliki daya saing sekaligus bentuk adaptasi dengan situasi ekonomi terkini.

Perintah OJK merata, yakni memberlakukan batas modal minimum yang harus dipenuhi sebelum tenggat waktu ditentukan. Di perbankan, misalnya, Indonesia memiliki sekitar 1.800 BPR berskala kecil dan 113 bank BUKU I-IV per tahun lalu.

Lewat POJK Nomor 12 tentang konsolidasi bank umum yang baru disahkan pada Maret 2020 disebutkan menjelang akhir tahun bank-bank kecil atau bank BUKU I harus memiliki modal inti minimal Rp1 triliun. Kemudian secara bertahap modal inti tersebut harus mencapai minimal Rp3 triliun pada 2022.

Bila tidak berhasil memenuhi ketentuan tersebut, bank harus membuat kesepakatan dengan OJK tentang exit policy-nya sampai ada komitmen bersama. Adapun opsi lainnya, bank bisa turun kelas atau konversi menjadi BPR, atau self liquidation.

Pemberitaan merger dan akuisisi akhirnya mewarnai dinamika industri perbankan. Sebagai contohnya, BCA telah mengambil alih dua bank, yakni Bank Royal dan Rabobank untuk menginduk padanya (masing-masing menjadi Bank Digital BCA dan dimerger dengan BCA Syariah).

Lalu, POJK Nomor 5 Tahun 2015 tentang kewajiban penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti minimum BPR, yang mewajibkan BPR memiliki modal inti minimum sebesar Rp3 miliar sampai 31 Desember 2019 dan sebesar Rp6 miliar sampai 31 Desember 2024.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan sekaligus Anggota Dewan Komisioner OJK Heru Kristiyana menyebutkan, petugas pengawas bank OJK banyak terkuras untuk mengawasi bank-bank kecil yang jumlahnya banyak ini. Pengawasan menjadi tidak efisien dan OJK berharap bank-bank kecil ini bisa berkonsolidasi agar makin kuat.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengungkapkan, memang sepertinya langkah OJK untuk mengefisiensikan industrinya dengan menekankan perlunya merger dan akuisisi pada industri keuangan.

“Dengan adanya kenaikan modal inti, tentu saja semakin memberatkan fintech p2p lending yang sekarang maupun pemain yang akan masuk industri karena syarat yang menurut saya pribadi cukup berat untuk sebuah bisnis rintisan,” ucapnya kepada DailySocial.

Ia berpandangan rencana revisi, khususnya mengenai poin batas modal minimum, lebih cocok untuk perusahaan p2p lending yang sudah stabil dan mendapat pendanaan dari investor, sehingga kenaikan syarat modal inti tidak memberatkan mungkin tidak memberatkan mereka.

Kurang tepat

Dalih OJK yang beralasan bahwa semakin sedikit jumlah pemain, maka akan semakin tingginya kualitas pemain fintech. Ia justru memandang dari sisi lain, bahwa kualitas dari pemain fintech bukan hanya dilihat dari pembatasan modal inti, melainkan dari hal penggunaan teknologi, persyaratan hingga batasan platform pinjaman yang diberikan.

Nailul lebih menyoroti dari sisi teknologi, sebab bisa jadi ke depannya teknologi yang digunakan perusahaan akan semakin bagus dan semakin murah. Hal tersebut akan bertolak belakang dengan batasan modal inti, apabila terlalu tinggi justru menghambat persaingan usaha. “Saya yakin teknologi akan mengarah kepada semakin canggih dan semakin murah.”

Oleh karenanya, Nailul berpendapat langkah yang diambil OJK untuk efisiensi jumlah p2p lending dirasa kurang tepat karena ia berkeyakinan makin ke sini, biaya teknologi akan semakin murah dan bagus. Kondisi tersebut membuat biaya pendirian perusahaan fiintech jadi semakin murah.

“Namun karena ada pembatasan modal yang terlalu tinggi bisa menyebabkan perusahaan rintisan bidang fintech kesulitan mendapatkan modal inti tersebut. Ini bisa jadi merugikan dalam hal persaingan dan konsumen akan semakin tercekik dengan bunga fintech yang saat ini relatif tinggi.”

Ia menambahkan argumennya tersebut dengan ilustrasi sederhana. Dengan perkembangan teknologi, biaya produksi untuk sebuah fintech akan semakin murah. Masyarakat bisa mendapatkan bunga dengan tarif relatif rendah. Namun karena ada peraturan OJK tentang modal inti yang tinggi, maka beban tersebut akan dibebankan ke masyarakat yang hendak meminjam. “Jadi bunganya semakin tinggi.”

Oleh karenanya, bila tetap diberlakukan, ia berharap OJK dapat memberlakukannya secara bertahap atau dibagi menjadi beberapa kelas (BUKU) seperti perbankan. Hal ini untuk mengakomodir perusahaan rintisan dan tidak menghalangi perkembangan dan inovasi teknologi.

Pandangan pemain fintech

Sumber: Modalku
Sumber: Modalku

DailySocial pun turut meminta pandangan dari dua pemain penyelenggara lending terkait kesiapan modal minimal yang tertuang dalam draft revisi POJK 77 Tahun 2016.

Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya berpandangan persyaratan modal dan ekuitas merupakan hal yang penting dan wajar bagi lembaga jasa keuangan. Kecukupan modal merupakan salah satu cara untuk menentukan tingkat kesehatan suatu perusahaan dan merupakan strategi agar dapat bertahan dalam kondisi sulit.

“Untuk menjalankan kegiatan usaha dalam bidang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi, tentunya penyelenggara diharapkan memiliki keuangan yang sehat dan oleh karenanya, persyaratan permodalan dan ekuitas menjadi salah satu tolak ukur yang direncanakan akan diatur ke depannya.”

Mengenai wacana kewajiban pendanaan ke luar Pulau Jawa, sepenuhnya Reynold sepakat bahwa ini adalah salah satu langkah efektif untuk mempercepat literasi keuangan yang merata. “Saat ini Modalku pun telah menjangkau UMKM di luar Pulau Jawa melalui fasilitas pinjaman untuk online seller dan akan terus memperluas jangkauan kami.”

Ia pun berharap, apabila wacana beleid tersebut disahkan, dapat diberikan waktu yang memadai agar para penyelenggara dapat memastikan penerapan ini bisa dilakukan dengan maksimal dan secara bertahap.

Modalku secara grup diklaim telah berhasil menyalurkan pembiayaan sebesar Rp18,8 triliun secara akumulasi. Perusahaan juga masuk ke segmen penjual online tanpa agunan hingga Rp250 juta dengan rata-rata nominal pinjaman skeitar Rp25 juta. Produk ini telah menyalurkan lebih dari Rp760 miliar kepada lebih dari 26 ribu pengusaha online.

COO KoinWorks Bernard Arifin juga sepakat bahwa meningkatkan modal inti bukanlah menjadi isu karena secara prinsipal sangat penting untuk dilakukan. Terlebih itu, ketertarikan investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan lending di Indonesia dinilai masih cukup besar, terutama karerna besarnya potensi pasar penyaluran pembiayaan untuk UKM di Indonesia itu sendiri.

“Ini jadi hal positif karena sekarang lending sudah masuk sebagai industri yang mature sehingga perlu memberlakukan prinsip kehati-hatian, transparansi, sebab awareness konsumen meningkat.”

Sejalan dengan itu, upaya perusahaan untuk memperluas kehadiran di luar Pulau Jawa bakal terus digalakkan mulai tahun depan. Pada tahun ini, KoinWorks membuka kantor perwakilan di Sumatera. Penyaluran outstanding peminjaman di KoinWorks saat ini 50% masih berpusat di Pulau Jawa dan didominasi di Jabodetabek, lalu ada Medan 15%, Bali 10%, dan Sulawesi 10%.

Saat ini outstanding penyaluran KoinWorks lebih dari Rp2,5 triliun dengan rata-rata penyaluran per bulan antara Rp200 miliar-Rp300 miliar, hampir kembali mencapai angka penyaluran sebelum pandemi berkisar Rp350 miliar. Pertumbuhan pemberi pinjaman tumbuh hingga 61% year-on-year atau sebesar 549 ribu penggguna pada akhir tahun ini.

Berkiblat ke negeri Tirai Bambu

OJK mungkin membaca betul bagaimana kondisi ekosistem p2p lending di Tiongkok yang sudah hancur lebur. Kehancurannya dimulai pada tahun lalu. Regulator Tiongkok membuat aturan ketat untuk meminimalisir praktik shadow banking yang merugikan konsumen.

Mereka menetapkan hanya perusahaan dengan modal tidak kurang dari 50 juta Yuan yang dapat beroperasi dan diwajibkan untuk transisi bisnis menjadi perusahaan pinjaman regional, dan tidak kurang dari 1 miliar Yuan untuk bertransisi menjadi pemberi pinjaman kecil yang memenuhi syarat untuk beroperasi secara nasional.

Aturan keras ini  efektif mengurangi jumlah perusahaan dari sekitar 6 ribu perusahaan di 2015, menjadi 427 pada akhir Oktober 2019. Bahkan kini jumlahnya makin menyusut menjadi enam perusahaan pada September 2020. Industri tersebut telah merugikan para investor senilai lebih dari 800 miliar Yuan ($ 115 miliar) dari platform yang gagal.

Tidak berhenti di situ, pemerintah Tiongkok akhirnya bersatu padu agar tidak mengulangi kesalahan yang berdampak sistemik. Mereka mulai menyoroti bank data dan perlindungannya yang dikumpulkan perusahaan raksasa teknologi seperti Alibaba, Tencent, Baidu, Meituan, dan lainnya dalam memberikan layanan fintech kepada para pengguna lewat platform di bawahnya.

Guo Shuqing, Chairman China Banking and Insurance Regulatory Commission (CBIRC), menuturkan industri fintech menyebabkan banyak fenomena dan masalah baru. Oleh karena itu, perlu memperhatikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan seperti ini:

“Apakah [perusahaan] teknologi besar memblokir pendatang baru? Apakah mereka mengumpulkan data dengan tidak benar? Apakah mereka menolak untuk mengungkapkan informasi yang seharusnya dipublikasikan? Apakah mereka terlibat dalam perilaku yang menyesatkan pengguna dan konsumen?”

Guo bilang, perusahaan besar seperti Alibaba dan Tencent memiliki banyak anak usaha yang bergerak di bidang fintech, meski dikenal dengan produknya di bidang pembayaran elektronik. Tapi di bawah payung yang sama mereka bisa menyediakan layanan lebih dari sekadar itu.

“Beberapa teknologi besar menjalankan bisnis lintas sektor dengan aktivitas keuangan dan teknologi di bawah satu atap. Perlu untuk terus mengikuti limpahan ini… dan mengambil tindakan tepat waktu dan tepat sasaran untuk mencegah risiko sistemik baru,” katanya.