Keberhasilan melakukan ekspansi adalah salah satu tolok ukur pertumbuhan bisnis; tak heran banyak founder terang-terangkan menyampaikan ambisi tersebut di berbagai kesempatan. Dimulai dari ekspansi nasional, regional, kemudian global. Di ekosistem startup Indonesia, beberapa pemain telah unjuk gigi melakukan perluasan ke luar negeri. Levelnya masih regional, mencoba menggarap pasar di negara-negara Asia Tenggara.
Melihat dari tren yang sudah ada, umumnya ekspansi dilakukan untuk dua kepentingan. Pertama adalah penguatan operasional bisnis, Singapura dan India sejauh yang paling favorit. Para startup membuat kantor operasional atau pusat R&D. Kedua, ekspansi membuka pangsa pasar baru, meningkatkan pengguna, dan traksi bisnisnya. Untuk kepentingan ini, Vietnam tampak lebih menjanjikan dan menjadi prioritas.
Saat ini, sudah ada beberapa startup lokal yang turut jajakan layanannya di Vietnam. Sebut saja Gojek, Ruangguru, Traveloka, dan PasarPolis. Dalam sebuah kesempatan diskusi virtual yang digelar KBRI Hanoi pada 12 Agustus 2020 lalu, perwakilan Traveloka menyampaikan, sebelum pandemi bisnis mereka mendapati pertumbuhan baik dan setelah pandemi pun berbagai rencana sudah dicanangkan termasuk kolaborasi dengan berbagai pihak.
Dubes RI untuk Vietnam, Ibnu Hadi, dalam diskusi bertajuk “Digital Economy Opportunities in Indonesia and Vietnam” tersebut mengatakan, pemerintah akan membantu “membuka pintu” bagi startup Indonesia yang ingin membuka pasar ke Hanoi. Upaya yang sudah dilakukan termasuk secara intensif memulai kolaborasi dengan pemain di ekosistem startup di sana.
Beberapa pemodal ventura dari Indonesia juga sudah lakukan pendanaan untuk startup Vietnam. Di tahap awal ada Venturra, East Ventures, dan Alpha JWC Ventures; sementara di tahap lanjutan ada Openspace, Northstar, EV Growth.
Tentang pasar Vietnam
Kepada DailySocial, Partner East Ventures Melisa Irene mengatakan, potensi pasar internet Vietnam saat ini menjanjikan. Jika dibandingkan dengan Indonesia, menurutnya perkembangan ekosistem di sana berada 3-4 tahun di belakang Indonesia. East Ventures sendiri sudah berinvestasi di dua startup di sana, yakni CirCo (operator coworking space) dan Kim An Group (fintech lending untuk UKM).
“Vietnam potensial karena populasinya kedua terbesar setelah Indonesia, mayoritas penduduk sangat muda, dan Vietnam baru beberapa tahun terakhir membuka perekonomian ke pasar global. Hal tersebut yang akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi digital di Vietnam dalam beberapa tahun ke depan,” imbuh Irene.
Pendanaan Seri A Kim An Group sebenarnya juga baru berhasil ditutup pekan lalu. Selain East Ventures, Patamar Capital turut terlibat dalam putaran tersebut. Patamar Capital sendiri juga menjadi pemodal ventura yang cukup aktif di ekosistem Indonesia. Mereka beroperasi di beberapa negara di Asia Tenggara dan memiliki perwakilan (partner) di masing-masing wilayah.
Kami berkesempatan untuk mewawancara Partner Patamar Capital, yakni Dondi Hananto (Indonesia) dan Shuyin Tang (Vietnam).
Bekerja sehari-hari dengan ekosistem di sana, Shuyin mengakui bahwa kondisi di Vietnam masih tertinggal beberapa tahun dari Indonesia. Tapi jika melihat lanjut perkembangannya, ia merasa optimis tentang masa depan startup digitalnya. Perkembangan infrastruktur dan talenta yang solid melandasi argumen tersebut.
Terkait fintech, lanskap bisnis yang paling berkembang di regional, Shuyin berpendapat di Vietnam sektor tersebut cenderung lebih terkontrol dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Bank Negara Vietnam merilis lisensi untuk fintech dengan jumlah yang sangat terbatas, baik untuk platform pembayaran, pinjaman, dan model bisnis lainnya.
“Meski begitu, pembayaran digital adalah ruang yang cukup aktif di Vietnam, ada Momo baru-baru ini mengumumkan telah mencapai 20 juta pengguna sejak diluncurkan 10 tahun lalu. Pemain lain yang cukup ternama adalah Moca (telah bermitra dengan Grab) dan ZaloPay. Gojek juga mengumumkan telah mengambil saham mayoritas di WePay, yang berarti kami akhirnya akan bisa menikmati GoPay,” terang Shuyin.
Iklim bisnisnya juga berbeda jika dibandingkan di Indonesia. Per Agustus 2020, di Indonesia ada 158 startup p2p lending yang terdaftar di OJK. Sementara di Vietnam, dari pantauan Shuyin kondisinya sebaliknya, bisa dikatakan fintech lending lebih rumit. Startup terkait harus bekerja sama dengan institusi keuangan yang sudah ada sebelumnya, baik dari perbankan maupun nonbank. Tidak ada model “perusahaan multifinansial” di Vietnam, juga belum ada kerangka hukum khusus untuk p2p lending.
“Jadi saya harus mengatakan bahwa lebih sulit bagi perusahaan yang fokus pada pinjaman untuk memulai di Vietnam. Perusahaan ini beroperasi di ‘zona abu-abu’ atau harus bermitra dengan bank. Dan begitu Anda mencapai skala tertentu, beroperasi di zona tersebut bukan pilihan, harus menemukan cara untuk mendapatkan lisensi yang cepat. Biasanya proses ini akan panjang dan mahal,” imbuhnya.
Selain fintech, dalam tesis Patamar Capital juga ada beberapa lanskap startup yang diprioritaskan di pasar Vietnam, yakni healthtech, editech, logistik, dan layanan pemberdayaan UKM.
Karakteristik pasar Vietnam
Venturra menjadi salah satu pemodal ventura asal Indonesia yang sudah injakkan kaki di sana dan memiliki tim yang didedikasikan di negara tersebut. Kepada DailySocial, Partner Venturra Raditya Pramana memberikan analisisnya soal mengapa Vietnam menjadi menarik bagi founder yang merencanakan ekspansi.
Ia berkata, saat berbicara tentang pangsa pasar, setelah suatu startup Indonesia ingin berekspansi secara regional, mereka akan disuguhkan dengan dua pilihan: Filipina dan Vietnam.
“Setelah Indonesia, negara yang memiliki populasi besar Filipina dan Vietnam. Kalau kita membandingkan dua pilihan tersebut, kompleksitasnya menentukan. Filipina berbentuk kepulauan, terpisah-pisah; sementara Vietnam cuma terbagi di dua wilayah besar, satu Hanoi di Utara dan satunya Ho Chi Minh City di Selatan. Jadi itu menjadi entry point yang lebih memudahkan untuk perusahaan membangun kehadirannya,” ujar Raditya.
Hal menarik yang juga disorot Raditya adalah seputar talenta. Jika di Indonesia startup cenderung lebih mudah mendapatkan talenta bisnis dan sulit mendapatkan talenta teknis, Vietnam kebalikannya talenta bisnis yang lebih sulit ditemui di sana, sementara talenta teknis lebih mudah dan terjangkau. Ini bisa menjadi pertimbangan juga bagi startup digital yang ingin membangun basis di negara tersebut.
“Dari segi besaran pasar memang belum sebesar di Indonesia, tapi perkembangannya bisa sangat cepat. Seperti diketahui, mereka juga dapat momentum akibat trade war antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Banyak perusahaan manufaktur di sana. Reformasi politik yang terjadi beberapa tahun terakhir memberikan banyak peluang pertumbuhan perekonomian, termasuk memudahkan perusahaan luar untuk hadir di sana,” lanjut Raditya.
Keseriusan Venturra telah ditunjukkan dengan menempatkan tim di Vietnam sejak Maret 2020 untuk terlibat secara langsung dalam ekosistemnya. Di Q1 tahun inimereka sudah berinvestasi di dua startup Vietnam, sementara targetnya mencapai 5-7 startup. Pandemi mengharuskan Raditya dan tim melakukan banyak penyesuaian rencana investasi mereka.
“Fokus utama kami jelas di Indonesia, karena kami perusahaan di Indonesia dan lebih mengerti baik pasar ini. Tapi kalau berbicara tentang pasar luar negeri, maka target kami ada dua, yakni Vietnam, lalu Singapura [karena merupakan hub bisnis di regional],” kata Raditya.
Sebagai negara berpotensi untuk ekspansi pasar, Shuyin memberikan pandangannya. Vietnam adalah pasar yang tumbuh secara alami yang perlu dipertimbangkan dalam ekspansi regional. Menariknya, dari pengamatannya di Vietnam, setelah Covid-19, minat terhadap investasi di negara tersebut melesat. Termasuk karena strategi keberhasilan Vietnam dalam membendung dampak pandemi.
“Menurut saya di level atas, ya, tentunya Indonesia dan Vietnam memiliki karakteristik mirip. Populasi muda, pendapatan terus meningkat, ekosistem teknologi makin matang, dan sebagainya. Tapi satu hal yang tim kali lihat berkali-kali ada banyak nuansa lokal, dan perbedaan ini penting,” ungkap Shuyin.
Partner Patamar Capital lainnya Dondi Hananto menambahkan, ia setuju tentang adanya banyak kesamaan. “Saat Anda berada di Jakarta atau Ho Chi Minh City, atau berada di Hanoi atau Surabaya, Anda akan menemukan kemacetan di mana-mana, dan jutaan sepeda motor. Namun jika diliat lebih dekat, nuansa lokal akan sangat penting dalam memahami perilaku pelanggan.”
“Misalnya dalam perjalanan saya ke Vietnam, saya tidak pernah menginjakkan kaki di satu mall pun. Ya, kami pernah rapat di kafe atau restoran, tapi tidak di pusat perbelanjaan. Beda dengan sehari-hari di Jakarta, biasanya sebelum pandemi saya sering melakukan meeting di mall, bahkan kantor kami ada di coworking space di dalam mall. Meskipun ini mungkin tampak sepele, saya yakin hal-hal seperti ini mempengaruhi cara pelanggan berperilaku dan mungkin membentuk bagaimana bisnis mendekati pasar,” imbuh Dondi.
Tips untuk startup
Dengan kondisi tersebut, ada beberapa tips yang disampaikan untuk startup yang merencanakan untuk membuka pasar di Vietnam. Pertama, menurut Irene, pemahaman kondisi bisnis lokal perlu menjadi landasan kuat bagi tiap founder. Dari analisis East Ventures, ada tiga tantangan yang harus diperhatikan, yakni terkait terbatasnya telenta di level mid-management ke atas, peraturan yang masih berubah-ubah, dan praktik bisnis berdasarkan relasi. Ketiganya membutuhkan eksekutor bisnis yang sangat menguasai dinamika lokal.
Jika melihat langkah startup Indonesia yang sudah hadir di Vietnam, sepertinya hal tersebut sudah sesuai. Misalnya yang dilakukan Gojek dengan menunjuk orang lokal Phung Tuan Duc sebagai CEO untuk melokalisasi strategi bisnis perusahaan di sana. Hal serupa dilakukan Ruangguru dengan mengembangkan brand dan platform khusus yang khas dengan unsur lokal, Kien Guru.
Radit menambahkan, gaya manajerial memang harus disesuaikan untuk startup Indonesia yang ingin ekspansi ke sana. Ia melihat, strategi community-driven bisa saja relevan, melihat dari tren digital yang ada. Seperti bertumbuhnya model bisnis social commerce, popularitas Facebook, dan lain-lain. “Yang jelas, playbook Indonesia tidak bisa direplikasi sepenuhnya di sana. Customer behaviornya beda dengan Indonesia, harus punya strong leader di sana.”
Menurut Dondi, atas dasar beberapa kemiripan tadi, founder juga perlu benar-benar memahami persamaan pangsa pasar antarnegara tersebut, mencari tahu perbedaan apa yang perlu penyesuaian. “Menurut saya, ekspansi dari Jawa ke pulau lain di Indonesia saja sudah sangat rumit karena perbedaan kepadatan penduduk, infrastruktur, perilaku, rekrutmen, dan lain-lain. Memperluas ke negara lain 100 kali lebih rumit karena Anda harus berpikir keras tentang hukum dan hambatan operasional, termasuk bahasa.”
Dan hal yang juga ditekankan adalah terkait pemilihan tim dan mitra lokal yang tepat. Realisasinya bermacam-macam, misalnya melalui acquisition atau acquihire seperti yang dilakukan Traveloka atau Gojek, tapi memang membutuhkan biaya yang mahal.
Dorongan untuk ekspansi ke Vietnam
Di portofolio Venturra, satu startup sudah hadir ke Vietnam, yakni Ruangguru. Namun Raditya tidak terlalu mendorong startupnya untuk cepat-cepat ekspansi ke luar. Ia akan merekomendasikan Vietnam sebagai tujuan, dengan catatan startup tersebut benar-benar siap dan dirasa sudah sampai titik terbaik dalam menjalankan bisnisnya di skala nasional.
Sementara menurut Dondi, wajar jika perusahaan Indonesia harus punya kemauan melakukan ekspansi regional. Bisnis harus siap menghadapi konsekuensi tersebut, jika tidak maka akan membuang-buang sumber daya dan waktu berharga. Untuk beberapa bisnis, pasar domestik Indonesia sudah cukup besar, sehingga mereka dapat meningkatkan skala maksimal tanpa ekspansi ke negara lain.
“Kami memang punya beberapa portofolio bisnis yang telah berkembang dan berencana untuk melakukan perluasan ke Vietnam, tapi kami ingin memastikan bahwa itu dilakukan dengan hati-hati,” terang Dondi.
–
Gambar Header: Depositphotos