Sebagai industri baru yang sedang lincah-lincahnya bergeliat, tak heran jika esports jadi semakin dilirik. Banyak brand berbondong-bondong ingin menggunakan esports sebagai salah satu marketing channel. Kendati potensinya yang besar, teknik pemasaran dengan esports tak bisa dibilang mudah, mengingat audience-nya yang unik.
Pada kesempatan #SelasaStartup kali ini, Reza Ramadhan, selaku Head of Marketing dari MET Indonesia berbagi strategi dalam membuat strategi pemasaran esports, baik untuk sponsor ataupun para fans. Sesi kali ini punya beberapa topik yang menjadi pembahasan.
Ruang Digital dan Peran Komunitas Dalam Strategi Pemasaran Esports
Market esports yang terbilang cukup unik, salah satunya adalah karena hampir kebanyakan penonton esports adalah pemain dari game yang dipertandingkan. Namun ini jadi satu keuntungan bagi esports, terutama saat bicara in-game banner sebagai salah satu marketing channel suatu event esports.
“Jadi begini, pemain Mobile Legends mencapai angka puluhan juta setiap bulannya. Dengan in-game banner sudah dapat dipastikan ada puluhan juta pemain yang merupakan penonton esports game tersebut melihatnya. Dengan itu, maka pemasarannya jadi sangat tepat sasaran. Efektivitasnya tentu jadi tidak sebanding misallnya, dengan meletakkan banner besar di Semanggi, karena tidak semua orang yang lewat Semanggi paham soal Mobile Legends.” Reza menceritakan.
Tetapi, walau sangat efektif, tidak semua orang punya akses terhadap iklan in-game tersebut. Lalu, bagaimana cara melakukan pemasaran esports yang efektif, agar dapat menyentuh target yang tepat. Menurut Reza, Media sosial masih jadi platform terbaik untuk melakukan hal tersebut, namun caranya tidak sembarangan.
Reza merasa bahwa kanal media sosial milik komunitas dan sang pemain atau timnya itu sendiri menjadi dua sosok yang dengan konversi terbaik. “Memang paling masuk akal sejauh ini adalah dengan melibatkan komunitas. Kita cari komunitas (misalnya Mobile Legends) yang paling besar, terus kalau mau spending di situ nggak apa apa deh. Karena kalau spending besar untuk pemasaran, misalnya suatu event esports, tanpa target jelas yang jelas juga nggak baik.” Reza menjelaskan.
Dalam hal melibatkan seorang influencer, Reza juga tetap bertahan bahwa pemain tetap punya pengaruh lebih besar dalam menyebarkan awarness suatu event. “Karena kebanyakan influencer sudah jarang yang fokus. Juga, menurut saya para penonton sebenarnya lebih tertarik melihat pemain yang lebih jago. Balik lagi, influencer atau KOL itu bisa efektif atau nggak. Karena bisa saja bayar mahal, tapi kalau nggak market fit, jadi nggak efektif. Kami juga pernah coba undang banyak KOL untuk suatu event esports, tapi ternyata tidak segitu efektif.”
Dilema Besar Soal Tiket Berbayar di Sebuah Event Esports
Topik yang satu ini jadi menarik untuk dibahas. Selama ini, esports memang punya event megah dengan jumlah penonton yang mengagumkan (baik online ataupun offline). Kendati demikian, kebanyakan event esports di Indonesia tidak dikenai biaya.
Dengan biaya investasi event yang cukup besar, timbal balik yang didapatkan terbilang cukup minim; hanya exposure brand terhadap penonton esports saja. Jika hal ini terus berlanjut, bukankah ini akan jadi tidak sehat bagi ekosistem?
Reza menjawab, memang untuk saat ini pasar esports Indonesia belum cukup dewasa untuk menerima hal ini. “Padahal, kalau melihat di Malaysia atau Thailand, para penonton di sana sudah rela spending untuk beli tiket.” ujar Reza menceritakan pengalamannya.
Jawaban Reza di sini bukan cuma asumsi buta, karena MET Indonesia sempat mencoba hal ini saat menggelar MPL Indonesia Season 3. Tiket senilai sekitar Rp20 sampai Rp35 ribu saja, ternyata sudah cukup membuat antusiasime penonton dalam menyaksikan event esports skala nasional berkurang.
Memang dahulu sempat ada GESC: Indonesia Dota 2 Minor, yang punya harga tiket jutaan, namun tetap berhasil membuat Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD, penuh oleh penggemar Dota 2. Tapi memang, event tersebut punya skala internasional, dengan gengsi yang cukup tinggi karena menjadi bagian dari kompetisi Minor di rentetan Dota Pro Circuit musim 2017-2018.
“Kita mencoba hal ini (menarik biaya tiket) pada MPL ID Season 3 dan kita juga melihat bagaimana itu dicoba di Piala Presiden Esports 2019. Semua percobaan tersebut bisa dibilang a bit messed up. Ada tiket, antusiasme penonton langsung menurun drastis. Padahal ketika beli tiket, penonton juga akan mendapat value in-game yang setara, tapi tetap saja penonton jadi urung untuk datang.” Lanjut Reza.
Meski begitu, walau tanpa kehadiran tiket, kehadiran booth sejauh ini menjadi kompensasi terbaik menurut Reza. “Karena kalau event tersebut ramai pengunjung, booth menjadi kesempatan besar bagi sponsor untuk menjual produknya. Jadi kalau banyak yang datang, harapannya jadi banyak orang yang coba atau beli produknya, sehingga sponsor pun jadi puas.” Reza bercerita pengalamannya.
Walau esports sudah cukup besar, namun pasarnya yang unik memang membuat strategi pemasaran di esports jadi susah-susah-gampang. Belum lagi budaya serba gratisan yang seakan mengakar di kultur gaming Indonesia, mungkin akan jadi masalah bagi ekosistem ini di masa depan. Maka dari itu inovasi harus terus dicari dan diperbincangkan, termasuk dari sisi strategi pemasaran, agar ekosistem esports di Indonesia dapat bertahan lama.