“Mobile Apps Bubble Economy”

Empat poin yang harus diperhatikan / Shutterstock
Seiring dengan kesuksesan penetrasi Android dan smartphone lainnya yang masuk ke Indonesia, hal tersebut menjadi salah satu pemicu banyak orang untuk berlomba-lomba membuat mobile apps. Atau setidaknya memindahkan platform konvensional menjadi mobile. Saya ingin sedikit flashback ke awal tahun 2000-an. Ketika awal-awal Internet masuk ke Indonesia dan bermunculan perusahaan dot com yang bergerak di bidang penyajian konten, sebut saja astaga.com, kopitime.com, dan kerajaan bisnis sekelas Lippo Group waktu itu membuat ekosistem Internet selengkap mungkin (Linknet, Lipposhop, Lippostar, dan lain-lain). Lalu apa yang terjadi? Satu persatu berguguran, satu persatu menghilang. Mengapa itu bisa terjadi?

Saya berpendapat bahwa saat itu masih terlalu awal bagi kita untuk disajikan konten-konten dot com apalagi belanja online. Akses internet masih terlalu mahal, perangkat untuk bisa terkoneksi ke internet pun masih terbatas. PC/laptop masih menjadi salah satu barang yang mewah saat itu. Akhirnya karena dot com tersebut tidak mendapatkan pengguna sesuai yang diharapkan, mereka pun gulung tikar.

Keresahan serupa kembali saya rasakan saat ini. Isu yang muncul hadir dari layanan aplikasi mobile di smartphone Anda. Dapat terlihat betapa banyaknya rekan-rekan kita yang tekun dan serius berkecimpung dalam bisnis mobile apps tercermin dari masifnya jumlah aplikasi lokal yang membanjiri apps marketplace (Google Play Store, Apps Store, MoboMarket, dan lain sebagainya).

Lantas aman bagi kita untuk menganggap hal tersebut sebagai bukti bahwa begitu besarnya minat para pemain ingin memberikan layanan ke konsumen (baca: ingin aplikasinya digunakan orang). Apakah itu salah? Tentu tidak, sah aja jika banyak pemain berkecimpung di lansekap digital dan mobile apps, beberapa pihak pun menanggapi dengan respon positif nan optimis.

Sayangnya antusiasme tersebut tidak dibarengi dengan persiapan yang lebih matang. Para pemain kerap dihantui oleh pertanyaan mengenai “berapa daily/weekly/monthly active users-nya?”, “berapa daily user acquisition-nya?”, atau “berapa acquisition cost per user-nya?”

Serangkaian pertanyaan yang pada akhirnya akan menyinggung permasalahan revenue. Jika memang angka-angka yang tampil dalam laporan tidaklah terlalu menggembirakan, terlebih setelah terus melakukan banyak perbaikan, maka pilihan yang tersisa ialah mengggulung tikar atau berpindah haluan (pivot).

Skema ini terjadi dan terus berulang. Mau sampai kapan? Lalu apa yang harus dilakukan agar mobile apps dapat terus bertahan di market?

Pertanyaan yang menurut saya telah banyak penulis dan para ahli jelaskan, bahkan mungkin telah diangkat menjadi buku. Namun pada kesempatan ini saya ingin mengajak Anda berpikir dengan lebih realistis dalam beberapa poin.

  1. Hindari platform yang sifatnya seperti “social media” ataupun mengusung konsep “user engagement. Karena platform seperti ini masih akan didominasi oleh pemain over the top (Facebook, Twitter, dan lain sebagainya).
  2. Berikan fokus pada layanan yang memang dibutuhkan oleh konsumen. Mungkin awalnya memang tidak banyak, namun konsistensi akan memberikan hasilnya. Tidak ada salahnya menyasar segmen korporasi ataupun komunitas.
  3. Hindari menciptakan market baru kalau memang sumber daya terbatas.
  4. Eksekusi ide bukan cuma menjual mimpi.

Saya akui ada kepuasan tersendiri ketika kita berhasil menciptakan sesuatu dan turut berkontribusi, terlepas dari fakta bahwa statistik kurang membanggakan. Tetapi hal tersebut belum cukup untuk mendefinisikan kesuksesan yang membutuhkan lebih banyak pembuktian melalui angka-angka.

Semoga mobile apps bubble economy hanyalah ketakutan penulis dan tidak akan pernah terjadi (setidaknya di negeri ini).


Tulisan ini dibuat oleh pengamat dan pengguna Internet Dolly Surya Wisaka. Dolly bisa dikontak di dolly@wisaka.or.id.

Leave a Reply

Your email address will not be published.