[Music Monday] Sebenarnya, Startup Musik Sudah Lama Ada di Indonesia (Part 2)

Minggu kemarin, saya menulis pengenalan dasar tentang startup tanpa tanda jasa, penyedia konten. Minggu ini saya akan menulis tentang bagaimana mereka muncul dan bagaimana mereka menghasilkan uang dari musik digital. Tentu saja, setiap industri yang menghasilkan banyak uang tidak terlepas dari kontroversi, jadi saya juga akan membahas hal tersebut. Tetapi secara keseluruhan, pasar nada dering di Indonesia sebenarnya hadir dari apa yang kini kita kenal dengan nama crowdsourcing – dulu cukup mudah untuk membuat nada dering monophonic, nada dering ini bisa dibuat menggunakan PC atau bahkan dengan ponsel Anda, orang dengan mudah membuat dan membagikan karya mereka melalui forum daring. Dan akhirnya seseorang memiliki ide untuk menjual nada dering tersebut pada orang lain. Akhirnya, mereka mulai merekrut pegawai untuk membuat berbagai nada dering tersebut.

Di awal tahun 2000-an, berbagai perusahaan yang ingin mengkapitalisasi bisnis nada dering harus menggunakan nomor premium 0809 lewat nomor telepon darat – nomor awal telepon yang sama yang digunakan untuk panggilan premium telepon sex – dengan proses ini pengguna yang ingin memilih nada dering harus melewati sistem Interactive Voice Response, nantinya nada dering akan dikirimkan secara langsung ke ponsel. Para pemain awal industri ini antara lain PT Katagiprima (kini bernama Iguana Technology), dan Klub Mobile. Klub Mobile perlu diberi catatan karena mereka akhirnya menutup layanannya setelah dituntut oleh penerbit lagu pada tahun 2003, tuntutan para penerbit lagu dikarenakan Klub Mobile menjual karya intelektual – lagu – tanpa izin dan tanpa royalti.

Pada saat yang sama, operator telekomunikasi mempelajari cara untuk menghantarkan nada dering secara langsung lewat jaringan mereka sendiri, dan membebankan biaya pada pengguna menggunakan SMS berbayar lewat nomor pendek khusus (disebut juga kode pendek telco). Hal ini kemudian menandakan era keemasan kedua untuk musik digital – berbagai perusahaan berlomba-lomba menemui operator telekomunikasi untuk mendaftarkan kode pendek mereka sendiri, mencoba untuk menjual wallpapers, screensavers dan nada dering.

Perusahaan seperti Jatis Mobile, Iguana Technology, Boleh.net, Triyakom, Plasma, dan mTouche adalah penyedia konten terbesar diantara ratusan perusahaan lain yang ada ketika industri sedang dalam masa puncaknya. Berbagai perusahan ini mengiklankan layanan unduh konten mereka lewat majalah, koran dan situs. Iklan-iklan ini secara literal berisi berbagai daftar dari konten dan kode unik untuk melakukan unduhan, biasanya proses unduhan dilakukan dengan mengirimkan kode unik tersebut ke kode pendek penyedia layanan konten.

Saat itu, perusahaan-perusahaan penyedia konten – sebagian besar dari mereka – telah ‘membersihkan’ proses kerjanya dengan membayar biaya lisensi untuk menggunakan lagu yang memiliki hak cipta yang digunakan sebagai nada dering pada penerbit, bahkan membayar royalti pertunjukkan publik ke KCI. Karena royalti ini dibayarkan untuk setiap nada dering, hal ini merepresentasikan penghasilan jutaan rupiah untuk penerbit lagu, KCI, dan para penulis lagu diwakilkan oleh penyedia konten.

Tetapi teknologi terus berkembang, metode produksi rumit yang dibutuhkan untuk membuat nada dering monophonic dan nada dering polyphonic semakin tidak dibutuhkan, karena banyak ponsel telah mendukung nada dering MP3. Jadi para penyedia konten pun menyesuaikan kondisi ini dengan menjual nada dering MP3 – beberapa secara langsung mengambil lagu dari file MP3 dan membuat cuplikan berdurasi 30 detik untuk dijual, dan beberapa lagi bekerja sama secara langsung dengan label musik untuk mendapatkan konten mereka. Namun pendapatan dari konten unduhan seperti ini lebih kecil jika dibandingkan dengan produk yang akan nantinya booming di dunia musik digital – ringbacktone. RBT atau ringbacktone patut mendapatkan artikel tersendiri, jadi stay tuned untuk bagian ke 3 seri artikel ini.

Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, ia kini bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published.