Industri digital saat ini tengah tumbuh dengan baik di Indonesia dengan e-commerce yang mencuat sebagai primadona dan memiliki perputaran uang paling besar dibanding yang lain. Hal tersebut memunculkan banyak inisiasi baru dari para pemangku kepentingan. Salah satu yang cukup ditunggu kehadirannya adalah National Payment Gateway (NPG). Meski sudah diangkat ke permukaan sejak beberapa tahun silam, hingga kini NPG masih belum kelihatan bentuknya.
“I heard a lot about it, I heard nothing about it,” ujar Direktur Veritrans Budi Gandasoebrata dalam workshop Harbolnas hari kedua beberapa waktu silam. Kalimat tersebut diucapkannya ketika disinggung mengenai NPG. Harus diakui, apa yang diucapkan oleh Budi, secara gamblang telah menggambarkan kondisi perkembangan dari realisasi NPG di tanah air.
Wacana yang masih mencari “bentuk”
Sebenarnya, inisiasi NPG sendiri telah diangkat kepermukaan sejak empat tahun silam dan direncanakan untuk dapat direalisasikan pada tahun 2013. Namun, itu semua kini hanya menjadi wacana karena hingga menjelang akhir tahun 2015 NPG masih belum kelihatan bentuk batang hidungnya meski sudah jauh lebih banyak dibicarakan. Entah apa yang menjadi alasan di belakang sana, karena secara infrastruktur teknologi Indonesia harusnya sudah jauh lebih siap sekarang.
Budi mengatakan “Banyak yang bicara NPG, tapi arti dari NPG itu kami sendiri belum tahu. […] Intention-nya itu apa? Apakah domestic switch […] seperti NETS di Singapura, National Card Principle seperti di China, atau lainnya? […]. Kalau yang saya tangkap dari banyak diskusi adalah bagimana caranya bisa merekam seluruh transaksi e-commerce sehingga semuanya tercatat dalam satu pool.”
Sementara itu VP Enterprise Product Doku Imam Akbar Hadikusumo mengatakan, “Yang pasti, kalau ada NPG, yang diharapkan pemerintah adalah bisa memonitor dan melihat transaksinya [e-commerce]. Jadi, objective-nya mereka adalah bagaimana caranya transaksi e-commerce ini ada datanya.”
Bila NPG berhasil direalisasikan, industri digital yang akan merasakan dampaknya memang e-commerce. Menkominfo Rudiantara juga sempat menyebutkan bahwa NPG ini dapat bantu menyehatkan industri e-commerce itu sendiri.
Titik terang dari sebuah rumor
Bila harus melongok sejenak ke seberang, Indonesia memang masih tertinggal. Paling dekat, bisa dilihat Singapura dengan NETS [eNETS] dan di Belanda ada iDEAL. Ironis rasanya, apalagi bila mengingat pertumbuhan e-commerce Indonesia yang selalu diprediksi akan menjadi sebesar Tiongkok dalam beberapa tahun mendatang.
Pun begitu, ada secercah harapan yang terlihat. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Ronald Waas dalam pemberitaan Indotelko mengabarkan bahwa BI saat ini tengah menyiapkan blue print untuk merealisasikan NPG untuk tahun depan. Itu semua guna mengantisipasi naiknya transaksi non tunai yang akan meningkat beriringan dengan pertumbuhan e-commerce di Indonesia.
“Kami mengharapkan dengan adanya NPG ini, istilahnya, bisa mengadopsi kultur yang ada sekarang [di Indonesia] dan [transaksi e-commerce] termonitor dalam satu payment gateway yang otomatis terhubung dengan payment gateway yang sudah ada sekarang,” ujar Akbar.
Hingga saat ini terdapat 3 operator pembayaran yang dikenal luas, yaitu Artajasa yang mengelola ATM Bersama, Rintis Sejahtera yang mengelola Prima, dan Daya Network Lestari yang mengelola ALTO. Tapi, sayangnya hingga kini BI belum menunjuk operator mana yang akan bertindak sebagai pengelola tunggal NPG ini.
Merealisasikan NPG memang bukan hal yang mudah meski infrastruktur teknologi Indonesia saat ini pasti sudah mendukung. Ada banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan, mulai dari kultur Indonesia hingga regulasi di ranah keuangan yang sudah sangat mapan dan sulit untuk digoyang.
Saat ini harusnya sudah menjadi titik bagi para pemangku kepentingan untuk mulai duduk dan berdiskusi bersama untuk membentuk NPG dengan bentuk dan tujuan yang lebih jelas.