Masih ingat perseteruan antara bos News Corp. dengan Google? Entah apakah ini buntut dari perseteruan itu atau bukan, tapi tanggal 8 kemarin sebuah headline berita yang cukup mengejutkan diberitakan oleh Guardian. Salah satu situs aggregator berita NewsNow.co.uk ‘dipaksa’ berhenti memuat link berita ke Times Online oleh News International.
Pertarungan seru, dulu terjadi antara para giant media yang merasa kecurian dengan search engine dan kini perseteruan dengan news aggragator semakin runcing. Terutama di US, yang industri media masih terpuruk, sedangkan konten online semakin berkembang. Seperti yang di tulis Guardian, News International menegaskan bahwa aggregator sudah tidak diperpolehkan lagi untuk mengambil link dari konten manapun di Times Online. Masih menurut Guardian, hal ini mungkin terjadi sebagai persiapan peluncuran Times Online yang akan mengubah konten mereka menjadi berada dibalik sistem paywall.
Pertarungan seru ini mungkin tidak akan terlalu berpengaruh bagi industri media online di sini, tapi bagaimana pun, internet tanah air, masih selalu berkiblat ke negara maju, termasuk juga industri media mereka. Saya jadi teringat tentang salah satu situs aggregator berita yang baru meluncur dalam format beta ke dunia internet beberapa hari yang lalu, BubuNews, yang merupakan aggregator berita yang menampung headline dan penjelasan singkat tentang berita yang bersangkutan dari berbagai media nasional maupun internasional.
Hampir semua konten berita online di tanah air bisa didapatkan secara gratis, sistem free ini justru malah menjadi salah satu keunggulan konten berita online, dan sampai sekarang ketakutan bahwa media cetak akan mati, hampir tidak terbukti di tanah air. Konsep media cetak yang konvensional memang belum tergantikan (atau tidak akan) dengan media online, dan situs maupun blog online terus bermunculan, malah ada yang bersinergi dengan versi cetak mereka.
Situs Aggregator sebenarnya cukup membantu, terutama dengan perkembangan konten internet yang begitu cepat, sedangkan untuk pasar lokal situs aggregator bisa menjadi salah satu pilihan, bagi mereka user internet yang masih belum mahir melakukan searching berita serta merupakan alat bantu user internet lokal yang malas searching.
Mengingat user internet lokal masih dalam taraf mengenal dunia baru ini, terutama di non kota besar, situs aggregator sepertinya bisa menjadi pilihan bagi startup lokal untuk mulai mengenalkan aplikasi mereka, selama (semoga saja selamanya) link itu tidak di stop dan konten berita belum termasuk dalam sistem berbayar.
Saya sendiri masih sangat nyaman menikmati konten berita secara gratis, tentu saya berharap konten berita di tanah air akan selalu gratis, monetize situs bisa lewat iklan atau fungsi lain.
Itu pendapat saya, bagaimana dengan anda? Jangan lupa untuk share pendapat anda pada kolom komentar.
sumber: Guardian
harusnya nggak perlu di-blok, kan bisa di-duitin 😀
Modelnya WSJ juga oke, ada konten gratis ada konten langganan berbayar.
Ah, menarik… Kalau membaca presentasi tentang web 3.0 yang mengarah pada optimalisasi agregasi berita/konten sebagai platform dalam sebuah web, blocking macam begini rasanya aneh juga… 😀
Tentang web 3.0: http://www.slideshare.net/arts118/web3-a-simple…
Kalau motivasinya memang karena duit, ini langkah yang akan backfire menurut saya. Model bisnis di internet ke depannya akan mengarah ke freemium (Chris Anderson, Free) dimana basic service / product tidak akan memungut biaya. Bagaimana yang berbayar bisa bersaing secara kompetitif kalau yang gratisan dan tidak kalah bagus ada di mana-mana. Saya yakin alternatif lain dari yang sudah diblock akan muncul dan mengalahkan yang mengeksklusifkan dirinya tersebut.
Saya setuju dengan mas Wiku, langkah yang seharusnya diambil adalah mencari model bisnis yang tepat agar monetization tetap bisa berjalan lancar. IMHO, blocking hanya menunjukkan kurangnya kreativitas mereka dalam menerapkan model bisnis
Kalo ga mau infonya di ambil aggregator, kok feed nya hidup yach.. saya yg ga tau atw mereka yang ribet..?
Mau jg nh bikin blog aggregator..