OJK dan AFPI segera memiliki pusat data fintech lending (pusdafil) untuk mengurangi potensi fraud dan gagal bayar

OJK dan AFPI Segera Miliki “Pusat Data Fintech Lending”

OJK dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) berkolaborasi untuk merilis pusat data fintech lending (Pusdafil) sebagai upaya mengurangi tingkat penipuan. Pusdafil ini bekerja seperti layaknya SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan)–dulunya bernama BI Checking.

Wakil Ketua AFPI Sunu Widyatmoko menjelaskan Pusdafil masih dalam proses pengembangan. Diprediksi prototipenya bisa segera dirilis pada tahun ini. Pada saat yang bersamaan, diharapkan seluruh perusahaan p2p lending yang sudah terdaftar di OJK dapat berpartisipasi dan memanfaatkan layanan tersebut.

“Secara konsep mirip SLIK tapi ini khusus fintech lending. Prototipe sederhana [Pusdafil] mestinya akan bisa [dirilis tahun ini]. Nanti kontrolnya ada di AFPI dan OJK,” terang Sunu kepada DailySocial.

Secara terpisah, dikutip dari Kontan, sistem kerja dari Pusdafil ini OJK akan menarik seluruh data terkait dengan transaksi dari semua penyelenggara fintech terdaftar. Kemudian, OJK akan mengolah data tersebut dan menginformasikan ke AFPI melalui sebuah wadah sistem informasi.

Lalu, anggota AFPI dapat mengakses pusat data tersebut untuk mengecek apakah calon peminjam bersangkutan terindikasi fraud, gagal bayar, atau sedang meminjam di lebih dari satu perusahaan.

Dukungan Pusdafil untuk perusahaan lending

Sunu melanjutkan, ada tiga hal utama dalam manajemen risiko penyaluran pinjaman yang bisa didukung oleh Pusdafil. Pertama, indikasi penipuan (fraud). Fraud yang dimaksud adalah transaksi pinjaman yang belum terjadi. Akan tetapi ada upaya pengajuan dengan menggunakan KTP yang terbukti tidak terdaftar di Ditjen Dukcapil.

Penyelenggara lending dapat mengecek lewat Pusdafil apakah calon peminjam tersebut pernah melakukan fraud atau tidak. Calon yang terindikasi fraud tidak akan diberi pinjaman.

“Bagaimana kita mengumpulkan informasi yang ada dari semua platform untuk menghindari adanya orang yang mencoba berhbohong dan upaya penipuan, sebab fraud menjadi masalah yang relatif tinggi,” sebut Sunu.

Kedua, daftar hitam peminjam yang memuat orang-orang tidak membayar pinjamannya lebih dari 90 hari. Meskipun begitu, peminjam bisa keluar dari daftar tersebut apabila melunasi hutangnya.

Ketiga, memeriksa peminjam yang meminjam di lebih dari satu perusahaan fintech lending. Data tersebut bakal menjadi pertimbangan bagi suatu perusahaan untuk meloloskan pengajuan pinjaman orang tersebut. Peminjam yang meminjam di lebih dari satu perusahaan dapat meningkatkan risiko penyaluran pinjaman.