OJK Terbitkan Aturan Bursa Karbon

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menerbitkan peraturan mengenai Bursa Karbon menyusul instruksi pemerintah dalam mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), dan sejalan dengan Perjanjian Paris terkait perubahan iklim.

Disampaikan dalam keterangan resminya, Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 memuat Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon yang akan menjadi pedoman dan acuan Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon yang dilaksanakan oleh penyelenggara pasar.

POJK Bursa Karbon diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) untuk mengatur perdagangan karbon melalui bursa karbon. Penyusunan POJK Bursa Karbon telah melalui proses konsultasi dengan Komisi XI DPR.

Berikut sejumlah substansi yang dimuat dalam POJK Bursa Karbon:

  1. Penyelenggara Bursa Karbon wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp100 miliar. Modal ini dilarang berasal dari pinjaman.
  2. Penyelenggara Bursa Karbon wajib memiliki izin usaha dari OJK.
  3. Penyelenggara Bursa Karbon wajib memiliki persetujuan dari OJK untuk melakukan kegiatan lain dan mengembangkan produk Unit Karbon.
  4. Unit karbon yang dapat diperdagangkan di Bursa Karbon adalah Efek dan wajib terdaftar di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) dan Penyelenggara Bursa Karbon.
  5. OJK akan melakukan pengawasan di Bursa Karbon, seperti pengawasan (1) Penyelenggara Bursa Karbon
, (2) Infrastruktur pasar pendukung Perdagangan Karbon
, (3) Pengguna Jasa Bursa Karbon
, (4) Transaksi dan penyelesaian transaksi Unit Karbon
, hingga (5) Pihak, produk, dan/atau kegiatan yang berkaitan dengan Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.

Bursa Karbon

Bursa Karbon adalah mekanisme pasar yang mengatur perdagangan dengan mempertemukan penjual jasa penyerapan emisi dan pembeli yang memproduksi gas rumah kaca. Bursa Karbon dibentuk untuk mencapai target pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi GRK dengan ketetapan nasional (NDC) sebesar 29% dengan usaha sendiri atau hingga 41% dengan dukungan internasional pada 2030.

Mengutip informasi ICDX yang diwartakan Koran Tempo, perdagangan karbon terdiri dari dua model, yakni perdagangan karbon secara sukarela dan wajib. Model pertama mencakup penerbitan, pembelian, dan penjualan kredit karbon secara sukarela.

Sementara, model perdagangan wajib akan dilaksanakan sesuai mekanisme cap and trade yang ditetapkan suatu negara, yaitu menentukan kuota emisi karbon perusahaan suatu perusahaan berdasarkan kriteria yang ada dan dalam periode tertentu. Per Februari 2023, terdapat 42 perusahaan yang boleh melakukan perdagangan emisi karbon.

Inovasi di bidang karbon

Kebutuhan terhadap solusi di bidang teknologi hijau (cleantech), khususnya dekarbonisasi, mulai berkembang di Indonesia. Kemunculan pengembang inovasi di bidang karbon, diharapkan dapat membantu perusahaan/industri yang selama ini memproduksi emisi gas rumah kaca terbesar.

Berdasarkan data yang dihimpun DailySocial.id, ada berbagai macam model bisnis yang ditawarkan oleh pengembang inovasi karbon di Indonesia, misalnya perhitungan karbon, penyerapan karbon, atau pengumpulan data jejak karbon.

Sektor berdampak, terutama di sektor lingkungan, umumnya sulit beroperasi karena terkendala modal. Namun, sejumlah startup hijau di Indonesia berhasil memperoleh pendanaan, baik lewat pemodal ventura maupun lewat program akselerator.

Beberapa di antaranya adalah Fairatmos yang mendapat pendanaan awal Rp69 miliar dipimpin Go-Ventures (sekarang bernama Argor Capital) dan Kreasi Terbarukan TBS, serta Gree Energy yang mengantongi pendanaan pra-seri A Rp49,9 miliar dipimpin Earthcare Group.

Selain itu, upaya mencapai target pengurangan emisi karbon juga mendorong minat sejumlah firma investasi, organisasi nirlaba, dan venture builder untuk memberikan akses permodalan yang fokus terhadap solusi berdampak. Beberapa di antaranya adalah East Ventures, AC Ventures, New Energy Nexus Indonesia, dan Ecoxyztem.