Startup brand aggregator Open Labs didirikan oleh Jeffrey Yuwono yang sebelumnya adalah Co-founder dan CEO Sorabel

Open Labs Bantu UMKM Tingkatkan Bisnis dengan Pendekatan “Brand Aggregator”

Bisnis UMKM seringkali terhalang modal saat ingin mengembangkan bisnisnya lebih jauh, apalagi saat terjun ke ranah online yang sarat dengan inovasi. Di Indonesia, menurut Kementerian Perdagangan, ada lebih dari 64 juta UMKM yang secara kolektif menyumbang sekitar 61% PDB Indonesia.

Dari jumlah UMKM tersebut, 14 juta telah bermigrasi ke platform e-commerce, dan sebanyak 330 juta UMKM diharapkan dapat melakukan transformasi digital di masa depan. Kesempatan yang menarik ini membuat Jeffrey Yuwono yang sebelumnya adalah Co-founder & CEO Sorabel, memutuskan untuk merintis startup brand aggregator Open Labs.

Berbeda dengan brand aggregator lainnya, Open Labs menyiapkan program ketersediaan dana sebesar Rp1,4 triliun ($100 juta) untuk diinvestasikan ke bidang usaha yang berpotensi besar menjadi merek konsumen terkemuka. Diklaim nominal ini terbesar di antara brand aggregator lainnya di Asia Tenggara.

Jeffrey enggan membeberkan lebih detail sumber dana tersebut, hanya mengatakan berasal dari salah satu perusahaan e-commerce unicorn. Tidak disebutkan juga ticket size investasi yang diberikan Open Labs per mitranya. “Kita terima banyak interest dari para investor dan kami sangat berterima kasih atas kepercayaan tersebut,” terangnya dalam konferensi pers virtual, Kamis (28/10).

Di balik kesempatan yang besar ini, sambung Jeffrey, ketika bisnis online dimulai, biasanya pengelolaan operasionalnya cukup sederhana. Namun, seiring dengan pertumbuhan mereka yang semakin besar dalam hal volume dan ruang lingkup, kompleksitas operasional bisnis pun semakin besar.

Selain kebutuhan terhadap modal kerja yang lebih tinggi, para pebisnis online juga menghadapi berbagai tantangan lainnya, seperti bagaimana mendapatkan sumber pasokan produk yang terukur, rentang produk yang tepat, rentang harga yang tepat, strategi merek, bagaimana melakukan pemasaran yang baik secara terprogram, bagaimana melakukan layanan pelanggan secara efisien, serta bagaimana mengelola rantai pasokan yang rumit dengan persyaratan pergudangan, logistik, dan distribusi yang sangat spesifik.

“Banyak pebisnis online –terutama yang merupakan pendiri tunggal– tidak memiliki sumber daya yang cukup dan kewalahan mengatasi tantangan ini.”

Di sini, Jeffrey melihat Open Labs dapat memainkan peran ganda sebagai brand aggregator. Pertama, dengan ketersediaan dana investasi, dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan. Kedua, memiliki keahlian yang tepat untuk mengisi kesenjangan atau masalah-masalah operasional, sekaligus melengkapi keahlian yang dibutuhkan oleh portofolio mitra.

Biasanya pebisnis online yang membutuhkan dana memiliki beberapa pilihan, termasuk meminjam dari bank. Ada kalanya, model bisnis mereka tidak sesuai dengan kriteria yang dicari VC atau PC karena biasanya VC mencari perusahaan startup teknologi dengan model disrupsi untuk mengejar pertumbuhan eksponensial. Sedangkan PE menargetkan perusahaan yang sudah mapan dan matang. Modal pendanaan Open Labs mengatasi batasan-batasan tersebut untuk permodalan dengan menyasar bisnis online.

Kriteria UMKM yang ditetapkan

Open Labs menetapkan sejumlah persyaratan bagi perusahaan yang akan mendapatkan dana, di antaranya: omzet per tahun di atas Rp3 miliar, kinerja bisnis yang terus tumbuh, profit positif, dan menguasai pasar yang digeluti. Adapun model bisnisnya adalah bermitra untuk akuisisi 51%, yang mana Open Labs dan founder menjadi partner; atau mengakuisisi 100%, yang mana founder menjual usahanya untuk dapat fokus pada hal lain.

Sebagai gambaran untuk opsi 51%, untuk posisi dewan komisaris akan diisi oleh founder dan Open Labs, dewan direksi hanya diisi founder, dan tim operasional diisi oleh founder dan Open Labs (jika founder setuju).

“Investasinya bisa berupa primary, secondary atau keduanya. Kalau investasi primary, perusahaan akan menerima uang dan menerbitkan saham baru, sementara kalau secondary, founder akan menerima uang atas saham yang dijual.”

Adapun untuk tahapan proses menjadi mitra, diklaim lebih cepat. Dalam kurun waktu satu minggu, mitra akan mendapat jawaban ya atau tidak dari Open Labs. Sebelumnya, mitra harus menyerahkan data finansial, lalu tim Open Labs akan menghitung valuasi yang membutuhkan waktu satu minggu untuk menjawab ya atau tidak. Berikutnya, proses audit yang memakan waktu selama enam minggu, dan terakhir pada dua minggu kemudian tanda tangan perjanjian dan transfer pembayaran.

Tim operasional Open Labs diisi oleh 60 orang ahli di berbagai aspek operasional dan regulasi bisnis penjualan online, seperti branding dan pemasaran, layanan pelanggan, rantai pasokan, logistik, pengelolaan keuangan hingga kepatuhan terhadap peraturan di bidang pajak dan hukum. Tim ini akan bertambah hingga 150 orang ke depannya.

Rencana berikutnya

Jeffrey menuturkan, dengan ketersediaan dana sebesar $100 juta ini, bukan berarti perusahaan mengejar secara kuantitas untuk jumlah mitra yang ingin digaet. Perusahaan tetap mengutamakan kualitas terhadap dukungan yang diberikan, mengingat tiap usaha memiliki masalah krusial yang perlu dicarikan solusinya. “Kualitas lebih penting karena kami tak hanya fokus ke investasi, tapi juga menumbuhkan bisnis tersebut agar lebih besar.”

Tidak disebutkan ada berapa mitra yang sudah bergabung di Open Labs. Satu di antaranya adalah Emaku, usaha bumbu dapur lokal. Jeffrey mengaku pihaknya lebih ingin mendiversifikasi mitra, ketimbang fokus di satu vertikal saja. Sebab melihat dari sisi yang lebih luas, ia ingin ada value yang bisa diberikan perusahaan. “Kami juga incar usaha yang bergerak di produk kesehatan, home appliance, fesyen, F&B, hingga men skincare,” tutup dia.

Dalam kancah regional, model bisnis seperti Open Labs sudah ada beberapa. Beberapa di antaranya ada Hypefast dan Una Brands. Namun, keduanya mengadopsi model rollup, seperti yang dilakukan oleh Thrasio yang berbasis di Amerika Serikat.

Strategi rollup adalah pendekatan di mana beberapa bisnis di sektor yang sama diakuisisi dan digabungkan menjadi satu entitas. Ada beberapa variasi dalam model ini, misalnya beberapa pengakuisisi mengoperasikan perusahaan target secara relatif terpisah dan yang lain menggabungkan perusahaan yang diakuisisi untuk lebih mewujudkan sinergi biaya dan skala ekonomi.