Pertanyaan tentang keunikan pasar esports Indonesia sebenarnya sering saya tanyakan ke banyak pelaku bisnis esports di Indonesia, namun sayangnya saya tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan dan definitif.
Jujur saja, saya juga belum punya jawaban definitifnya juga. Tulisan ini juga akhirnya nanti akan berakhir dengan pertanyaan yang sama. Tujuan saya menuliskan artikel ini memang hanya sekadar membawanya ke tingkat kesadaran atau malah memancing diskusi buat para pelaku industri yang ingin terjun ataupun bertahan di ekosistem esports Indonesia.
Kenapa penting merumuskan keunikan pasar esports Indonesia? Buat yang sudah malang melintang di sebuah industri, tentunya Anda tahu bahwa pemetaan pasar itu memang pengetahuan dasar yang wajib dipahami.
Buat yang belum tahu, pemetaan pasar berguna untuk merumuskan strategi, perencanaan, dan bentuk implementasi bisnis. Contoh sederhananya, tak hanya di Indonesia saja sebenarnya, industri esports menerima banyak pendapatan dari sponsor atau brand yang beriklan ke pasar esports. Tujuan beriklan tadi tentu ada beberapa jenis, seperti brand awareness ataupun user acquisition. Lalu bagaimana caranya beriklan yang efektif jika kita tidak memahami betul pasar yang ingin kita tuju?
Itu tadi hanya satu contoh saja. Ada terlalu banyak fungsi dari pemetaan pasar yang akan berguna buat para pelaku industri terkait jika dijabarkan semuanya di sini.
Seperti yang tadi saya tuliskan di awal, saya sering menanyakan tentang keunikan pasar esports Indonesia kepada kawan-kawan saya para pelaku di industri esports, termasuk para petinggi di perusahaannya masing-masing. Berikut ini adalah beberapa jawaban dari mereka yang menurut saya belum terlihat secara gamblang atau bahkan bisa saya sanggah mentah-mentah.
Pasar esports Indonesia jumlahnya besar?
Mungkin inilah jawaban yang paling sering dilontarkan oleh orang-orang dari pertanyaan tadi. Menurut saya, berhubung kebetulan saya sudah di industri terkait sejak 2008, yang jumlahnya sangat besar adalah pasar industri game.
Satu hal mendasar yang penting untuk dipahami adalah ada perbedaan antara pasar esports dan pasar industri game. Salah satu tokoh politik bahkan menyebutkan angka pasar gaming saat ditanya jumlah pemain esports ketika diwawancarai salah satu televisi swasta.
Pasar esports itu jauh lebih kecil ketimbang pasar gaming. Jika tidak percaya, mari kita hitung-hitungan produknya. Jumlah game di Google Play itu ada 349 juta — menurut Statista. Sedangkan game yang ada ekosistem esports-nya di Indonesia hanya segelintir, seperti PUBG Mobile, Mobile Legends, Free Fire ataupun yang lain yang jumlahnya bahkan tidak sampai 10 — sepengetahuan saya.
Di pasar global dan platform gaming lainnya sebenarnya juga berlaku hal yang sama. Di Steam, misalnya, ada 30 ribu game. Berapa banyak game di sana yang ada esports-nya? Dota 2, CS:GO, R6:S, rFactor 2, dan game-game lainnya yang punya ekosistem esports bahkan tidak mencapai 20 judul.
Itu tadi jika kita membedakannya antara game esports dan non-esports. Untuk setiap game esports sendiri juga harus dipahami bahwa pasar gamer dan fans esports-nya tidak harus sama, meski bisa beririsan.
Misalnya, ada gamer aktif League of Legends yang juga menonton setiap pertandingan liganya (bisa jadi LCK, LPL, LCS, dkk.). Namun ada juga “mantan” pemain (yang pernah tapi sudah tidak bermain lagi) game-nya yang masih menonton pertandingan esport-nya. Sebaliknya, ada juga yang pemain aktif tapi tidak suka menonton pertandingannya.
Hal ini juga terbukti dari statistik yang berbeda antara angka active users dan viewer pertandingan esports-nya. Misalnya, MAU (Monthly Active Users) Mobile Legends di Indonesia saja mencapai 31 juta orang di Oktober 2019. Namun demikian, concurrent viewers untuk kejuaraan dunia MLBB (M1 World Championship) di November 2019 hanya mencapai angka 600ribu orang — menurut Esports Charts.
Hal yang sama juga terlihat dari statistik League of Legends (LoL). Laporan terakhir di bulan September 2019, LoL punya 8 juta concurrent players. Sedangkan penonton World Championship 2019 (bulan November 2019) mencapai angka 44 juta concurrent viewers. Meski angkanya terbalik jika dibanding dengan MLBB dan menunjukkan pasar esports LoL itu lebih besar ketimbang gamer-nya, hal ini tetap membuktikan bahwa ada perbedaan besar antara pasar gamer dan pasar esports.
Plus, data ini juga tak bisa digunakan untuk jadi justifikasi pasar esports di Indonesia yang besar — karena ekosistem LoL di Indonesia mungkin sudah bisa dibilang mati suri (atau malah mati beneran… wkakwakawk). Pasar esports di Indonesia sendiri juga berbeda dengan tren yang terjadi di pasar internasional, yang akan saya bahas di bagian selanjutnya nanti.
Lucas Mao, Directors of Operations dari Moonton dan MPL Indonesia League Commissioner, juga sempat mengatakan bahwa pasar esports di Indonesia itu memang belum sebesar pasar gaming.
Jangan lupa, game-game casual itu juga tidak sedikit jumlahnya apalagi pemainnya. Istri dan anak saya juga bermain game casual setiap harinya, Candy Crush, Minecraft, dkk. dan masuk dalam kategori pasar gaming. Namun mereka tidak peduli dengan esports.
Menurut saya pribadi, pasar gamer itulah yang jumlahnya sangat besar — baik di dunia ataupun spesifik di Indonesia. Bahkan, kemungkinan besar setidaknya 20 tahun lagi, semua orang bisa masuk dalam kategori pasar gaming. Pasalnya, saat ini, sebagian besar orang yang lahir di 1980an ke atas sudah pernah bermain game — apapun platform-nya, PC, console, mobile, ataupun handheld. Hal ini sudah terjadi di industri musik dan film. Karena tidak mungkin rasanya ada orang yang masih hidup hari ini yang belum pernah menonton film ataupun mendengarkan musik sekalipun. Game akan jadi bentuk hiburan untuk semua orang dalam waktu dekat, sama seperti musik dan film tadi.
Apakah semua gamer tadi akan jadi fans esports di masa depan? Saya rasa tidak. Selain pasar game casual yang kecil persentasenya berpaling ke esports, pasar enthusiast gamer pun ada juga yang tidak suka menonton esports — seperti para pemain game-game singleplayer.
Jadi, kembali ke pertanyaan pertama, apakah jumlah pasar esports di Indonesia itu besar? Buat saya, pasar esports bahkan belum sebesar pasar gaming. Apalagi jika dibandingkan dengan industri hiburan yang lebih tua, seperti musik dan film, pasar esports masih jauh lebih kecil.
Pasar esports Indonesia adalah kalangan menengah ke atas?
Mungkin hal ini jadi argumen orang-orang yang cukup banyak membaca soal industri esports di pasar global. Jika kita berbicara soal pasar global, saya setuju dengan pernyataan tadi bahwa pasar esports adalah pasar kalangan menengah ke atas yang punya disposable income.
Kenapa? Karena di pasar global, platform esports yang dominan adalah PC, setelah itu console, baru mobile. Meski memang tidak semua gamer itu jadi fans esports, sebagian besar fans esports adalah pemain game tersebut. Pasalnya, kita mungkin tidak akan bisa memahami apalagi menikmati sebuah pertandingan esports jika kita tidak pernah sekalipun memainkan game-nya — terutama MOBA.
Karena itu, fans-fans esports di pasar global yang lebih condong ke PC dan console berarti pernah memainkan game-game tersebut atau bahkan punya mesin gaming-nya. Mesin gaming tadi, kemungkinan besar, tidak akan dimiliki oleh kalangan ekonomi bawah karena memang bukan kebutuhan primer. Nah, esports di platform PC dan console tadi bisa dikatakan sebagai minoritas di ekosistem esports Indonesia sekarang. Organisasi esports dari Indonesia yang masih fokus dengan game-game PC yang populer di skena internasional bahkan hanya satu, yaitu BOOM Esports.
Mobile esports lah yang saat ini populer di industri esports Indonesia, yang juga terbukti dari Market Research tentang esports yang dilakukan oleh DailySocial di tahun 2019. Kebalikan dari PC dan console, di zaman sekarang ini, ponsel pintar yang jadi platform mobile esports sudah bisa dibilang kebutuhan primer. Ditambah lagi, game esports yang laris di Indonesia tidak membutuhkan ponsel high-end.
Inilah yang perlu dipahami juga bahwa ada perbedaan besar antara pasar esports global dan Indonesia. Karena alasan itu tadi, saya tidak setuju bahwa pasar esport Indonesia (mayoritas) adalah kelas menengah atas.
Pasar esports adalah generasi muda yang melek teknologi?
Memang, faktanya, tidak semua pasar cocok dengan generasi muda yang melek teknologi (alias tech savvy), seperti pasar Harley Davidson di Amerika Serikat sana. Memang, nyatanya juga, fans esports mayoritas datang dari generasi milenial atau yang lebih muda.
Namun begitu, saya pribadi merasa jawaban ini tidak definitif ataupun unik hanya untuk pasar esports.
Pertama, pemahaman melek teknologi itu sangat subyektif — yang sangat bergantung pada pengetahuan masing-masing orang. Apakah orang yang bisa menginstal aplikasi dan game dari Google Play itu bisa disebut tech savvy? Buat kakek atau nenek kelahiran 1950an atau yang lebih tua, mungkin iya.
Buat saya pribadi, orang yang tech savy di ranah Android adalah mereka-mereka yang setidaknya tahu dan pernah flashing ROM. Sedangkan di ranah PC, menurut saya, orang-orang tech savy minimal tahu dan mampu soal overclocking ataupun membaca kode-kode sederhana seperti di HTML, XML, JSON, dkk. Buat yang pengetahuannya lebih dalam lagi, mungkin definisi saya tadi juga tidak berlaku karena mereka punya standar yang lebih tinggi lagi.
Pemahaman tentang kemampuan dan wawasan seseorang, menurut saya, tidak bisa dijadikan patokan dalam mendefinisikan pasar bisnis yang digunakan secara luas karena jadinya akan kabur (skewed). Tak hanya soal teknologi mobile ataupun PC saja sebenarnya yang mungkin memang ranah baru, di ranah bermusik yang instrumennya bahkan sudah ditemukan sejak 43000 tahun yang lalu saja juga masih sangat relatif. Apakah mereka yang tidak bisa membaca not balok dianggap bisa bermusik? Jawabannya akan sangat tergantung pada siapa Anda menanyakan pertanyaan tersebut.
Kedua, masih banyak industri lain yang pasarnya memang generasi milenial atau yang lebih muda. Faktanya, industri hiburan yang dekat dengan kaum muda itu tidak hanya esports. Ada banyak industri lain, dari yang legal sampai ilegal, yang mampu menarik perhatian generasi muda. Saya akan membahas soal persaingan antar industri di bagian terakhir artikel ini nanti.
Di bagian ini, saya lebih ingin menambahkan soal ruang lain selain esports yang bisa digunakan untuk beriklan menyasar generasi muda yang katanya melek teknologi tadi. Ada dua nama yang jadi momok bagi banyak perusahaan media di zaman digital sekarang ini, Facebook dan Google. Saya juga pernah menuliskan panjang lebar soal perjuangan media game dan esports sekarang ini beberapa waktu yang lalu.
Tentunya membandingkan industri esports dan platform digital advertising jadi relevan karena sebagian besar pendapatan esports juga datang dari ruang beriklan untuk sponsor. Mereka-mereka yang memahami dan menyadari hal ini jadi bisa menyesuaikan diri dan menyuguhkan nilai yang berbeda dibanding Facebook dan Google, seperti media-media di zaman digital sekarang ini.
Memahami hal ini juga sebenarnya berguna untuk mulai mencoba mencari sumber pendapatan alternatif selain sponsor, seperti mendapatkan pemasukan dari fans (lewat penjualan merchandise atau yang lainnya) ataupun menghasilkan revenue dari cara lainnya (media rights dkk.), jika tidak ingin selalu berhadapan dengan dua raksasa digital advertising tadi.
Pasar esports Indonesia adalah para loyalis layaknya fans olahraga?
Inilah jawaban terakhir yang juga beberapa kali saya dengar. Beberapa orang yang saya tanyakan menyebutkan bahwa pasar esports adalah para loyalis yang fanatik sehingga cocok untuk jadi ruang beriklan.
Misalnya, sepatu Air Jordan jadi laku gara-gara banyak fans berat dari Michael Jordan. Di sepak bola juga bisa terlihat fanatisme antar pendukung klub bolanya. Masih banyak fans fanatik Arsenal meski klub ini terakhir kali juara liga Inggris di musim 2003-2004, jika saya tidak salah ingat. Tidak sedikit juga fans-fans bola fanatik yang masih memuja-muja tim jagoannya meski hanya pernah nyaris juara — saya sampai tidak berani sebut nama timnya karena takut dihujat wkwkwkwkw…
Apakah hal ini juga terjadi di pasar esports Indonesia? Hmmm… Di satu sisi, saya memang sudah menemukan banyak adu mulut antara fans EVOS dan RRQ di media sosial yang membela timnya masing-masing. EVOS Esports juga sudah berhasil mendapatkan pemasukan yang lumayan dari fans-fans-nya yang membeli merchandise mereka. Mereka bisa mendapatkan Rp150 juta dari penjualan merchandise selama gelaran Grand Final MPL ID S4 dan M1 World Championship.
Namun, di satu sisi lain, saya belum menemukan fenomena seperti Air Jordan tadi. Mungkin memang fenomena Air Jordan terlalu hiperbolis untuk dijadikan patokan karena memang Michael Jordan yang terlalu istimewa untuk dibanding-bandingkan. Namun maksud saya, apakah fans esports berpaling ke produk yang jadi sponsor tim dukungan mereka sebagai bentuk nyata dari loyalitas tadi? Apakah fans RRQ jadi menggunakan Biznet? Atau fans EVOS Esports jadi menggunakan CBN Fiber? Saya jujur tidak yakin… Walaupun memang, menurut saya, alasannya lebih karena Biznet dan CBN Fiber adalah internet kabel rumahan kelas broadband — padahal EVOS dan RRQ sekarang lebih dikenal di kalangan gamer mobile.
Mungkin pengujian loyalitas fans esports ini akan lebih masuk akal dan relevan dengan pasarnya jika provider seluler yang jadi sponsor tim-tim yang besar di skena esports mobile ataupun provider internet broadband ke tim esports yang lebih fokus ke game PC.
Meski memang saya juga tidak bisa menolak argumen ini mentah-mentah, saya juga masih belum menemukan bukti konkret yang meyakinkan. Padahal faktanya, yang sering dilupakan banyak orang di industri esports Indonesia yang sudah semakin besar dan menjangkau industri non-endemic, persaingan berebut sponsor tidak hanya terjadi antara para pelaku di industri yang sama tapi juga industri yang berbeda.
Misalnya saja jika kita berbicara soal brand-brand non-endemic yang pernah jadi sponsor esports, baik itu event ataupun tim, seperti Indofood, Tokopedia, Gojek, Blibli, AXE, BCA, dkk. Brand-brand tersebut juga bisa saja dan mampu menjadi sponsor event yang lebih luas cakupan pasarnya. Apa yang bisa meyakinkan mereka untuk terus mendukung esports?
Indofood misalnya. Mereka juga mampu mengeluarkan biaya untuk jadi peserta pameran di Pekan Raya Jakarta yang di 2019 kemarin ditargetkan untuk mendatangkan 6,7 juta pengunjung dan nilai transaksi sebesar Rp7,5 triliun. BCA juga demikian. BCA juga bisa jadi sponsor Indonesia International Motor Show (IIMS) 2019. Gelaran tersebut mampu mendatangkan 528 ribu orang dan memberikan nilai transaksi lebih dari Rp5 triliun.
Sebelum keliru dengan maksud saya, di sini saya bukannya tidak menyarankan industri non-endemic untuk menjadi sponsor lagi di esports. Saya lebih berharap dengan adanya pembuktian yang lebih konkret tentang seberapa besar pengaruh industri dan pasar esports ke industri yang lebih luas.
Penutup
Akhirnya, seperti yang saya katakan di awal artikel ini, saya juga tidak bisa memberikan jawaban definitif tentang keunikan dari pasar esports Indonesia. Namun setidaknya, mungkin artikel ini jadi berguna untuk membuka wawasan bahwa industri esports itu tidak hidup dalam dunianya sendiri.
Sebagai ruang beriklan untuk sponsor, industri esports dan industri-industri lainnya harus berhadapan dengan duopoli Google dan Facebook. Sebagai ruang untuk aktivitas bisnis (engagement, sales, dkk.), industri ini juga harus berhadapan dengan industri lainnya. Pemahaman ini saya kira penting saja buat para pelaku industri esports ataupun mereka-mereka yang ingin jadi sponsor di esports.
Sekali lagi, jangan salah kaprah, saya bukannya jadi melarang para sponsor untuk mengucurkan uangnya lagi ke esports karena saya sendiri juga hidup dari industri esports. Namun, ada beberapa hal yang saya kira harus disadari dan dianalisa lebih jauh.
Pertama, misalnya, menyesuaikan iklan dengan target pasar. Jika target pasarnya adalah kelas menengah atas, ya jangan pakai konten/gaya picisan. Kedua, saya hanya berharap industri esports Indonesia sudah mulai bisa mencari ruang-ruang alternatif dalam mencari revenue selain menjadi ruang iklan. Meski memang cara-cara alternatif ini belum bisa digunakan sepenuhnya untuk menggantikan revenue yang datang dari sponsor.
Ketiga, yang tak kalah penting disadari, inilah alasan kenapa saya juga membandingkan industri esports dengan platform digital advertising ataupun industri lainnya. Faktanya, uang yang digunakan untuk kebutuhan iklan itu terbatas. Misalnya, kenapa sebuah perusahaan harus menjadi sponsor event esports jika perusahaan tersebut bisa mengucurkan dana yang sama jumlahnya (atau bahkan lebih besar) untuk event lainnya yang lebih efektif dari sisi aktivitas bisnis?
Terakhir, menyediakan bukti konkret bahwa esports memang mampu menggerakkan massanya (soal bisnis) tentu akan membuat industri ini lebih meyakinkan untuk para sponsor ataupun investor di masa depan.
Sumber header: Smash.gg