Pelajaran Singkat yang Bisa Didapat dari Sisi Bisnis LPL, Liga League of Legends Terbesar di Dunia

Menurut data dari Newzoo, 70 persen dari total populasi China, atau sekitar 560 juta orang, bermain game. Tidak hanya bermain game, warga China juga gemar menonton pertandingan esports.

Data dari IHS Markit menyebutkan bahwa China memberikan kontribusi sebesar 57 persen dari total penonton esports di dunia. Tidak heran, mengingat lebih dari 30,4 persen orang China percaya, esports adalah sebuah olahraga, berdasarkan data Penguin Intelligence Database.

Hanya 5,6 persen warga China yang menganggap bahwa esports bukanlah olahraga. Kebanyakan dari orang-orang itu memiliki umur di atas 40 tahun dan memang tidak pernah bermain game atau tahu tentang esports.

“Menonton turnamen dan kompetisi esports adalah hiburan untuk saya,” kata Yan Han, pria 28 tahun yang bekerja dan tinggal di Beijing, dikutip dari South China Morning Post.

Sejak mulai bermain League of Legends dua tahun lalu, dia telah menghabiskan uang hampir 1.000 yuan (sekitar Rp2 juta) untuk membeli item dalam game. Setiap hari, dia bermain League of Legends sekitar dua sampai tiga jam. Dia juga tidak pernah absen untuk menonton turnamen LoL tahunan.

Sumber: SCMP
Sumber: SCMP

“Menarik bagi saya untuk menonton pemain-pemain terbaik dunia saling beradu. Tingkat kemampuan yang mereka tunjukkan dan strategi yang mereka gunakan tidak banyak digunakan di kalangan pemain LoL biasa.”

Pada bulan Juni lalu, TJ Sports sempat membahas tentang jumlah penonton League of Legends Pro League (LPL). Secara total, jumlah view LPL mencapai 30 miliar, menurut data dari Esports Insider.

TJ Sports adalah perusahaan hasil kerja sama Tencent dan Riot Games yang bertanggung jawab atas LPL. Saat ini, LPL adalah turnamen LoL dengan jumlah peserta terbanyak.

Kompetisi di China itu memiliki 16 tim peserta. Sebagai perbandingan, kompetisi LEC dan LCS di Eropa dan Amerika Utara hanya memiliki 10 tim peserta per kompetisi.

Jumlah viewership inilah yang membuat media value dari LPL meroket. Berdasarkan white paper yang dirilis oleh TJ Sports, total media value yang didapatkan oleh enam sponsor LPL Summer Split 2017 mencapai 3 miliar yuan (sekitar Rp6 triliun).

Sementara media value yang didapatkan oleh Mercedes-Benz yang menjadi rekan resmi League of Legends World Championship mencapai 600 juta yuan (sekitar Rp1,2 triliun).

Sistem Turnamen dan Sumber Pendapatan LPL

Pada dasarnya, ada dua tipe turnamen esports, yaitu terbuka dan tertutup. Turnamen tertutup menggunakan sistem franchise, mengharuskan sebuah tim untuk membayar sejumlah uang sebelum mereka bisa bertanding dalam sebuah kompetisi.

LPL termasuk turnamen tertutup. Menurut laporan Esports Observer, jika sebuah tim ingin masuk ke LPL, dia harus menyediakan setidaknya 80 juta yuan (sekitar Rp161,1 miliar). Tidak hanya itu, tim itu juga harus memiliki sokongan bisnis yang kuat dan reputasi yang bagus.

Saat ini, tim di LPL telah mendapatkan investasi rata-rata sebesar 1,25 miliar yuan (sekitar Rp2,5 triliun). Menariknya, nilai tim tidak didasarkan pada performa tim atau luas jangkauan brand sebuah tim.

Menurut laporan Newzoo, dari total pendapatan US$1,1 miliar di industri esports, sponsorship memberikan kontribusi terbesar dengan total US$456,7 juta atau 41,5 persen dari total pendapatan.

Sumber: Newzoo
Sumber: Newzoo

Kontribusi terbesar kedua berasal dari hak siaran media. Dengan kontribusi sebesar US$251,3 juta, hak siaran media memberikan kontribusi sebesar 22,8 persen.

Menariknya, sumber pendapatan terbesar LPL bukanlah sponsorship, tapi hak siaran media. Beberapa perusahaan yang mendapatkan hak penyiaran LPL antara lain Huya, DouYu, Penguin Esports, BiliBili, WeChat Live, Weibo, Tencent Video, dan Tencent Sports.

Stasiun siaran televisi lokal seperti Great Sports dan Guangdong Sports juga mendapatkan hak untuk menyiarkan turnamen LoL tersebut.

Industri Esports Semakin Menyerupai Industri Olahraga Tradisional

Menurut CEO Immortals Gaming Club (IGC), Ari Segal, dua sumber pendapatan utama IGC adalah sponsorship dan hak siaran media, sama seperti LPL. Namun, mereka juga tertarik untuk mencari sumber pendapatan baru, dengan mengadakan turnamen sendiri.

“Tidak hanya kita akan mendapatkan untung dari penjualan tiket, ada juga beberapa sumber pendapatan lain, seperti penjualan merchandise, parkir, makanan dan minuman, dan juga akses ke data,” kata Segal, seperti dikutip dari Yahoo Finance.

Menurut Segal, ke depan, sistem monetisasi di industri esports akan semakin menyerupai industri olahraga tradisional. Hal ini juga tercermin dari mulai digunakannya model bisnis kandang-tandang (home-away) di industri esports.

Saat ini, ada enam tim esports di China yang memiliki markas, yaitu Royal Never Give-Up (RNG) dan JDG di Beijing, Team WE di Xi’an, LGD Gaming di Hangzhou, LNG di Chongqing, dan OMG di Chengdu.

Sayangnya, biaya operasional markas ini masih lebih mahal jika dibandingkan dengan uang yang didapatkan dari penggunaan fasilitas tersebut. TJ Sports dan Tencent membuat beberapa rencana untuk mengatasi masalah ini.

Dalam jangka pendek, TJ Sports dan Tencent akan menanggung biaya marketing dan finansial untuk mengurangi beban yang ditanggung tim yang memiliki markas sendiri. Sementara dalam jangka menengah, TJ Sports akan berusaha mengurangi biaya operasional dengan menggunakan Esports Streaming Center di Shangai Jingan District untuk menyiarkan siaran pertandingan LPL.

TJ Sports juga akan berusaha untuk menyediakan lebih banyak kegiatan offline untuk menggunakan stadium yang jadi markas sebuah tim esports, seperti festival musik.

Sumber: Esports Observer, South China Morning Post, Yahoo Finance, Esports Insider