Pemerintah DKI Berencana Larang Penggunaan Virtual Office untuk Domisili Perusahaan

Semakin tinggi pohon, semakin tinggi angin yang menerpa. Mungkin analogi tersebut bisa dikaitkan dengan kondisi industri kreatif saat ini. Khususnya di Jakarta. Belum menjadi sebuah ekosistem yang matang, kali ini industri kreatif seakan terpojok dengan kebijakan pelarangan penggunaan virtual office sebagai alamat domisili perusahaan.

Pelarangan ini dimuat dalam Surat Edaran Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) Jakarta No. 41/SE/Tahun 2015 tanggal 2 November 2015. Surat edaran yang sedianya akan berlaku akhir Desember ini menurut Kepala Bagian Bidang Pembinaan BPTSP DKI Jakarta, Ahmad Ghiffari akan memastikan keberadaan perusahaan.

“Aturan ini agar kita bisa make sure (memastikan) keberadan perusahaan. Apa benar itu kantor ada pegawainya, apa betul ada aktivitasnya, atau hanya kantor 2-3 bulan pertama saja sewa habis itu kosong. Masak ada satu kantor tapi isinya 300 perusahaan?” seperti dikutip dari Detik.

Ghiffari melanjutkan, surat edaran itu merupakan aturan sementara sambil menunggu kepastian aturan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Menurut Ghiffari, apa yang telah di lakukan BPTSP merupakan salah satu usaha untuk memastikan bahwa perusahaan sudah sesuai dengan domisili sesuai SIUP yang sudah diterbitkan diterbitkan. Pasalnya, banyak perusahaan abal-abal yang hanya memanfaatkan virtual office sebagai domisilinya.

Aturan baru ini jelas meresahkan para pemilik perusahaan yang baru berkembang, termasuk para startup dan pemain di industri kreatif yang menggunakan jasa virtual office. Virtual office sejauh ini masih menjadi “penolong” bagi pengusaha-pengusaha kecil dan baru berkembang dari tingginya harga sewa kantor fisik di Jakarta. Tarif dan kebutuhan virtual office dinilai sebagai opsi yang lebih masuk akal.

Mengenai hal ini  Ketua Umum Virtual Office and Co Working Space Association Indonesia (VOACI) Anggawira mengungkapkan bahwa skema virtual office saat ini dikelola layaknya kantor bersama. Alasannya banyak pelaku usaha khususnya sektor kreatif tidak membutuhkan ruang kantor untuk pekerjaannya, namun membutuhkan domisili agar bisa mendirikan perusahaan yang berbadan hukum.

“Kayak programmer, developer teknologi kan bisa dikerjakan di rumah. Jadi mereka percayakan kantornya ke pengelola virtual office. Kantornya ada, tapi bersama, karena mereka tak bisa pakai rumah untuk domisili kantor, hal-hal administratif ada yang mengelola, tapi bersama,” ungkap Anggawira.

Mengenai perusahaan fiktif yang menggunakan virtual office ini harusnya disikapi lebih bijak. Jangan sampai gara-gara ulah satu-dua pelaku bisnis semua jadi kena getahnya. Anggawira juga menyampaikan bahwa mengenai perusahaan fiktif yang menggunakan virtual office harusnya tidak perlu dipermasalahkan. Menurutnya aturan pajak yang baru sudah mempersulit perusahaan fiktif.

“Dengan aturan pajak yang baru sudah susah. Direktur juga harus punya NPWP, ada sertakan kartu keluarga, alamat dan sebagainya di SIUP. Jadi bisa dilacak, kita pengelola virtual office juga sangat selektif. Kita nggak sewakan buat perusahaan funding, kontraktor bermasalah, perusahaan MLM. Kita nggak sewakan untuk yang bermasalah,” jelasnya.

Semua mestinya sepakat bahwa virtual office sangat membantu perusahaan industri kreatif dalam berkembang. Kebijakan pelarangan virtual office ini bisa menjadi salah satu langkah mundur dari pemerintah dalam gerakan 1000 startup yang dicanangkan Presiden belum lama ini.