Menjelang akhir Februari lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika (“Menkominfo”) memastikan bahwa kementeriannya akan mengeluarkan peraturan mengenai kewajiban pembentukan bentuk usaha tetap bagi para pelaku usaha asing yang menyediakan konten aplikasi internet yang populer (over-the-top atau OTT) dan beroperasi di Indonesia, seperti Facebook, WhatsApp, dan Netflix. Tujuan utama dari peraturan ini adalah penertiban para pengusaha OTT asing yang meraih keuntungan dari kegiatan usahanya di Indonesia, khususnya penertiban di bidang pemasukan pajak dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.
Penjelasan peraturan Pajak Penghasilan (PPh)
Kerangka pajak penghasilan (“PPh”) sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (secara bersama-sama disebut sebagai “UU PPh”).
Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) UU PPh, bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang digunakan oleh:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
b. orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; dan
c. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia;
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Dalam penjelasan pasal di atas dijelaskan bahwa bentuk usaha tetap menandakan adanya suatu tempat usaha bagi usaha orang atau badan luar negeri tersebut. Tempat usaha ini tidak melulu terpatok pada bangunan, tapi juga berbagai fasilitas terkait yang digunakan dalam menjalankan suatu usaha, seperti peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui Internet sebagaimana relevan dalam pembahasan artikel ini.
Singkat kata, bentuk usaha tetap merujuk pada tempat dan fasilitas usaha yang bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh, objek pajak penghasilan bentuk usaha tetap adalah:
a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 UU PPh, seperti dividen, royalti, dan imbalan jasa, yang diterima atau diperoleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
[Baca juga: Tanpa Badan Usaha Tetap di Indonesia, Layanan OTT Bakal Diblokir]
Sekilas, objek pajak penghasilan yang disebutkan pada huruf b dan c di atas adalah serupa. Namun, contoh berikut diharapkan dapat memudahkan pemahaman atas perbedaan kedua jenis objek pajak penghasilan tersebut.
Contoh untuk penghasilan yang dimaksud dalam huruf (b) adalah:
Sebuah bank asing di luar negeri mempunyai BUT di Indonesia, namun bank tersebut memberikan pinjaman secara langsung kepada perusahaan di Indonesia, langsung dari banknya yang berdomisili asing, bukan melalui bentuk usaha tetap yang ada di Indonesia, padahal pinjaman tersebut merupakan salah satu produk yang juga disediakan oleh bentuk usaha tetap dari bank asing yang bersangkutan.
Sedangkan untuk contoh penghasilan pada huruf (c) adalah:
Perusahaan asing A mengadakan perjanjian lisensi merek dengan perusahaan asing B dan bentuk usaha tetap dari perusahaan asing A membantu perusahaan asing B dalam memasarkan produk dari merek yang dilisensikan perusahaan A tersebut.
Penjelasan peraturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Selain pajak penghasilan, pemerintah juga berharap untuk dapat menertibkan pemasukan dari pajak pertambahan nilai terkait pengusaha OTT asing. Kerangka peraturan pajak pertambahan nilai (“PPN”) diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (secara bersama-sama disebut sebagai “UU PPN”).
Pada dasarnya, objek pajak pertambahan nilai dari bentuk usaha tetap adalah setiap barang dan/atau jasa kena pajak yang diserahkan ataupun dimanfaatkan oleh bentuk usaha tetap di wilayah Indonesia. Sebagai tambahan informasi, kebocoran pemasukan dari pajak pertambahan nilai inilah yang menjadi salah satu pendorong kuat wacana Menkominfo untuk mewajibkan pengusaha OTT asing sebagai wajib pajak luar negeri berupa bentuk usaha tetap. Pasalnya, nilai usaha iklan digital para pengusaha OTT asing tersebut bisa mencapai nilai ratusan juta Dolar Amerika Serikat dan pemerintah tidak mendapatkan apapun dari jumlah tersebut.
Terkait dengan obyek pajaknya, UU PPN tidak menjelaskan secara khusus untuk setiap barang dan/atau jasa yang dapat dikenai pajak, namun Pasal 4A ayat (2) dan (3) UU PPN justru memberikan patokan barang dan/atau jasa yang tidak dapat dikenai pajak pertambahan nilai.
Barang-barang yang tidak dapat dikenai pajak, meliputi barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (termasuk makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, serta makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering) dan barang berupa uang, emas batangan, dan surat berharga.
Sedangkan jasa yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai meliputi jasa-jasa yang berkaitan dengan kepentingan umum, seperti jasa-jasa di bidang pelayanan kesehatan, sosial, keuangan, asuransi, pengiriman surat dengan perangko, pendidikan, keagamaan, penyiaran yang tidak bersifat iklan, kesenian dan hiburan, jasa penyediaan tempat parkir, dan lainnya.
Selanjutnya mengenai status bentuk usaha tetap, Pasal 2 ayat (2) UU PPh mengatur bahwa perlakuan pajak bagi subjek pajak bentuk usaha tetap dipersamakan dengan perlakuan terhadap wajib pajak badan dan oleh karenanya prosedur perolehan status sebagai bentuk usaha tetap pun dipersamakan dengan prosedur perolehan status sebagai wajib pajak badan, sebagaimana diatur secara umum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah beberapa kali dan terakhir oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Kesimpulan
Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa wacana untuk mewajibkan pengusaha OTT asing membuka bentuk usaha tetap di Indonesia memang didasari oleh tujuan yang sangat ideal.
Namun, pemerintah jelas wajib melakukan lebih banyak diskusi yang melibatkan seluruh stakeholder mengenai baik buruknya pemberlakuan kewajiban bentuk usaha tetap ini dalam rangka menghindari dampak negatif berupa turunnya minat para pengusaha OTT asing untuk beroperasi di Indonesia. Selanjutnya, hasil diskusi tersebut juga diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai ketentuan pelaksanaan atas peraturan Menkominfo tersebut kelak, mengingat bidang usaha ini merupakan bidang yang masih baru dan sulit untuk ditentukan standarnya karena cakupannya yang tak terbatas.
–
Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.