Bukan tentang Uber: Peraturan Dibuat untuk Mengakomodasi, Bukan Membatasi

Peraturan, misalnya yang dibuat oleh pemerintah, ditujukan untuk menciptakan keteraturan serta memberikan manfaat bagi publik. Kita tengah berada di suatu masa dengan perkembangan teknologi seringkali justru bertentangan dengan peraturan yang berlaku di masyarakat. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana permasalahan yang sebelumnya tidak ada bisa diregulasi (atau dicegah)?

Saya rasa saya telah menulis terlalu banyak artikel mengenai ketidakcocokan undang-undang hak cipta dengan kondisi masyarakat di abad ke-21 ini. Di satu sisi, undang-undang tersebut sengaja diciptakan untuk memastikan para seniman atau penemu mendapatkan hak penuh atas ciptaan mereka. Di sisi lain, kemajuan teknologi semakin memudahkan proses pembuatan tiruan dari ciptaan-ciptaan tersebut. Ini membuat kedua hal tersebut nyaris mustahil untuk disatukan, kecuali bila undang-undang tersebut dirombak total atau bahkan dihilangkan sama sekali.

Uber, yang lebih suka saya sebut sebagai penyedia layanan mirip taksi, meskipun mereka tidak ingin disebut dengan istilah itu, telah terbiasa untuk bertentangan dengan undang-undang transportasi nyaris di semua negara tempat layanan tersebut beroperasi. Di Jakarta, contohnya, peraturannya cukup jelas. Kendaraan apapun yang disediakan untuk publik serta menerima pembayaran dari publik dikategorikan sebagai transportasi umum (plat kuning). Bahkan, mobil pribadi yang disewa untuk kepentingan yang juga pribadi juga tergolong ke dalam kategori tersebut. Di sinilah kebingungan terjadi. Banyak usaha penyewaan kendaraan yang menyewakan kendaraan pribadi (plat hitam) namun tidak pernah berurusan dengan hukum (sejauh yang saya tahu). Dalam hal ini, Uber bisa saja mengatakan bahwa mereka adalah penyedia jasa penyewaan mobil dan bukan sebuah perusahaan penyedia layanan taksi, karena mereka sendiri bahkan tidak memiliki satu mobil pun.

Poin saya adalah: peraturan dibuat oleh manusia, yang memiliki pemikiran masing-masing serta semoga selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik. Jika memang peraturan dibuat untuk bersifat tegas, maka kita tidak akan memerlukan para wakil rakyat yang bertugas untuk membuat penyesuaian terhadap undang-undang (setidaknya itulah yang mereka lakukan). Faktanya, mereka tetap dipilih karena dianggap mampu memberikan yang terbaik kepada masyarakat serta undang-undang. Jika memang peraturan tidak dapat diubah yang kita butuhkan adalah robot-robot polisi yang bekerja tanpa kompromi. Mau dibawa ke mana nilai-nilai kemanusiaan yang selalu kita junjung tinggi?

Jika memang terdapat tantangan atau inovasi terhadap peraturan, bukankah sebaiknya kita nilai bersama apakah hal tersebut akan bermanfaat bagi masyarakat atau tidak? Bukankah lebih baik bila kita diberikan kesempatan untuk dapat mempelajari serta merasakan manfaat dari hal tersebut ketimbang mengatakan, “Ini peraturannya, turuti atau rasakan hukumannya?”

Inovasi seringkali muncul dari sektor industri kreatif, baik itu di bidang teknologi atau seni, namun tetap saja peraturan perlu mengikuti perkembangan dari inovasi tersebut. Terlebih bila inovasi tersebut memang bermanfaat bagi masyarakat luas (dan bukan hanya bagi sebagian kelompok masyarakat).

Mengesahkan undang-undang memang merupakan suatu hal yang kurang menyenangkan karena sang pembuat keputusan tidak dapat melakukan percobaan pengimplementasian peraturan tersebut, membuat versi beta-nya, dan lain-lain. Saya pun tidak berharap pihak pemerintah mampu memprediksi masa depan dengan membuat peraturan yang seratus persen tepat.

Saya hanya ingin mengusulkan agar pemerintah dapat lebih cermat serta teliti dalam menanggapi berbagai inovasi yang hadir di masyarakat. Faktanya, inovasi-inovasi tersebut malah seringkali menjadi solusi alternatif terhadap kebutuhan masyarakat. Jika para penegak hukum terlalu kaku dengan peraturan, bagaimana mungkin inovasi-inovasi tersebut akan mendapatkan ruang untuk bisa berkembang? Apakah kita harus menerima semua masalah kita tanpa memiliki satu pun alternatif solusi yang lebih baik?

Saya memilih tidak.

[Ilustrasi foto: Shutterstock]

Artikel ini telah dipublikasi ulang dengan izin dari Ario Tamat. Sumber aslinya berasal dari tulisan di Medium.

Ario adalah co-founder Ohdio, sebuah layanan streaming musik Indonesia. Dia sempat bekerja di industri musik digital di Indonesia dari 2003 hingga 2010, dan baru-baru ini sempat bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Ikuti kegiatannya melalui Twitter @barijoe di atau blog-nya http://barijoe.wordpress.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published.