Permasalahan Perpajakan Google di Indonesia

Sejak beberapa waktu lalu PT Google Indonesia menjadi perbincangan hangat terkait dengan penolakan pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak (Ditjen Pajak). Hal tersebut seperti diungkapkan oleh Muhammad Hanif selaku Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Khusus, dalam konferensi pers di kantor Ditjen Pajak hari Kamis (15/9) lalu.

Kendati demikian, menurut Head of Corporate Communication Google Indonesia Jason Tedjasukmana, pihaknya mengklaim selalu kooperatif dalam urusan perpajakan. Sebagai sebuah PT yang telah berdiri di Indonesia sejak tahun 2011, Goole Indonesia mengaku telah taat menunaikan pembayaran pajak sesuai peraturan yang berlaku di Indonesia. Lalu sebenarnya apa permasalahan yang membuat Ditjen Pajak ingin melakukan pemeriksaan terhadap Google?

Google dinilai belum berbentuk usaha tetap

Menurut Hanif, status PT Google Indonesia saat ini bukan merupakan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Status BUT dibutuhkan oleh perusahaan multi-nasional seperti Google untuk bisa menggali penghasilan di Indonesia. Sementara itu Google dinilai oleh Ditjen Pajak telah menerima penghasilan dari dalam negeri, terutama dari jasa periklanan online yang ditawarkan.

Ketika sebuah perusahaan seperti Google telah berstatus BUT, maka setiap transaksi yang masuk ke dalamnya (dalam hal ini jual beli jasa) akan dikenakan pemotongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ditjen Pajak yakin Google saat ini belum BUT, sehingga perusahaan atau rekanan yang bertransaksi dengannya tidak wajib melakukan pembayaran PPN.

Kami sempat panjang lebar membahas soal BUT ini, yang intinya:

bentuk usaha tetap merujuk pada tempat dan fasilitas usaha yang bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

[Baca juga: Penjelasan Kewajiban Pendirian Bentuk Usaha Tetap bagi Perusahaan Teknologi Asing]

Selain PPN, perusahaan yang belum berbentuk BUT juga tidak berkewajiban membayar Pajak Penghasilan (PPh). Karena syarat untuk memungkin PPh oleh sebuah perusahaan multi-nasional adalah berbentuk BUT. Menurut Ditjen Pajak penghasilan yang didapat Google di Indonesia sudah sangat besar, sehingga perlu adanya sebuah penelusuran.

Status kantor Google Indonesia sebagai kantor perwakilan

Google Indonesia saat ini sudah berstatus sebagai sebuah PT dan memiliki kantor di Indonesia. Namun menurut Ditjen Pajak, seperti disampaikan oleh keterangan pers Hanif, kantor tersebut saat ini hanya menjadi sebuah representasi atau kantor perwakilan, belum menjadi sebuah BUT. Kantor perwakilan umumnya hanya menjadi perantara menyetorkan sebagian kecil dari nilai transaksi keseluruhan. Dalam hal ini Hanif menilai yang disetor baru fee saja, nilainya cuma beberapa persen dari revenue.

Upaya untuk penelusuran terhadap Google ini tampaknya juga menjadi sebuah ambisi kuat pemerintah. Dukungan salah satunya dilontarkan oleh Komisi XI DPR RI, dalam hal ini disampaikan oleh Mukhammad Misbakhun. Pihaknya menuntut Ditjen Pajak untuk bertindak tegas, bahkan meminta otoritas perpajakan di Indonesia melakukan tindakan yang lebih tegas jika pihak Google tidak kooperatif terhadap pemeriksaan.

Penolakan Google untuk pemeriksaan kini memaksa Ditjen Pajak untuk meningkatkan ke tahap investigasi.

Bukan terjadi di Indonesia saja

Permasalahan yang dilatar belakangi pajak oleh otoritas pemerintahan terhadap Google bukan baru pertama kali ini terjadi. Sebelumnya pada bulan Mei lalu kantor Google di Paris juga diperkarakan karena pajak. Penyidik pajak setempat menggerebek kantor perwakilan yang terletak di seputaran aera Gare Saint-Lazare.

Dari pihak Google Indonesia pun belum menyatakan apa yang akan dilakukan untuk menghadapi permasalahan ini. Pun demikian tanggapan terkait tuduhan pelanggaran yang dilontarkan kepadanya. Kami masih mencoba terus berkomunikasi dengan pihak Google Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini tentang langkah-langkah yang akan ditempuh Google untuk menyelesaikan masalah ini.