Setelah pandemi berakhir, masa kejayaan startup telah usai. Banyak startup yang mulai bangkrut dan melakukan PHK. Dikutip dari CNN Indonesia, ada 19 startup yang melakukan PHK selama tahun 2022, yaitu JD.ID, Glints, Sayurbox, OYO, Ajaib, Ruangguru, Ula, GoTo, Shopee, LinkAja, Tokocrypto, TaniHub, SiCepat, Mamikos, Zenius, Xendit, Lummo, Pahamify, dan Mobile Premier League.
Tiga di antaranya, yaitu LinkAja, TaniHub, dan Mamikos, belum memberikan data akurat terkait jumlah karyawan yang di-PHK. Sementara Pahamify memutuskan untuk gulung tikar dari dunia startup Indonesia pada akhir Juni 2022.
Terlihat bahwa Ruangguru memiliki tingkat PHK yang paling tinggi yaitu 50%, disusul oleh JD.ID dengan persentase PHK sebesar 30% dan Zenius sebesar 25%. Hal ini ternyata disebabkan oleh faktor eksternal berupa kondisi ekonomi global yang memburuk, terlihat dari tingginya angka inflasi dan kenaikan suku bunga, sehingga membuat iklim investasi memburuk secara signifikan.
Dilansir dari CNN Indonesia, CEO Ruangguru, Adamas Belva Syah Devara, mengaku gagal mengantisipasi perkembangan ekonomi yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) ratusan karyawan.
“Di awal pandemi, layanan Ruangguru mengalami peningkatan yang besar yang berujung pada rekrutmen yang terlalu banyak dan terlalu cepat dalam dua tahun terakhir,” tulisnya di Instagram pada November 2022.
Berdasarkan laporan CNBC Indonesia, pihak JD.ID mengungkapkan alasan operasional e-commerce dihentikan permanen adalah karena JD.com akan berfokus pada pembangunan jaringan rantai pasok lintas negara.
“Ini adalah keputusan strategis dari JD.com untuk berkembang di pasar internasional dengan fokus pada pembangunan jaringan rantai pasok lintas negara, dengan logistik dan pergudangan sebagai intinya,” kata Head of Corporate Communications & Public Affairs JD.ID, Setya Yudha Indraswara, dalam keterangan resminya, Senin (30/1/2023).
Sementara itu, pernyataan dari CEO Zenius yang dilansir oleh CNN Indonesia, Rohan Monga berdalih PHK dilakukan karena kondisi perekonomian dan perilaku konsumen yang berubah. Karena perubahan itu, pihaknya mengambil beberapa kebijakan penghematan untuk memastikan keberlanjutan usaha dalam jangka panjang, termasuk rasionalisasi jumlah tenaga kerja.
Pandemi memberi dorongan sementara pada perkembangan ekosistem startup
Masa pandemi memang membuat masyarakat mau tidak mau mengikuti perkembangan teknologi. Bagaimana tidak, berbagai aktivitas yang awalnya dilakukan secara langsung atau tatap muka, harus dilakukan secara daring. Kegiatan yang mengharuskan teknologi menjadi media perantara di antaranya adalah bidang kesehatan, pendidikan, keuangan, e-commerce, dan hiburan atau video game.
Banyak startup bermunculan untuk menyelesaikan masalah pelayanan kesehatan yang praktis dan dapat diakses dengan mudah. Dengan menyediakan jasa pemeriksaan atau diagnosis, konsultasi kesehatan, serta pembelian obat-obatan secara online, startup dapat menjadi solusi bagi permasalahan di kala pandemi.
Sementara itu, pendidikan juga harus terus berjalan. Hal ini membutuhkan banyak perangkat komunikasi yang bisa digunakan secara real-time dan oleh banyak pengguna sekaligus. Contohnya adalah Ruangguru, yang memberikan akses pembelajaran di mana saja dan kapan saja. Aktivitas jual-beli pun juga dilakukan jarak jauh, sehingga membutuhkan banyak e-commerce.
Perubahan pada masyarakat tersebut memberikan dampak pada perkembangan perekonomian dengan mempercepat transformasinya secara digital. Salah satunya tren perkembangan startup yang telah mengalami peningkatan.
Dikutip dari GoodStats, Masyarakat Industri Kreatif Teknologi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) merilis laporan yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki 1.190 startup. 39,59% di antaranya berada di Jabodetabek, 10,01% berada di Malang, 7,87% berada di Bandung, 7,05% berada di Yogyakarta, dan 6,06% berada di Makassar.
Untuk mempertahankan eksistensinya, startup perlu memberikan fitur terbaiknya kepada pengguna atau user. Pemberian layanan maksimal dilakukan dengan terlebih dahulu menganalisis budaya masyarakat Indonesia.
Di Indonesia sebuah platform akan memiliki banyak pengguna apabila memberikan keuntungan berupa diskon besar-besaran yang sering ditawarkan di e-commerce, atau bisa juga melalui penawaran gratis ongkir pada jasa atau layanan kirim paket. Untuk bidang kesehatan, bisa juga memberikan konsultasi gratis kepada pengguna baru, dan masih banyak lagi metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah pengguna.
Hal ini tentunya membutuhkan biaya yang besar, sehingga sebagian besar startup berusaha untuk melakukan IPO. Initial Public Offering atau IPO adalah kondisi ketika perusahaan menjual sahamnya kepada masyarakat untuk pertama kali. Melalui IPO, masyarakat umum bisa membeli saham dan perusahaan dapat memperoleh dana tambahan. Setelah terdaftar IPO, startup mendapatkan balik modal, dan keuntungan ini dapat diputar untuk tujuan pengembangan bisnis.
Namun tidak semudah itu mengambil keuntungan dari IPO. ‘Pembakaran uang’ yang dilakukan sebelumnya dalam rangka memberikan benefit ke pengguna melalui berbagai promo dan diskon menjadi penghambat perputaran uang di dalam sistem startup.
Alasan mengapa terjadi PHK besar-besaran adalah karena setelah melakukan IPO, startup tidak dapat mempertahankan kualitas pelayanan serta biaya operasional yang tinggi. Hal ini dapat menjadi akibat dari kegagalan startup apabila manajemen bisnisnya tidak baik dan berujung pada PHK besar-besaran.
Gambar header: Pixabay.
–
Artikel ini ditulis oleh Zuhra Mumtazah, alumni program DNA #Cohort1 yang digagas oleh DailySocial.