Pivot Bukanlah Tanda Kegagalan Bagi Startup

Terlalu banyak orang yang memandang sebelah mata ketika mereka mendengar kabar bahwa startup mengubah layanannya. Saya mendengar hal ini dari mana-mana; baik itu dari mereka yang berada di dalam dunia startup maupun mereka yang tidak. Ada kecenderungan untuk berpikir bahwa “strategi pemasaran / perekrutan perusahaan ini memang sudah buruk sejak awal, jadi produk mereka memang sudah sangat buruk sejak awal”, tanpa ada keinginan untuk menganalisis keputusan perusahaan tersebut lebih dalam lagi.

Perubahan menunjukkan keberanian

Mengakui bahwa produk Anda memang gagal memenuhi ekspektasi membutuhkan keberanian. Saya rasa kita semua dapat merujuk kepada Homejoy sebagai contoh perubahan yang berdampak positif. Hal yang sama juga terjadi para klon TaskRabbit yang sebelumnya memenuhi pasar Singapura. Hasilnya, tidak ada yang menuduh mereka kehilangan keyakinan terhadap produk mereka.

Perubahan adalah cara untuk menghindari kegagalan besar

Para penentang mengklaim bahwa hanya investor yang dapat dengan mudah mengalihkan perhatian mereka lah yang pantas untuk gagal cepat. Mereka mengatakan bahwa para pengusaha sebaiknya gigih dalam memperjuangkan bisnis mereka. Memang kedua argumen tersebut ada benarnya. Namun, bukan berarti bahwa perubahan itu buruk bagi mereka. Ketika 2 posisi yang bertentangan bertabrakan, maka kebenaran biasanya terletak diantaranya, dalam bentuk yang unik dan berada di luar norma.

Sebelum saya dituduh melakukan pengingkaran, saya ingin menekankan bahwa sangat sulit untuk mengetahui penyebab kegagalan, apakah memang karena kurangnya kegigihan yang ditunjukkan oleh pengusaha ataukah karena memang pasar yang dimasuki mustahil untuk ditaklukkan. Jika Anda pikir Anda cukup pintar untuk dapat menentukan kesuksesan sebuah startup hanya dengan berpikir mengenai bisnis mereka, maka Anda pasti berpikir bahwa ide-ide gila seperti Beauty Box for Bacon atau Sending Glitter to Your Enemies tidak akan pernah berhasil. Di situlah Anda melakukan kesalahan ganda!

Saya menemukan beberapa contoh pengusaha yang gagal pada bisnis pertama mereka namun kemudian meraih kesuksesan pada percobaan kedua. Contoh pertama adalah sebuah perusahaan kecil di Washington, Amerika yang bernama Traf-O-Data yang memproses data yang dihasilkan dari mesin penghitung lalu lintas. Mesin ini dibangun di atas jalanan kota yang ramai dan dihubungkan dengan 2 kabel yang melintas di atas jalan tersebut. Setiap kali sebuah kendaraan melintasi kabel tersebut, maka mesin tersebut akan menghitungnya. Mesin tersebut kini telah menjadi sesuatu yang umum, dan para pengusaha muda percaya bahwa data yang dihasilkan oleh mesin tersebut memerlukan pemrosesan yang tidak sedikit. Hal ini bisa menjadi peluang yang sangat besar. Sayangnya pemerintah kota memutuskan untuk menawarkan prosedur tersebut secara gratis ke semua kota bagian, sehingga bisnis pemrosesan data tersebut tidak dapat bertahan. Para pendirinya kemudian sadar akan kegagalan mereka dan memulai bisnis baru bernama Microsoft, yang pada akhirnya dapat mengubah dunia secara signifikan.

Jika Microsoft belum cukup, maka saya punya contoh lain yang pastinya telah menjadi cerita yang umum di kalangan para pengembang software profesional.

it-crowd-moss-roy-high-5

Chris dan PJ dulunya bekerja di startup yang bernama Famspam, sebuah jaringan sosial dan layanan e-mail yang didedikasikan untuk keluarga. Hal yang menarik dari kisah ini adalah fakta bahwa dalam beberapa bulan pertama bisnis mereka, perusahaan hanya memperoleh pemasukan total sebesar 12 dolar. Pada saat Famspam diluncurkan, Github masih berada dalam tahap pengembangan. Akan tetapi, sesuatu yang tadinya dijadikan sebagai proyek sampingan oleh Wanstrath dan temannya, Tom Preston-Werner, kini malah menjadi fokus utama mereka. Proyek tersebut kemudian menjadi cikal bakal dari tempat penyimpanan kode paling populer di dunia saat ini.

Memang ada godaan untuk mengatakan bahwa kedua perusahaan di atas tidak benar-benar melakukan perubahan terhadap bisnis mereka. Bisnis, terutama startup, memang berantakan. Pelajaran paling penting yang bisa saya ambil adalah bahwa mereka memutuskan bahwa bisnis mereka tidak dapat bertahan dan lebih memilih untuk mengambil jalan lain untuk meraih kesuksesan, sementara tetap menjaga keutuhan tim inti mereka.

Kegagalan mengajarkan Anda bahwa sesuatu harus dirayakan

Memang tidak semua pengusaha startup dapat menjadi Bill Gates. Diperlukan sebuah cara untuk mengevaluasi level kebijaksanaan dari pilihan seorang pengusaha tanpa kisah sukses yang mengelilinginya. Metrik untuk hal tersebut pastinya dapat diketahui dari kegagalan.

Saya memiliki pengalaman pribadi untuk hal ini. Sejak bulan Juni 2013, saya sempat bekerja beberapa bulan di tim BillPin, yang dipimpin oleh Darius Cheung (pendiri Tencube). Perusahaan tersebut sendiri baru didirikan pada bulan Januari 2013. Darius adalah salah satu pengusaha yang paling pintar di Singapura. Dibandingkan dengan Tencube, BillPin merupakan bisnis yang sangat jauh berbeda karena tidak berpusat pada teknologi seperti Wavesecure, ditambah dengan strategi monetisasinya yang tidak jelas pada saat itu. Namun, masalah bayar-membayar ketika makan bersama memang menjadi hal yang pelik bagi banyak remaja, dan harapannya pada saat itu adalah untuk meraih pemasukan dari pertumbuhan dan aktifitas pengguna. Sayangnya hal tersebut urung terjadi. Pada bulan Oktober 2013, tim membuat keputusan sulit untuk mengubah bisnis mereka. Akan tetapi, mereka tetap menjaga visi dari bisnis mereka, yaitu untuk menyediakan solusi bagi permasalahan para remaja.

Hasilnya, tim kemudian mengembangkan Homie, sebuah platform yang membantu remaja menemukan teman sekamar mereka. Solusi ini membuka peluang yang lebih baik untuk monetisasi, meskipun produk tersebut diluncurkan tanpa fitur berbayar. Para pengguna dapat menghemat uang yang biasanya mereka habiskan untuk menyewa agen, serta berfokus kepada hubungan sosial daripada janji dari pihak pengembang perumahan.

Pada bulan November 2014, tim kembali melakukan perubahan, sehingga terciptalah portal penyewaan properti yang lebih tradisional yang bernama 99.co. Fokus 99.co memang berbeda dengan portal properti lain yang lebih mainstream seperti Property Guru, karena portal ini menekankan kepada penyewaan kamar dan keseluruhan apartemen. Namun, ada perbedaan yang sangat mendasar. Jika Homie merupakan website self-service, maka 99.co berkolaborasi dengan para agen properti. Melalui contoh ini, terlihat jelas evolusi pemahaman tim tentang masalah dan peluang yang ada dalam dunia remaja. Adaptasi tim terhadap dunia remaja membuktikan bahwa mereka belajar dari kegagalan dan mengubah layanan untuk dapat mengadopsi pengetahuan yang telah mereka dapatkan.

Kita tidak pernah benar-benar berpikir mengenai hal tersebut, namun pemberitaan teknologi dalam beberapa bulan belakangan seolah memberikan luka bagi dunia teknologi, dengan lebih banyak mengekspos mengenai kegigihan sebuah bisnis daripada kemampuannya untuk beradaptasi. Groupon, Evernote, dan Dropbox telah berusaha untuk beradaptasi dengan kebutuhan pengguna mereka yang semakin meningkat.

Groupon tidak lagi melayani jual-beli saham, sementara Evernote baru saja mem-PHK 5% dari pegawainya secara global. Dropbox telah menghadapi banyak kritikan belakangan ini sehingga CEO perusahaan tersebut harus membuat pernyataan dalam sesi TechCrunch Disrupt bahwa kritik yang menghinggapi tim Dropbox datang dari “kebingungan”. Saya tidak berkata bahwa merubah bisnis lantas menjadi solusi bagi semua perusahaan tersebut, namun keenggana mereka untuk melakukan hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan mereka. Groupon menambah banyak bentuk penawaran lain dengan mengembangkan Goupon Live, Dropbox mencoba untuk memasuki segmen photo sharing dengan memperkenalkan Carousel, sementara Evernote mulai membeli aplikasi-aplikasi kecil untuk membangun sebuah ekosistem di sekeliling bisnis inti Evernote. Tidak ada satupun dari langkah tersebut yang dikatakan telah membuat masa depan mereka lebih terjamin.

Kesimpulannya, mengubah arah bisnis memang sulit, dan sayangnya hal yang sulit memang menakutkan. Namun, sebagai pengusaha startup kita sebaiknya mau untuk menghadapi hal-hal sulit. Untuk itulah kita hidup. Jadi, lain kali jika Anda menemukan startup yang mengubah arah bisnis mereka, pelajarilah langkah mereka daripada mengejek keputusan mereka. Jika Anda dapat menemukan alasan dibalik keputusan tersebut, maka Anda telah mempelajari sesuatu dan jauh lebih baik dibandingkan teman-teman Anda yang hanya dapat melihat kegagalan.

Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa startup melakukan keputusan salah dengan mengubah arah bisnis mereka, karena hal tersebut malah membawa kesuksesan bagi beberapa perusahaan besar. Namun, tentu saja, pelajari segala sesuatunya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengubah arah bisnis Anda.

_

Weileen adalah konsultan pemasaran digital di Lean Metrics di Singapura. Dia menjual wine dalam waktu senggangnya di Bottles of Joy. Anda dapat bertanya mengenai SEO kepadanya dengan menghubungi @ngweileen.

Artikel ini diterjemahkan oleh Rifki Aria Nugraha

Leave a Reply

Your email address will not be published.