Di Balik Polemik UangTeman dan Regulasi Praktik Peminjaman Uang

/ Shutterstock

Beberapa tahun belakangan ini, pertumbuhan perusahaan rintisan yang bergerak di segmen finansial mulai menjamur, kebanyakan dari mereka memanfaatkan teknologi sebagai basisnya. Meskipun demikian kehadiran mereka belum didukung oleh aspek lain, seperti regulasi. Kehadiran startup peminjaman uang UangTeman merupakan contoh yang menuai opini tajam di masyarakat.

Sebenarnya ada beberapa cara yang bisa digunakan masyarakat untuk memperoleh pinjaman uang. Dahulu kita kenal konsep gadai, yang menjaminkan barang bergerak untuk kebutuhan ini. Dianggap belum sederhana karena masih memerlukan jaminan, hadir satu sistem lagi, yang pertama kali diperkenalkan oleh Standard Chartered Bank Indonesia, yakni Kredit Tanpa Agunan (KTA).

Umumnya, nasabah atau pelanggan yang berusia dari 21 tahun hingga 60 tahun dapat meminjam dana melalui sistem KTA tanpa harus memberikan jaminan (agunan) seperti sertifikat rumah dan lainnya. Plafon (biaya tertinggi) kredit yang diberikan oleh bank pada umumnya memiliki rentang antara 10 hingga 250 juta rupiah dengan kisaran bunga antara 1,55% hingga 2,2% flat per bulannya.

Dengan pesatnya laju pertumbuhan teknologi, peluang baru di segmen finansial ini pun ikut terbuka. Ini dapat terlihat dari menjamurnya perusahaan rintisan yang muncul di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan seperti CekAja, DuitPintar, HaloMoney, Pinjam, dan yang terhangat UangTeman.

Masing-masing perusahaan rintisan tersebut pun memiliki prosedur dan konsekuensi yang berbeda sebagai alternatif layanan jasa finansial. Khusus untuk UangTeman, mereka ternyata tak mendapat sambutan hangat, malah cenderung mendapat cap sebagai “rentenir online”.

Apakah UangTeman sama dengan rentenir online?

shutterstock_268400885

Pada kenyataannya saya mungkin bukanlah orang yang benar-benar tepat untuk menjawab pertanyaan di atas karena saya bukan seseorang yang ahli di bidang finansial. Menurut saya, kehadiran UangTeman di Indonesia kurang tepat momentumnya, terutama dengan tingginya bunga pinjaman yang diberikan. Setidaknya ada jenis dua alasan yang mendasari pendapat saya tersebut, baik dari sisi budaya maupun sisi regulasi.

Secara budaya, dengan kebanyakan masyarakat Indonesia beragama Islam, ada konsep peminjaman uang yang disebut dengan istilah riba. Model bisnis yang diusung UangTeman, terutama dengan tingginya bunga yang diberikan, membuat masyarakat khawatir karena ada indikasi riba di sana. Ini menjadi cap rentenir pada praktik yang dilakukan UangTeman.

OJK dan regulasi praktik peminjaman uang

Dalam hal regulasi, sebenarnya UangTeman tak bisa dikatakan melanggar aturan karena faktanya aturan yang secara spesifik mengatur bisnis jasa peminjaman seperti UangTeman belum ada di Indonesia. Indikasi ini dapat dilihat dari pernyataan CEO UangTeman Aidil Zulkifli di pemberitaan kami sebelumnya. Aidil menyebutkan bahwa harus ada lebih banyak aturan dan regulasi yang jelas tentang industri kredit jangka pendek ini di Indonesia.

Pernyataan ini senada dengan yang diutarakan oleh pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Kusumaningtuti S Soetiono mengungkapkan bahwa bisnis UangTeman memang tidak melanggar aturan apapun karena pada dasarnya masih belum ada aturan yang secara spesifik mengatur bisnis peminjaman online ini.

Selain Kusumaningtuti, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Firdaus Djaelani juga memberikan pendapat yang kurang lebih sama. Menurut keduanya, praktik yang dilakukan oleh UangTeman ini pada dasarnya sangat mirip dengan praktik rentenir konvensional. Bedanya, UangTeman memanfaatkan teknologi dalam praktiknya.

Meskipun demikian, OJK menghimbau masyarakat untuk tidak mudah tergiur dengan iming-iming mendapatkan pinjaman cepat dengan syarat mudah ini.

Dijadikan sebagai alternatif untuk memperoleh pinjaman uang

shutterstock_273084119

Meski menuai banyak pendapat nagatif, pada kenyataannya bisnis UangTeman masih berjalan hingga kini. Selain mengklaim telah memiliki ribuan anggota, UangTeman juga berencana untuk melebarkan cakupan wilayah operasinya ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hal tersebut tak lepas dar target pasar yang dibidik oleh UangTeman, yakni masyarakat kelas B- atau C+.

Hal ini senada dengan pendapat CEO CekAja John Patrick Ellis. Ellis kepada DailySocial mengatakan, “Secara umum, payday loans cenderung mengeksploitasi orang-orang putus asa dan dalam praktiknya, orang putus asa adalah orang-orang yang kurang mampu secara finansial. […] Satu-satunya hal positif yang bisa dikatakan dari payday lenders adalah mereka umumnya satu langkah lebih baik dari rentenir, yang dalam beberapa kasus merupakan satu-satunya alternatif bagi orang-orang putus asa.”

Lebih jauh, terkait dengan suku bunga, Ellis menyebutkan bahwa seharusnya Annualized Percentage Rate (APR) atau Bunga Efektif Tahunan menjadi satu-satunya perhitungan sebenarnya dalam menentukan suku bunga dan biaya lainnya. Dalam kebanyakan kasus, pilihan tertentu yang tampak murah karena tingkat bunga yang rendah justru dikompensasi dengan biaya yang relatif lebih tinggi.

Disebutkan Ellis, APR mengukur semua elemen yang ada sehingga konsumen dapat membuat perbandingan sebenarnya dari produk keuangan. Di Amerika Serikat dan di Filipina, APR adalah cara legal yang diperlukan untuk menentukan bunga. Ini disebut “Truth in Lending Art”. Sayangnya, menurut Ellis, di Indonesia masih belum ada aturan yang setara dengan “Truth in Lending Art” ini.

Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi kehadiran UangTeman ini? Satu-satunya jawaban di benak saya saat ini adalah menjadikannya alternatif untuk memperoleh pinjaman uang. Layak atau tidaknya akan kembali pada individunya masing-masing karena kebutuhan finansial tiap orang akan selalu berbeda. Tak dapat dipungkiri, UangTeman mungkin adalah satu-satunya layanan KTA yang bisa memberikan dana pinjaman dalam jangka waktu dua jam saja.

Sebagai penutup, saya mengutip pernyataan CEO Pinjam Indonesia, sebuah layanan gadai online, Teguh B. Ariwibowo yang mengatakan, “Dengan niat yang baik, kami percaya setiap startup teknologi keuangan hadir untuk membantu menjadi sebuah solusi pada kesulitan yang dihadapi di masyarakat, dengan segala prosedur dan konsekuensi masing-masing. Pilihan tetap jatuh di tangan masyarakat, untuk mempertimbangkan dan mengambil keputusan akan begitu banyak solusi kebutuhan dana cepat bagi permasalahan keuangan mereka masing-masing.”

Leave a Reply

Your email address will not be published.