Memahami Konsep “Post-App Store”

Akhir November lalu, Facebook meluncurkan Instant Games, sebuah usaha Facebook untuk memasuki ranah permainan dan aplikasi mobile yang kini, secara platform, dikuasai Google dan Apple. Di sini kita berkenalan dengan istilah “Post-App Store”, meskipun sementara ini Indonesia belum termasuk negara yang memiliki akses ke Instant Games yang bisa dimainkan melalui Facebook Messenger.

DailySocial berkesempatan bertemu langsung dengan tim Blackstorm yang merupakan salah satu mitra Facebook saat peluncuran Instant Games. Blackstorm, yang telah mendapatkan pendanaan sebesar $33,5 juta (lebih dari 450 miliar Rupiah), merupakan salah satu advokat Post-App Store dengan usahanya membangun platform dan perangkat bagi pengembang untuk membuat layanan di luar toko aplikasi yang selama ini kita kenal.

Karya Blackstorm sebagai showcase adalah EverWing, sebuah permainan kasual dengan kualitas tak kalah dengan yang dibangun menggunakan teknologi native.

Pemahaman Post-App Store

Post-App Store sendiri merupakan istilah digunakan untuk pengembangan layanan menggunakan platform di luar Google Play (Android) dan App Store (iOS). Dominasi, atau duopoli, dua platform ini membuat ketergantungan yang luar biasa dari para pengembang. Para pengusung gerakan Post-App Store berharap mereka bisa secara independen mengembangkan produk dan bertahan dengan model bisnis yang dipilihnya.

Teknologi utama yang digunakan adalah HTML5. Blackstorm percaya bahwa transisi teknologi ini didorong oleh para pengembang, termasuk para peneliti di lab-lab Ilmu Komputer Stanford University.

Sesungguhnya, dipercaya bahwa awalnya iOS sendiri mendukung kehadiran aplikasi berbasis web, namun kehadiran platform native yang lebih unggul dibanding mobile web membuat perkembangannya sempat terhambat.

Menurut Michael Piech dari Blackstorm, teknologi HTML5 yang membentuk ekosistem Post-App Store kini sudah semakin sempurna. Disebutkan sudah ada komponen HTTP2, offline access, push notification, shadow DOM, JITs versi terbaru, dan dukungan real time yang lebih baik menggunakan websocket dan WebRTC. Hal lain adalah perkembangan teknologi WebGL.

Blackstorm berharap teknologi yang diusungnya dapat mengeliminasi perbedaan antara aplikasi native dan yang berbasis HTML5.

HTML5 versus aplikasi native

Michael mengklaim aplikasi yang dibangun dengan teknologi HTML5 saat ini sudah serupa dengan 99% aplikasi native yang ada. Mereka optimis bahwa platform HTML5 memiliki kapabilitas untuk mengeliminasi kebutuhan banyak aplikasi native.

Dari sisi keunggulan, karena HTML5 berbasis di server, tidak diperlukan ruang yang besar untuk menginstalasi atau smartphone berspesifikasi sangat tinggi untuk menjalankan atau memainkan permainan yang dibangun di platform ini, apakah itu menggunakan perangkat iOS, Android, atau yang lainnya. Saat pembaruan pun, pengguna tidak mengalami kesusahan untuk mengunduh ulang.

Michael mengatakan pihaknya percaya bahwa aplikasi bakal secara penuh digantikan fungsinya oleh ekuivalensi HTML5 di masa mendatang.

Kondisi Post-App Store saat ini

Michael menyebutkan gerakan Post-App Store saat ini sudah melewati masa “bayi”. Peluncuran Facebook Instant Games merupakan bukti bahwa teknologi ini sudah siap untuk diadopsi oleh konsumen secara luas dan mudah di-scale.

Pengalaman yang diharapkan diperoleh konsumen adalah “app di dalam app”, seperti WeChat. Go-Jek merupakan contoh aplikasi lokal yang mendukung konsep ini.

Karena nilai konversinya yang bagus berdasarkan pengalaman pengguna, Blackstorm menganggap tidak ada halangan bagi para pengembang untuk tidak mengembangkan produknya menggunakan HTML5 dibandingkan sekedar aplikasi native.