Bulan lalu, tepatnya 24 September 2020, saya memberitakan soal wujud skin dari para tim peserta esports Rainbow Six: Siege yang tergabung dalam program R6 SHARE. Program tersebut membagi tim peserta ke dalam 3 tingkat (tier), dengan masing-masing tier menerima set skin yang berbeda. Tim yang berada di tier 1 mendapat set skin paling lengkap, mulai dari Headgear, Uniform, Weapon Skin, dan Charm di dalam Rainbow Six Siege. Jika Anda cuma ingin satu bagian skin saja, Anda bisa membayar 600 R6 Credits untuk Headgear, 700 R6 Credits untuk Uniform, 500 R6 Credits untuk Charm, dan 300 R6 Credits untuk Weapon. Tapi, Anda juga bisa membeli satu set skin yang dijual seharga 1600 R6 Credit (sekitar US$5). Hasil penjualan skin tak hanya mendukung esports Rainbow Six tapi juga mendukung organisasi esports terkait, dengan sistem bagi hasil dari pemasukan yang didapatkan atas penjualan skin.
Melihat pengumuman ini, saya jadi bertanya-tanya sendiri mengapa sistem ini tidak diterapkan juga di esports lain? Selain bentuk skin-nya yang memang bagus, model seperti ini juga membuat penggemar esports bisa secara langsung mendukung tim yang digemari.
Apakah mungkin bisnis penjualan skin esports (skin berisi/bertemakan turnamen atau tim yang dibuat secara kerja sama dengan pihak terkait), bisa menjadi solusi model bisnis baru yang sama-sama menguntungkan bagi organisasi/tim peserta dan penyelenggara kompetisi? Untuk mencari tahu jawaban atas pertanyaan tersebut, mari coba kita kupas satu per satu terkait potensi skin esports sebagai model bisnis baru.
Mengenal Ragam Bentuk Penjualan Skin Esports
Walaupun Ubisoft baru mengumumkan model R6 SHARE pada September 2020 lalu namun sebenarnya model bagi hasil penjualan skin terbilang menjadi praktik yang cukup umum di ranah esports. Skena esports yang terbilang sebagai mempionirkan penerapan model ini adalah Counter Strike: Global Offensive (CS:GO). Tahun 2014, Valve memperkenalkan item kosmetik bernama “Stickers” yang bisa ditempelkan pada senjata yang jadi favorit Anda.
Setelah diperkenalkan, Stickers pun menjadi bagian dari esports CS:GO. Turnamen pihak ketiga yang ditasbihkan sebagai “Major”oleh Valve akan mendapatkan hak untuk membuat Stickers bergambar turnamen tersebut. Hasil penjualan Stickers tak hanya masuk ke pundi-pundi Valve tetapi juga dibagi ke penyelenggara turnamen. Selain penyelengara turnamen, Stickers juga menyertakan tim esports dan tanda tangan pemain seperti BnTeT dengan hasil penjualannya dibagi kepada pihak-pihak terkait.
Selain CS:GO, Overwatch juga jadi skena esports lain yang menerapkan hal serupa. Pengenalan Overwatch League (OWL) di tahun 2018 cukup menggemparkan skena esports karena mereka menjadi yang pertama dalam memperkenalkan liga esports franchise ala liga olahraga Amerika Serikat, dengan cara penyajian yang hampir serupa. Organisasi esports ternama seperti Cloud9 ataupun Gen.G Esports tidak menggunakan nama mereka sendiri di dalam Overwatch League.
Overwatch League “memaksa” investor liga franchise memulai usaha branding dari awal, dengan membuat nama tim berdasarkan nama kota. Organisasi esports populer tetap terlibat namun pada OWL nama mereka diubah, seperti Gen.G Esports menjadi Seoul Dynasty, NRG Esports menjadi San Francisco Shock, atau Cloud9 menjadi London Spitfire.
Bukan cuma itu, Overwatch League juga menyajikan skin untuk masing-masing tim peserta OWL, yang tersedia lengkap untuk semua Hero. Skin tersebut juga menjadi semacam jersey digital yang akan digunakan oleh pemain pada setiap pertandingan Overwatch League. Setiap skin dijual seharga sekitar US$5 dan sebagian hasil penjualan skin tersebut diterima oleh tim terkait.
League of Legends, salah satu skena esports terbesar di dunia, juga menerapkan model serupa. Namun memang, model yang diterapkan berbeda dengan Overwatch League ataupun CS:GO. Dalam skena League of Legends, skin untuk tim esports dibuat sebagai penghargaan bagi tim yang berhasil menjadi juara World Championship.
Maka dari itu, skin esports di League of Legends menampilkan tim, tema, dan Champion yang berbeda-beda setiap tahunnya tergantung dari karakter serta Champion andalan tim juara tersebut. Tahun 2019 contohnya, FunPlus Phoenix sebagai juara World Championship 2019 diabadikan dalam bentuk skin yang tersedia untuk Gangplank andalan Gimgoon, Lee Sin andalan Tian, Malphite andalan Doinb, Vayne andalan Lwx, dan Tresh andalan Crisp.
Dalam konteks lokal, MLBB juga mulai menerapkan model serupa. EVOS Legends yang berhasil memenangkan M1 World Championship 2019, mendapatkan skin untuk hero Harith sebagai bentuk apresiasi atas kemenangan tersebut. Selain itu, pada 24 September 2020 lalu, Moonton mencoba melanjutkan langkah tersebut dengan menyajikan Battle Emote 8 tim peserta liga franchise MPL Indonesia. Battle Emote dijual seharga 109 diamonds (kira-kira sekitar 30 ribu rupiah) namun Moonton tidak menjelaskan apakah ada sistem bagi hasil atas penjualan Battle Emote ataupun skin tersebut.
Sudah ada beberapa ekosistem esports menerapkan model bagi hasil lewat skin esports, namun bagaimana potensi bisnis terhadap model tersebut? Akankah hal tersebut menjadi tren masa depan bisnis esports?
Peluang Skin Esports Sebagai Model Bisnis Esports di Masa Pandemi
Newzoo sebagai salah satu perusahan riset pasar gaming/esports sempat mengubah prediksi nilai industri esports tahun 2020, dari yang tadinya US$1,1 milllar pada Februari 2020 menjadi 950,3 juta dollar AS pada 7 Oktober 2020 lalu. Perubahan tersebut bukan yang pertama. Newzoo sempat mengubah angka prediksi menjadi US$1,059 miliar pada April 2020, lalu direvisi menjadi 973,9 juta dollar AS pada Juli 2020.
Perubahan prediksi nilai industri esports tersebut berubah karena pandemi membuat banyak event esports tatap muka jadi batal sehingga tidak ada peluang pemasukan dari penjualan tiket. Dalam pembahasan tersebut Newzoo juga menyebutkan soal peluang pemasukan merchandise yang juga menurun, dari diprediksi sebesar 76,2 juta dollar AS menjadi 52,5 juta dollar AS.
Newzoo mengatakan alasan turunnya prediksi pemasukan dari penjualan merchandise merupakan efek domino atas banyaknya event offline yang dibatalkan. Asumsinya adalah, kebanyakan penggemar membeli merchandise tim secara impulsif (jersey, syal, atau apapun) karena terhanyut dalam euforia pertandingan offline.
Asumsi tersebut mungkin tidak sepenuhnya salah karena salah satu buktinya dapat kita lihat di ekosistem lokal lewat laporan Chief Editor Hybrid.co.id, Yabes Elia. Dalam laporan tersebut, Yabes Elia menemukan bahwa EVOS Esports berhasil meraup 150 juta rupiah dari penjualan merchandise pada event offline M1 World Championship 2019, dan MPL ID Season 4.
“Item-nya sold–out semua di 2 event tadi (MPL ID S4 dan M1). Kalau enggak kehabisan, mungkin bisa sampai Rp200 juta.” Tutur Yansen Wijaya selaku Merchandise Manager EVOS Esports kepada Yabes Elia dalam laporan tersebut.
Tapi, kejadian tersebut terjadi di tahun 2019. Tahun 2020 pandemi terjadi sehingga banyak turnamen tatap muka jadi dibatalkan. Dalam konteks lokal, MPL ID berubah format menjadi online. Begitu juga dengan Mobile Legends Southeast Asia Cup (MSC) 2020 yang dibatalkan.
Dampak atas hal tersebut, tim seperti EVOS Esports jadi tidak bisa berjualan merchandise secara offline. Ya… penggemar sih bisa saja membeli merchandise tim esports secara online. Tapi, rasanya kurang puas bukan jika mengenakan merchandise tersebut di rumah saja tanpa ditunjukkan di pertandingan esports offline?
Maka dari itu, skin esports seperti Battle Emote atau jersey digital tim esports seperti yang ada di Rainbow Six atau Overwatch League bisa menjadi alternatif potensi untuk jadi sumber pemasukan baru tim esports. Perubahan tersebut juga dirasakan dan dibahas dalam analisis Newzoo pada 25 Februari 2020 lalu. Dalam analisis tersebut, Newzoo melakukan perubahan pada sumber pemasukan ekosistem esports dan menambahkan kelompok “Digital” dan Streaming.
Dalam analisis tersebut, Newzoo menjelaskan bahwa pemasukan Digital adalah termasuk penjualan skin atau in-game items yang berkaitan dengan organisasi esports. “Penggemar dan para pemain atas game tersebut bisa membeli skin untuk menunjukkan kegemarannya terhadap suatu tim seraya menciptakan pemasukan bagi tim terkait.” Tulis Newzoo membahas soal sumber pemasukan ekosistem esports terbaru.
Lewat laporan tersebut, baik versi bulan Feburari ataupun Oktober, Newzoo memprediksi bahwa sumber pemasukan dari sumber Digital adalah sebesar 21,5 juta dollar AS (sekitar Rp317 miliar), meningkat sekitar 60,9% dibanding tahun sebelumnya pada bulan yang sama.
Jumlah tersebut memang bukan yang terbesar, karena berada di peringkat ke-5 dibanding dengan sumber pemasukan lain di ekosistem esports. Sumber pemasukan terbesar masih dipegang oleh Sponsorship, dengan jumlah sebesar 584,1 juta dollar AS.
Apalagi, selain keuntungan secara materi, skin esports (seperti yang ada di Overwatch League) juga memberikan benefit bagi tim esports untuk dapat melakukan branding lebih gencar.
Mengapa demikian? Hal tersebut mengingat sebuah turnamen esports yang lebih banyak menyajikan tayangan in-game daripada menayangkan sang pemain itu sendiri. Dalam konteks olahraga, tim yang masuk liga utama berarti punya kesempatan lebih banyak untuk melakukan branding karena jersey beserta segala sponsor yang tertempel di sana tampil dalam tayangan pertandingan yang berjalan setidaknya 45 menit x 2 babak.
Bagaimana dengan esports? Mari coba kita kira-kira dengan melihat MPL Indonesia. Dalam MPL ID, setiap pertandingan biasanya menyajikan 4 hal, pertama proses drafting dengan menunjukkan kondisi pemain yang sedang berdiskusi, kedua pertandingan yang hanya memperlihatkan kondisi in-game saja, ketiga suasana kemenangan tim, yang ditutup dengan post-match interview yang kembali menampilkan sang pemain.
Durasi proses drafting kurang lebih sekitar 5-10 menit. Selama proses tersebut, pemain yang sedang diskusi diperlihatkan dengan menggunakan jersey, itu pun secara berganti-gantian antara tim yang bertanding. Lalu fase pertandingan biasanya berjalan dengan durasi sekitar 15-25 menit, tergantung seberapa ketat persaingan antar 2 tim. Pasca pertandingan MPL ID biasanya akan menunjukkan suasana kemenangan tim yang bertanding dan post-match interview, dengan total durasi sekitar 10-15 menit.
Berdasarkan urutan tayangan tersebut, berarti MPL ID menyorot pemain yang mengenakan jersey beserta para sponsor yang tertempel selama sekitar 15-25 menit. Sementara 15-25 menit sisanya tim esports jadi minim branding karena sarana branding di dalam game bagi tim esports memang minim, hanya overlay logo serta nama tim di bagian atas tayangan dan tag nama tim yang ada di depan nickname para pemain.
https://youtu.be/5gcxQDuLRbg?t=4599
Untungnya sekarang sudah ada Battle Emote yang kebetulan memang rajin digunakan oleh para pemain untuk taunting sehingga branding tim esports peserta liga franchise MPL bisa jadi lebih maksimal. Namun sponsor tim terkait yang hanya mendapatkan logo di jersey terbilang jadi kurang maksimal karena hanya tampil di 15-25 menit ketika fase drafting dan sorotan momen kemenagan. Tetapi untungnya juga MPL menyajikan talkshow bertajuk MPL Quickie yang memberi tim lebih banyak waktu menampilkan jersey beserta logo sponsor yang tertempel.
Namun, itu hanya baru menghitung dari apa yang ditayangkan MPL ID saja. Di luar itu, para organisasi esports sebenarnya sudah melakukan branding masing-masing terhadap sponsor-sponsor yang mereka miliki entah lewat konten video ataupun media sosial. Terlepas dari itu, penambahan skin esports/branding in-game memiliki potensi untuk bisa memaksimalkan, menarik sponsor baru, dan bahkan menciptakan sumber pemasukan baru bagi liga.
Sejauh pembahasan ini, kehadiran skin esports bisa dibilang banyak untungnya bagi tim esports. Tetapi keputusan dan pembuatan skin esports tetap dipegang oleh pihak pertama, yaitu developer/publisher game terkait. Bagaimana potensi skin esports sebagai sumber pemasukan baru bagi sang developer? Bikin untung atau justru bikin buntung?
Skin Esports Menguntungkan Tim Esports, Tapi Bikin Buntung Developer?
Satu hal yang pasti adalah menciptakan sebuah konten di dalam game membutuhkan waktu serta tenaga yang tidak sedikit. Laporan Business Insider tahun 2019 lalu mengatakan bahwa game developer kadang dipaksa untuk bekerja lembur secara intens, yang populer disebut sebagai “crunch culture“. Permasalahan Crunch Culture sempat menyeruak pada tahun 2019 lalu, ketika banyak pekerja di industri game di barat bersuara soal budaya kerja di perusahaan game yang toxic.
Crunch Culture mungkin tidak terjadi di semua perusahaan game. Tetapi dari kasus tersebut kita bisa belajar bagaimana pembuatan sebuah kontengame bisa membuat pekerja kreatif sampai batuk darah atau mengalami trauma berat, pada tingkat yang paling ekstrim.
Salah satu pembahasan yang bisa dijadikan gambaran terhadap bagaimana pembuatan konten in-game (termasuk skin esports) berdampak kepada para pekerjanya adalah dari Epic Games mengasuh Fortnite. Kalau Anda sedikit banyak mengikuti perkembangan Fortnite, Anda mungkin tahu bagaimana game Battle Royale besutan Epic Games tersebut terkenal punya banyak sekali ragam konten menarik yang bisa dibeli ataupun dinikmati di dalam game.
Berjualan barang digital dalam bentuk skin memang terbukti menguntungkan bagi Fortnite dan Epic Games. Laporan Venture Beat bulan Juni 2020 mengatakan, bahwa Epic Games secara umum berhasil meraup pemasukan sebesar 4,2 triliun dollar AS. Sementara Fortnite sendiri berhasil mencetak pemasukan sebesar 400 juta dollar pada bulan April 2020.
Namun, biaya atas kemakmuran tersebut adalah “kerja rodi” yang dilakukan oleh para pegawainnya. Laporan Polygon tahun 2019 mengatakan jika beberapa pekerja harus bekerja sampai 70 jam per pekan (jam kerja normal adalah sekitar 40 jam per pekan), dan bahkan ada beberapa pekerja lain yang harus bekerja sampai dengan 100 jam per pekan.
Salah satu alasan atas hal tersebut adalah karena Fortnite berusaha menyajikan konten in-game (skin atau update apapun) secepat mungkin, sesering mungkin. Mengusung model bisnis Games as a Service membuat Epic Games punya keinginan membuat Fortnite terus relevan bagi para pemainnya.
Agar tetap relevan, game harus terus menyertakan sesuatu yang baru, entah itu konten skin, pembaruan di dalam game, ataupun konser virtual. Konten skin dan pembaruan dalam game tersebut tentunya dibuat oleh pekerja manusia, yang berdasarkan laporan Polygon, dieksploitasi oleh perusahaan.
Selain itu, hal lain yang perlu diingat adalah esports dan olahraga tradisional memang punya satu perbedaan jelas, yaitu kehadiran pihak pertama sebagai pemilik dari permainan yang dipertandingkan. Dalam olahraga tradisional seperti sepak bola, misalnya, tidak ada orang atau perusahaan yang memiliki permainan sepak bola. Permainan sepak bola akan terus ada selamanya, selama masih ada yang main dan ingat peraturan olahraga permainan tersebut.
Tetapi dalam esports, suatu permainan bisa saja mati bila yang maha kuasa (developer) telah berkehendak, walaupun masih banyak orang yang ingin main game tersebut. Contoh nyatanya pun ada, yaitu Vainglory, yang dimatikan secara halus lewat perubahan sistem menjadi Community Edition walau sebenarnya masih cukup banyak orang ingin memainkan game tersebut.
Bahkan jika bicara dalam konteks esports, pengembang game sebenarnya juga bisa saja fokus berjualan game tanpa menghadirkan esports kalau mereka mau, seperti kasus Nintendo dengan komunitas esports Super Smash Bros. Jangankan Nintendo, Valve pemilik Dota 2 yang jelas-jelas berhasil mengumpulkan 40 juta dollar AS dari komunitas berkat iming-iming esports bahkan pernah mempertanyakan soal apa pentingnya esports dan kehadiran tim yang bertanding. Hal tersebut terungkap lewat tulisan shoutcaster Dota 2 asal Amerika Serikat, Kyle Freedman yang menceritakan pertemuan antara Valve dengan tim-tim peserta The International 9. Dalam pertemuan tersebut, Valve bertanya, “kami tidak mengerti, apa yang dilakukan oleh tim (esports) terhadap Dota 2. Kenapa kami membutuhkan kalian?”
Jadi jika ditanya bagaimana potensi skin esports sebagai model bisnis baru? Mungkin ada, apa yang dilakukan Ubisoft lewat program R6 SHARE mungkin bisa dibilang sebagai bentuk usaha Ubisoft menguji potensi tersebut. Tapi penentuan apakah suatu konten harus ada atau tidak di dalam game, tetap ada di tangan developer yang tentunya harus memikirkan apakah biaya, waktu, serta tenaga yang digunakan untuk membuat sebuah skin bisa setimpal hasilnya.