Traveloka akan membawa layanan paylater ke Vietnam dan Thailand pada tahun ini

Potensi Traveloka PayLater Bersaing di Pasar Vietnam dan Thailand

Kemunculan paylater atau buy now pay later (BNPL), atau yang di Indonesia dikenal sebagai paylater, yang hadir di dalam platform digital berupaya mendefinisikan ulang persepsi “utang”.

Dalam suatu wawancara, Executive VP Products and Innovation Asia Pacific Mastercard Sandeep Malhotra menerangkan, Covid-19 mampu mengakselerasi transformasi digital di berbagai sektor, termasuk layanan e-commerce tanpa terkecuali.

Transaksi digital beralih secara cepat dan mulus, membuka peluang besar bagi merchant dan issuer yang menawarkan fleksibillitas kepada konsumen untuk membayar nanti saat melakukan pembayaran di toko dan platform online.

“Menggunakan cicilan untuk melakukan pembelian saat ini menjadi lebih populer bagi orang-orang di seluruh dunia yang menginginkan pilihan pembayaran yang lebih luas, kemampuan untuk mengelola arus kas dengan lebih baik, dan kenyamanan menggunakan uang mereka sendiri untuk mengatur pembayaran, sekaligus untuk peralatan rumah tangga, perangkat TV, dan berbagai item lain yang lebih besar,” terangnya Malhotra.

Di negara maju, popularitas BNPL menjamur di banyak negara. Di Amerika Serikat, misalnya, disebutkan BNPL telah menyumbang $24 miliar pada tahun lalu dari total transaksi e-commerce. Angka ini tumbuh drastis daripada volume kartu kredit tradisional. Diproyeksikan transaksi BNPL di seluruh dunia tembus $350 miliar hingga 2025.

Inisiasi BNPL dipionirkan startup yang berada di negara Barat, seperti Klarna (Swedia), Affirm (Amerika Serikat), dan Afterpay (Australia). Di negara-negara Asia Tenggara sendiri, dengan tingkat penetrasi akses produk keuangan yang masih rendah, pemain BNPL kian memberikan warna.

Dalam perjalanannya Asia Tenggara, memiliki sejumlah champion di segmen BNPL dan hadir di lebih dari satu negara. Beberapa nama adalah Akulaku, Kredivo, Atome, Home Credit, Hoolah, OctiFi, Oriente, Pace, dan Pine Labs.

Indonesia, Malaysia, dan Filipina menjadi negara sasaran para pemain di atas.  Thailand dan Vietnam menjadi negara tersisa dengan populasi pemain BNPL yang minim. Singapura tidak masuk dalam radar mengingat posisinya yang dominan di semua aspek ekonomi dibanding negara tetangganya.

Saat ini, Thailand baru dihuni oleh Pace dan Pine Labs, sementara Vietnam dihuni oleh Akulaku, Atome, dan Home Credit. Pemain lain, seperti Hoolah, Oriente, dan Pine Labs, sedang mempersiapkan kehadirannya.

Traveloka, yang memiliki produk BNPL di Indonesia, berencana memboyong layanannya ini ke Thailand dan Vietnam dalam waktu dekat. Mengutip dari Reuters, kehadiran BNPL diharapkan dapat mendongkrak transaksi perjalanan domestik di kedua negara tersebut, mengingat keduanya telah berhasil melalui melampaui level pra-Covid-19.

Kondisi ekonomi di sana merefleksikan kinerja Traveloka yang membaik, terutama di bisnis perjalanan yang diklaim sudah mencetak untung pada akhir tahun lalu. “Rencananya adalah berinvestasi di fintech secara besar-besaran untuk memungkinkan lebih banyak konsumen melakukan perjalanan di kawasan ini,” kata Presiden Traveloka Caesar Indra.

Untuk mewujudkan wacana tersebut, perusahaan sedang berdiskusi dengan calon mitra institusi lokal di kedua negara tersebut.

Traveloka PayLater, yang merupakan produk Caturnusa Finance Sejahtera Finance, juga bermitra dengan Danamas, anak usaha Grup Sinarmas. Indra mengklaim, sejak dirilis dua tahun lalu, layanannya telah memfasilitasi lebih dari enam juta pinjaman.

DailySocial pernah membuat ulasan bagaimana memandang Traveloka (baca: Caturnusa) sebagai perusahaan fintech. Dengan besarnya ticket size belanja produk akomodasi, hal ini menjadi sumber bisnis yang bagus buat perusahaan.

Kondisi di Vietnam dan Thailand

Dalam suatu laporan disebutkan, Singapura, Indonesia, Vietnam, dan Thailand adalah empat negara yang paling menjanjikan buat industri p2p lending. Singapura bisa dibilang pusat regional terkuat di kawasan ini.

Vietnam kaya akan inovasi dan jumlah perusahaan rintisan dari negara tersebut telah meningkat secara eksponensial selama beberapa tahun terakhir. Salah satu pasar yang harus diperhatikan. Sementara Indonesia adalah rumah bagi banyak unicorn dan startup yang menjanjikan dan Thailand adalah penghasil bakat dan inovasi teknologi yang kuat.

Faktor pendorong lainnya, dibalik menariknya Thailand dan Vietnam, selain karena pemain yang masih sedikit, juga potensi adopsi digital yang terus tumbuh. Laporan e-Conomy 2020 menyebutkan, Thailand memiliki pertumbuhan 30% konsumen baru yang berkontribusi terhadap layanan ekonomi digital. Diprediksi GMV dari negara tersebut tumbuh 25% menjadi $53 miliar pada 2025 mendatang dari posisi $18 miliar di 2020.

Sementara Vietnam mencatatkan pertumbuhan 41% konsumen baru yang menggunakan layanan digital sepanjang pandemi. GMV diestimasi tumbuh 19% menjadi $52 miliar pada 2025 dari posisi tahun lalu sebesar $14 miliar.

BNPL sebenarnya bukan konsep baru. Secara konvensional, pengalaman bayar cicilan fleksibel adalah paket yang sudah umum hadir di kartu kredit yang diterbitkan bank. Namun pengalaman tersebut mengharuskan konsumen memiliki rekening bank dan lolos skoring kredit sebelum memiliki kartu kredit.

Metode tersebut membuat besarnya kesenjangan antara unbanked dan underbanked di kawasan ini. Menurut laporan Bain & Company di 2019, lebih dari 70% orang dewasa (sekitar 450 juta orang) masuk ke dalam dua kategori tersebut.

BNPL mengambil metode skoring yang berbeda untuk menyasar pengguna tanpa harus memiliki riwayat kartu kredit. Alhasil dua kategori yang tadinya tidak masuk radar perbankan kini jadi incaran para pemain BNPL, salah satunya Traveloka.

Menurut laporan National Financial Supervision Commission, pinjaman konsumtif di Vietnam berkembang pesat sejak 2015 dengan tingkat pertumbuhan 65% pada tahun 2017 dibandingkan dengan 50,2% pada tahun sebelumnya, persentase pinjaman konsumen dalam total kredit naik menjadi 18% pada tahun 2017 dari 12,3% pada tahun 2016.

Di balik itu, meski sebagian besar masyarakat Vietnam paham teknologi (84% dari populasi adalah pengguna smartphone pada akhir 2017), namun proses mendapatkan pinjaman sebagian besar dilakukan secara manual dan akibatnya, memakan waktu setidaknya 4-5 hari.

Menurut McKinsey, hingga akhir 2019, mayoritas pemain BNPL di Vietnam – delapan dari 16 perusahaan – dimiliki oleh atau bermitra dengan bank dengan pangsa pasar 60%, dipimpin oleh FE Credit, yang memegang hampir 50 persen. Sisanya, diisi pemain non bank yang mulai ramai dengan persentase 25%.

“Bisnis kredit konsumer juga semakin menjadi penyedia utama keuangan tanpa jaminan untuk segmen pelanggan yang secara tradisional tidak akan dilayani oleh bank dan yang harus menggunakan pemberi pinjaman uang,” kata Partner McKinsey & Co. Sumit Popli.

McKinsey juga menemukan bahwa Vietnam memiliki laba atas ekuitas (ROE) yang jauh lebih tinggi untuk kredit konsumen, sebesar 38% dengan margin yang meningkat pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata ASEAN, pada 15%-25%. Selain itu, pangsa pinjaman konsumer dalam total pinjaman Vietnam hanya sekitar 12%, dibandingkan dengan 34% di ASEAN dan 40%-50% di negara-negara maju.

Negara ini sedang bergerak dari fase jaminan tanah ke pinjaman konsumen yang lebih profesional, dengan pemain membangun tim manajemen profesional dan kapabilitas kelembagaan dan mengadopsi infrastruktur digital dan teknologi mutakhir.

Cara yang paling populer untuk perusahaan asing yang ingin masuk ke pasar keuangan Vietnam adalah dengan mengakuisisi saham di bank lokal atau membeli perusahaan keuangan alih-alih mendirikan perusahaan sendiri. Pasalnya, pembiayaan konsumen mengharuskan pemain memiliki pemahaman yang mendalam tentang pasar lokal dan kapabilitas operasional, yang hanya dapat dibawa oleh mitra lokal.

Masataka Yoshida, Senior Managing Director, Head of the Cross-Border Division, and CEO Vietnam Recof Corporation mengatakan, “Mendirikan perusahaan keuangan yang benar-benar baru di Vietnam akan menimbulkan banyak kesulitan hukum dan prosedural, sementara bekerja sama dengan mitra domestik memungkinkan investor asing masuk ke Vietnam dengan lebih cepat dan mudah.”

Kondisi tak jauh berbeda ditunjukkan Thailand. Pinjaman konsumtif baru menyumbang 0,2% dari total pinjaman ritel di industri perbankan Thailand, meskipun ada potensi untuk pertumbuhan lebih lanjut.

Di satu sisi, tantangan para pemain startup fintech di sini adalah mencari cara untuk memanfaatkan database lembaga keuangan mapan untuk skoring kredit. Otoritas Thailand secara hukum melarang startup menggunakan fasilitas berbagi data kredit.

Hal ini menghambat para pekerja lepas, wiraswasta, karyawan, yang belum pernah mendapat akses keuangan dari perbankan karena pendapatannya yang tidak konsisten. Karena alasan inilah sebagian besar perbankan memilih untuk menawarkan pinjaman kepada peminjam yang memiliki riwayat kredit yang baik atau klien baru yang berpenghasilan tetap dengan laporan bank yang diverifikasi.

Penghuni pasar ini dikuasai bank komersial karena punya basis data pelanggan yang besar. Persetujuan pinjaman pada dasarnya masih berdasarkan data konvensional. Dengan kata lain data pendapatan atau laporan bank yang mencerminkan kemampuan membayar utang pelanggan.

Karena kewewenangan ini, perbankan bermitra dengan sekutu bisnis dan penyedia layanan lainnya pada platform online terkemuka, seperti marketplace dan platform pengiriman makanan online besar dengan jaringan toko dan restoran yang luas.

Bank akhirnya mendapatkan akses ke data alternatif dari kelompok sasaran baru calon pelanggan untuk analisis pendapatan yang lebih efisien, misalnya omset penjualan, pesanan pembelian, dan pengembalian dana produk, bersama dengan ulasan produk dan layanan.


*Foto header: depositphotos.com