Strategi Publisher dan Developer Lokal untuk Pasarkan Game di Pasar Global

Di era serba digital ini, batas antar negara semakin mengabur. Dengan internet, Anda dapat terhubung dengan hampir semua orang di seluruh dunia. Dalam industri game, keberadaan platform distribusi game digital seperti Steam dan Google Play memberikan keuntungan tersendiri. Ini memungkinkan para developer untuk bisa menyasar audiens global. Semakin besar pasar yang ditargetkan, semakin besar pula potensi pemasukan yang didapatkan. Tentu saja, ada berbagai masalah yang harus bisa diselesaikan oleh pihak developer jika mereka ingin game-nya sukses di pasar global.

Apa yang Harus Diperhatikan Ketika Menargetkan Audiens Global?

Melalui platform seperti Steam atau Play Store dan App Store, developer bisa langsung menerbitkan game buatan mereka ke pasar global selama mereka menggunakan bahasa Inggris dalam game, ungkap CEO Toge Productions, Kris Antoni saat dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat. Dia menambahkan, “Tapi, untuk beberapa negara yang mayoritas penduduknya tidak berbahasa Inggris, misal Tiongkok, Jepang, Korea, Brazil, dan lain sebagainya, kita perlu melakukan pelokalan. Tentu, biayanya tidak murah, tapi dapat dilakukan bertahap.” Ketika ditanya tentang apa yang harus diperhatikan ketika developer hendak menyasar audiens global, dia menjawab, “Perhatikan target market-nya. Negara/region apa saja yang mau kita tuju, dibandingkan dengan biaya pelokalan dan peraturan atau kultur.”

Senada dengan Kris, CEO dan Pendiri Digital Happiness, Rachmad Imron berkata bahwa sekarang, developer lokal dapat menyasar pasar global dengan lebih mudah. “Dalam konteks komoditi digital global, untuk distribusi, tinggal centrang saja di negara mana saja yang mau kita rilis. Yang membedakan adalah apresiasi dari jumlah revenue yang bisa didapatkan dari market global,” ujarnya.

“Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah pelokalan konten, yang bisa meliputi script text, penamaan karakter, atau bahkan sampai di perancangan desainnya. Dicari benang merahnya yang bersifat global, sehingga game bisa dimengerti secara universal,” kata Rachmad. Dia memberikan contoh dalam penamaan Linda, tokoh utama DreadOut, game horror buatan Digital Happiness. “Nama Linda yang kita gunakan adalah nama yang universal dan pengucapannya pun hampir semuanya sama,” jelasnya.

Digital Happiness sengaja memilih nama Linda yang universal. |Sumber: Steam
Digital Happiness sengaja memilih nama Linda yang universal. |Sumber: Steam

Salah satu keuntungan menyasar pasar global adalah potensi pemasukan yang lebih besar, terutama jika developer membuat game PC atau konsol premium. Memang, Indonesia merupakan pasar yang cukup besar dengan populasi mencapai lebih dari 270 juta orang. Meskipun begitu, konsumen Indonesia cenderung sensitif terhadap harga. Selain itu, masyarakat di negara berkembang juga memiliki daya beli yang lebih kuat. Jadi, developer bisa mematok harga yang lebih tinggi untuk game-nya, selama mereka dapat memberikan kualitas yang memang memuaskan.

“Dikarenakan global market khususnya Tiongkok, AS, Rusia, Eropa, ekosistem industrinya telah matang puluhan tahun jauh di depan kita, daya beli masyarakat mereka pun tinggi sehingga mendongkrak revenue kita secara umum,” ujar Rachmad. Pada saat yang sama, dia menjelaskan, menyasar pasar global juga akan meningkatkan biaya operasi developer. Alasannya, karena mereka harus menyediakan dana untuk proses pelokalan game.

Menargetkan pasar global memang menggiurkan. Sayangnya, potensi pemasukan yang besar itu hanya bisa direalisasikan jika sebuah developer bisa mengatasi berbagai tantangan yang mereka hadapi.

Tantangan Menyasar Pasar Global?

Menurut Rachmad, salah satu tantangan yang dihadapi developer lokal ketika hendak masuk ke pasar global adalah persaingan ketat dengan para developer yang sudah lebih besar dan berpengalaman. “Kita harus bersaing dengan developer besar, yang punya ratusan pekerja dan dana ratusan juta dolar. Dibandingkan dengan kita, ya kayak bumi dan langit,” ujar Rachmad sambil tertawa.

“Semua orang bisa membuat game, tapi belum tentu kita bisa bersaing dengan developer-developer besar,” kata Rachmad. Menurutnya, bagi developer Indonesia yang enggan untuk mencoba menargetkan pasar global, mereka bisa memilih untuk fokus untuk menguasai pasar domestik. “Menarik apabila kita bisa menguasai pasar lokal. Tampaknya, kita juga nggak perlu go global, seperti yang terjadi di beberapa negara seperti Korea Selatan, Tiongkok, dan Jepang,” dia bercerita.

Coffee Talk adalah salah satu game terbaru Toge. | Sumber: Steam
Coffee Talk adalah salah satu game terbaru Toge. | Sumber: Steam

Meskipun begitu, menurut Kris, terlepas apakah developer menyasar pasar global atau hanya menargetkan pasar domestik, mereka tetap harus bersaing dengan developer/publisher raksasa. Memang, berbeda dengan Tiongkok, pemerintah Indonesia tidak membatasi developer asing yang hendak meluncurkan game buatannya di Indonesia. Di Tiongkok, jika developer asing ingin meluncurkan game di negara Tirai Bambu tersebut, mereka harus bekerja sama dengan perusahaan lokal.

Namun, Kris setuju, persaingan dengan game-game internasional merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi developer lokal yang ingin menerbitkan game-nya di tingkat global. “Kita sekarang melakukan seleksi yang cukup ketat untuk memilih game yang akan kita kembangkan dan publish. Hanya game yang memiliki keunikan yang kuat, hook dan value proposition yang kuat yang akan kita pasarkan,” ungkapnya. Lebih lanjut, Kris bercerita, tantangan lain yang harus dihadapi oleh developer lokal adalah visibility dan market reach.

“Gimana caranya agar game Indonesia bisa dikenal di luar negeri? Kita berjuang keras untuk mengirimkan game-game kita ke kompetisi dan event eksibisi internasional. Dari situ, kita pelan-pelan membangun kredibilitas dan jaringan,” ujar Kris.

Strategi Dalam Menargetkan Pasar Global

Menurut laporan dari PCGamesN, pada 2019, ada 8.290 game yang dirilis di Steam. Tidak mudah bagi developer untuk membuat game-nya tampil menonjol di antara ribuan game tersebut. Karena itu, marketing menjadi sangat penting. Kris bercerita, di Toge, ketika mereka hendak memasarkan game di pasar global, mereka akan melakukan marketing secara digital. Dengan digital marketing, Toge dapat memperluas jangkauan mereka dan menekan pengeluaran, mengingat biaya marketing digital relatif lebih murah jika dibandingkan dengan marketing tradisional.

Selain itu, Toge juga melakukan pelokalan konten. Namun, terkait hal ini, Kris berkata bahwa Toge biasanya tidak mengubah isi konten game. “Pelokalan yang kita lakukan kebanyakan hanya sebatas bahasa,” ujarnya saat ditanya strategi Toge untuk masuk ke negara-negara yang memiliki budaya dan kebiasaan masing-masing.

Pelokalan yang dilakukan oleh Toge biasanya hanya sebatas bahasa. | Sumber: Steam
Pelokalan yang dilakukan oleh Toge biasanya hanya sebatas bahasa. | Sumber: Steam

Saat menyasar audiens global, developer bisa meluncurkan game-nya di seluruh dunia secara serentak. Namun, ada juga developer yang memilih untuk merilis game-nya di kawasan atau negara tertentu terlebih dulu, seperti yang Niantic lakukan dengan Pokemon Go. Menurut Rachmad, jika developer mengincar pasar global dan memiliki dana yang memadai, mereka sebaiknya meluncurkan game mereka secara serentak di seluruh dunia pada berbagai platform sekaligus. Idealnya, developer juga sudah menyiapkan opsi bahasa selain bahasa Inggris, khususnya bahasa Mandarin, Rusia, Prancis, Italia, Jerman, dan Spanyol.

“Dalam kasus DreadOut 1 dulu, kita memang menyasar langsung global. Indonesia sangat membantu dalam memviralkannya. Tapi, angka sales (di Indonesia) sangat jauh dibandingkan dengan Amerika Serikat,” cerita Rachmad. “Untuk DreadOut 2, kami setengah-setengah. Kabar baiknya, pengguna asal Indonesia saat ini menempati urutan ke-2 pengguna berbayar, mengalahkan pemain AS yang di DreadOut 1 menempati peringkat pertama.”

Taktik Ekspansi Global oleh Developer Asing

Masing-masing developer memiliki strategi yang berbeda ketika mereka menyasar audiens global. Bagi Activision, ketika mereka menyasar pasar global dengan Call of Duty: Mobile, mereka tidak hanya berusaha untuk melokalkan konten, tapi juga berusaha untuk memastikan konten dalam game tetap relevan dengan para pemain, tak peduli di negara mana mereka tinggal. Jenny Taran, Head of Growth, Call of Duty Mobile at Activision menjelaskan, untuk membuat game terasa familier bagi pemain, Activision biasanya membuat tim lokal, yang mencakup customer support, media sosial, marketing, dan lain sebagainya, seperti dikutip dari VentureBeat.

Taran bercerita, saat hendak menargetkan pasar global, Activision memang akan melakukan pelokalan sejak awal. “Semua channel untuk akuisisi pemain dan konten kreatif dibuat secara khusus menargetkan kawasan tertentu,” ujarnya. “Terkait pelokalan, salah satu hal penting yang pelajari adalah untuk fokus pada video gameplay dari game kami.” Dia menambahkan, hal penting lainnya adalah untuk menjelaskan gameplay dengan cara yang memang dipahami dengan masyarakat di sebuah negara atau kawasan.”

Sejak awal, Activision menargetkan audiens global dengan COD:M. | Sumber: Actvision
Sejak awal, Activision menargetkan audiens global dengan COD:M. | Sumber: Actvision

Jika dibandingkan dengan developer lokal, Activision memiliki dana yang lebih besar. Namun, itu bukan berarti mereka bisa menghambur-hamburkan uang begitu saja. Ekspansi global tidak murah. Tidak hanya uang, developer juga harus siap untuk menyediakan waktu dan sumber daya ketika mereka hendak menyasar audiens global. Karena itu, Activision biasanya tidak sembarangan mencoba untuk masuk ke sebuah negara. Sebagai gantinya, mereka akan fokus pada pasar yang memang memiliki potensi besar.

Lalu, bagaimana Activision menentukan pasar mana yang harus mereka masuki? Taran menjelaskan, Activision memiliki tim analitik dan konten kreatif di seluruh dunia. Dari sini, mereka akan mencoba untuk mengetahui besar potensi pasar sebuah negara. Setelah itu, mereka akan memfokuskan sumber daya mereka — uang, pekerja, dan waktu — berdasarkan besarnya potensi pasar dari satu negara. Sementara strategi yang mereka gunakan akan ditentukan berdasarkan apa yang mereka butuhkan. “Jika ada penyalahgunaan sumber daya karena kurangnya proses otomasi, maka data dan analitik data akan menjadi prioritas kami. Jika ada banyak ide kreatif yang belum direalisasikan, maka prioritas kami adalah mengembangkan konten kreatif,” ujarnya.

Kesimpulan

Dulu, game biasanya dikemas dalam bentuk fisik, baik berupa cartridge atau kepingan CD. Namun, sekarang, seiring dengan semakin cepatnya koneksi internet dan semakin tingginya penetrasi internet, semakin banyak juga orang yang memilih untuk membeli game melalui platform distribusi digital, seperti Steam dan Epic Store. Bagi developer game, ini berarti mereka dapat menyasar audiens global dengan lebih mudah.

Sebagai negara dengan populasi terbanyak ke-4 di dunia, pasar di Indonesia memang sudah cukup besar. Meskipun begitu, menyasar pasar global tetap menawarkan potensi pemasukan yang lebih besar. Pasalnya, sejumlah negara memiliki industri game yang lebih matang dan daya beli masyarakat yang lebih tinggi.

Hanya saja, untuk bisa menembus pasar global, developer juga harus bisa menawarkan game yang memang menarik bagi gamer internasional. Di sinilah pentingnya pelokalan. Biasanya, pelokalan tidak lebih dari mengganti bahasa, khususnya untuk negara-negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Namun, ada juga developer yang membuat tim lokal untuk memastikan bahwa game mereka dapat diterima dengan baik. Pada akhirnya, tingkat pelokalan yang dilakukan oleh developer tergantung pada dana yang mereka miliki.

Sumber header: DailySocial