Qapita Ekspansi ke Indonesia

Qapita Tutup Pendanaan Seri A 213 Miliar Rupiah, Difokuskan untuk Ekspansi ke Indonesia

Startup legaltech asal Singapura Qapita mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $15 juta (lebih dari 213 miliar Rupiah) yang dipimpin East Ventures melalui Growth Fund dan Vulcan Capital. NYCA dan para investor terdahulu, meliputi MassMutual Ventures, Endiya Partners, dan beberapa angel investor, termasuk Alto Partners, para mitra dari Northstar Group dan K3 Ventures, turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Sebelumnya, Qapita mengumpulkan dana sebesar $5 juta di babak Pra-Seri A dan $2,25 juta di tahap awal, masing-masing pada April 2021 dan September 2020. Perusahaan telah mengumpulkan total pendanaan sebesar $22,25 miliar sejak pertama kali berdiri.

Qapita adalah perusahaan legaltech yang membantu perusahaan tertutup seperti startup untuk mengelola pencatatan struktur kepemilikan saham perusahaan (dikenal sebagai tabulasi permodalan/cap table) dan rencana kepemilikan saham karyawan (ESOP). Startup ini didirikan pada September 2019 oleh CEO Ravi Ravulaparthi, COO Lakshman Gupta, dan CTO Vamsee Mohan.

Mereka bertiga melihat peluang untuk melakukan digitalisasi dan membuat pasar modal privat lebih efisien. Para pendiri berasal dari latar belakang profesi yang beragam dengan pengalaman lebih dari 20 tahun bekerja sebagai bankir, investor, dan ahli teknologi di Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Co-founder & CEO Qapita Ravi Ravulaparthi menjelaskan, perusahaannya akan menggunakan dana segar ini untuk perluasan operasionalnya di Indonesia, termasuk memperkuat basis kliennya di Singapura dan India. Menurutnya, Indonesia adalah salah pasar swasta dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Sekarang merupakan waktu yang tepat untuk membangun sistem operasi dan rel transaksi untuk kepemilikan perusahaan swasta di wilayah ini.

“Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan transparansi, akses, efisiensi, dan likuiditas di pasar swasta. Platform ini juga akan memberdayakan karyawan startup Indonesia dalam hal kepemilikan perusahaan mereka. Tim Qapita sangat berterima kasih kepada para pemegang saham dan mitra kami di Indonesia yang telah mendukung dalam upaya ini,” ucap Ravulaparthi dalam keterangan resmi, Rabu (6/10).

Tim Qapita telah berkembang dari 7 orang, dua belas bulan yang lalu menjadi sekitar 65 orang, pada hari ini di Singapura dan India. Cakupan operasional Qapita kini tersebar di tiga negara, yakni India, Indonesia, dan Singapura.

Dia beralasan di tiga wilayah ini perusahaan mengidentifikasi peluang untuk menggunakan teknologi karena terjadi pertemuan tiga tren utama. Yakni, pertumbuhan pesat dalam jumlah startup, ekspansi jumlah modal ventura, dan digitalisasi keuangan.

Qapita memperkirakan nilai sekuritas swasta di wilayah ini akan melebihi $1 triliun-$1,5 triliun (dengan 200-250 unicorn) dalam beberapa tahun ke depan dan solusi digital yang terukur akan sangat penting bagi ekosistem tersebut untuk berkembang. Perangkat lunak manajemen ekuitas Qapita memecahkan masalah yang berkaitan dengan SDM (ESOP), masalah keuangan dan penggalangan dana untuk perusahaan swasta, investor, pemegang saham, dan karyawan.

Marketplace dari Qapita memungkinkan transaksi sekunder bagi para pemangku kepentingan. Qapita memperkirakan bahwa lebih dari USD 150 miliar ekuitas akan membutuhkan berbagai solusi likuiditas.

Ravulaparthi melanjutkan, dari putaran pendanaan ini, perusahaan berencana untuk menambah lebih banyak produk ke platform-nya yang tidak hanya memberikan solusi bagi para perusahaan swasta dan startup, tetapi juga kepada para investor, pemegang saham, dan karyawannya.

“Qapita juga berencana untuk memfasilitasi solusi likuiditas melalui pasar digital yang memungkinkan transaksi bagi perusahaan antara investor mereka dan para pemangku kepentingan karyawan.”

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menuturkan antusiasmenya dapat kembali berinvestasi di Qapita untuk membangun sistem operasi bagi pasar swasta di wilayah ini. “Qapita dapat menjadi jaringan penghubung antara perusahaan swasta, karyawan mereka, pemegang saham, dan investor dalam semua hal berkaitan dengan ekuitas. Ekosistem startup di Indonesia dan region lain tumbuh dengan pesat,” kata dia.

Tren ESOP di Indonesia

Perburuan talenta terampil adalah tugas penting bagi startup, namun mempertahankan staf berbakat adalah tantangan besar lainnya. Gaji dan tunjangan yang tinggi adalah cara tradisional untuk mempertahankan talenta. Namun strategi ini tidak selalu berhasil, terutama ketika startup menghadapi saingan dari startup lain yang lebih besar dan lebih mapan.

Dalam ESOP, pemberi kerja mengalokasikan sejumlah saham perusahaan yang bervariasi kepada setiap karyawan yang memenuhi syarat, tergantung pada skala gaji atau aspek lainnya. ESOP biasanya datang dengan periode vesting, di mana karyawan dilarang menjual saham.

Setiap saham karyawan disimpan dalam kepercayaan ESOP perusahaan sampai karyawan tersebut pensiun, keluar dari perusahaan, atau diizinkan untuk menjual saham mereka. Setelah sepenuhnya menjadi hak, perusahaan dapat “membeli kembali” saham dari karyawan, baik secara keseluruhan atau secara berkala melalui likuiditas atau pembelian kembali.

Rencana tersebut dibuat untuk meningkatkan dedikasi karyawan untuk mencapai hasil positif bagi startup, karena nilai saham mereka akan meningkat seiring dengan nilai perusahaan. Dengan memiliki saham di perusahaan, kemungkinan karyawan untuk keluar akan lebih kecil, sehingga berpotensi mengurangi tingkat turnover karyawan untuk startup.

Tren ESOP menjadi metode yang perlahan-lahan digunakan di Asia Tenggara bagi startup kecil untuk menarik dan mempertahankan talentanya. Di Indonesia sendiri, menurut Ravulaparthi, konsep ini baru mulai populer. Sementara di India sudah lebih dahulu menerapkannya sejak tiga tahun terakhir.

Sebuah survei bersama yang dilakukan oleh Monk’s Hill Ventures dan platform rekrutmen Glints menemukan bahwa di Asia Tenggara, kesetaraan adalah kompensasi umum untuk staf tingkat C dan karyawan tingkat eksekutif lainnya, tetapi tidak terbatas pada karyawan junior atau menengah. Survei tersebut menyatakan bahwa kurang dari 32% peserta diberi kompensasi dalam bentuk ekuitas. Preferensi untuk pembayaran tunai adalah alasan utama proporsi yang rendah.