Digitalisasi industri asuransi tidak sekadar bicara soal mengubah channel penjualan ke kanal digital. Usahanya mengubah seluruh proses bisnis secara end-to-end, mulai dari pembuatan produk, pemasaran, pembelian, hingga klaim. Kolaborasi antara perusahaan asuransi dan platform insurtech pada akhirnya menjadi kunci penting dalam meningkatkan penetrasi asuransi yang masih mini di Indonesia.
Qoala menyadari strategi tersebut harus dilakukan dengan cara mutakhir, yaitu menempatkan asuransi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari agar masyarakat dapat mengenal manfaat dasar berasuransi. Selama ini industri asuransi masih cukup tradisional, mengandalkan agen dengan produk yang dipasarkan punya high value, tidak bisa dijual dengan murah.
“Tapi dengan adanya channel digital, kita tidak bisa semudah itu convert dari tradisional ke digital karena channel digital itu harus berbeda. Harus sesuai dengan kegiatan masyarakat yang beli lewat platform, yang terjangkau, mudah dipahami, dan karena tujuannya edukasi, harus lebih mudah saat klaim,” terang COO Qoala Tommy Martin dalam wawancara bersama DailySocial.id.
Dalam perjalanan meracik produk asuransi mikro, Qoala dan perusahaan asuransi saling bekerja sama dengan keahliannya masing-masing agar produk dapat tepat sasaran. Tommy mencontohkan, produk asuransi perjalanan akan mendapat nilai lebih apabila dikaitkan dengan kebiasaan mereka saat mengakses aplikasi OTA yang selalu mereka kunjungi.
Misalnya membeli tiket pesawat di era pandemi ini muncul risiko keterlambatan/pembatalan/penjadwalan ulang penerbangan dan perlindungan risiko apabila tiba-tiba positif Covid-19. Risiko-risiko yang muncul tersebut bisa memberikan nilai urgensi bagi konsumen untuk membelinya. Kelebihan ini sebelumnya belum bisa diberikan oleh perusahaan asuransi karena mereka memiliki keterbatasan dalam memperoleh analisa data kebiasaan digital konsumen sebagai bekal terpenting.
Keahlian tersebut menjadi kekuatan Qoala dan mengawinkannya dengan kapabilitas underwriting yang dimiliki perusahaan asuransi sebagai manajemen risikonya. Underwriting secara sederhananya adalah proses identifikasi dan seleksi risiko. Saat mengajukan asuransi, calon tertanggung akan terlebih dahulu melewati proses underwriting sebelum akhirnya mereka dibebankan premi dengan jumlah tertentu.
Di luar itu, mereka tidak memiliki kapabilitas untuk membangun pemahaman terhadap perilaku masyarakat yang sudah berbasis digital dan memahami memahami risiko apa yang dihadapi di era masa kini. Ini bicara mengenai data yang tidak semuanya bisa diakses oleh perusahaan asuransi.
Dibutuhkan kehadiran layanan insurtech untuk mengakses dan menganalisa data, misalnya data keterlambatan penerbangan yang diperoleh dari Angkasa Pura untuk asuransi perjalanan. Jutaan data tersebut kemudian diolah platform insurtech untuk mendapatkan masukan dan mendeteksi keterlambatan penerbangan secara real-time saat proses klaimnya.
Bagi perusahaan asuransi, klaim yang diajukan untuk keterlambatan penerbangan berkisar antara Rp150 ribu sampai Rp500 ribu. Ini angka yang kecil, namun untuk membentuk tim klaim khusus, produk ini memakan biaya investasi yang tidak sedikit, karena dunia digital bicara soal kuantitas agar tidak menjadi isu bila klaim yang diterima itu sampai ribuan.
“Yang kita kembangkan adalah kerja sama untuk flight status [dengan Angkasa Pura], supaya bisa deteksi keterlambatan. Jadi konsumen enggak perlu klaim, bahkan Qoala bisa kasih notifikasi berhak untuk klaim sehingga mereka tinggal ajukan klaim dengan mudah. Harapannya ke depannya mereka bisa memahami asuransi dengan cara yang mudah.”
Tiap kali ada inovasi yang mengubah perilaku masyarakat akan menimbulkan risiko baru. Kesempatan inilah yang bisa digarap perusahaan asuransi, sehingga produknya juga dituntut untuk terus berinovasi. Dunia asuransi itu sendiri dikenal sebagai industri yang kaku dengan proses kerja yang tidak sedinamis layanan insurtech.
Dalam setahun, volume polis yang diproses mungkin puluhan ribu karena produk yang dijual harganya mahal karena mengandalkan channel pemasaran agen yang memakan biaya. Sementara, bila melalui kanal digital polis, yang diproses bisa jutaan karena produk yang dijual bersifat mikro.
“Asuransi harus menjadi lifestyle yang bukan dicari untuk satu tahun, tapi bisa dibeli beberapa kali dalam setahun. Makanya harus dikaitkan dengan lifestyle.”
Perjalanan bisnis Qoala
Sejak beroperasi di 2018, Qoala menempatkan diri sebagai platform insurtech untuk ritel dengan dua produk, yakni Qoala Plus (keagenan) dan Qoala for Enterprise (B2B dan B2B2C). Pendekatannya kurang lebih sama dengan apa yang dilakukan PasarPolis, kompetitor terdekatnya.
Qoala Plus adalah platform untuk tenaga pemasar asuransi agar proses kerjanya lebih efisien dan terdigitalisasi. Mereka juga lebih independen dalam menyediakan opsi produk yang lebih beragam, karena tidak terikat pada satu perusahaan asuransi saja.
“Kita sudah bekerja sama dengan 30 perusahaan. Tenaga pemasar bisa memasarkan semua produk asuransi lewat aplikasi. Kelebihan-kelebihannya sudah diinfokan sehingga mereka bisa memberikan solusi yang lebih baik dan pelayanan yang lebih bagus.”
Sementara Qoala for Enterprise menawarkan solusi untuk bisnis di berbagai industri, baik untuk keperluan internal maupun sebagai growth avenue dan sumber peningkatan kepuasan end customer atau profitabilitas. Lebih dari 60 perusahaan teknologi dari lokal dan luar negeri telah bekerja sama dengan Qoala untuk memasarkan produk asuransi inovatif.
“Suatu hari masyarakat yang teredukasi lewat Qoala for Enterprise dapat menyadari keterlambatan penerbangan tidak akan mengubah hidup mereka. Akhirnya mereka sadar bahwa yang terpenting dari asuransi itu adalah asuransi jiwa, kecelakaan, kesehatan, kendaraan, dan properti yang bisa memberikan dampak finansial kepada seseorang kalau bisa terjadi.”
Kaitan antara Qoala Plus dan Qoala for Enterprise ini bicara mengenai strategi perusahaan dalam meningkatkan penetrasi asuransi. Inovasi digital yang dilakukan pun berbeda tapi punya irisan yang sama. Qoala Plus fokus pada digitalisasi pelayanan tenaga pemasar. Produk asuransi tradisional saat ini sudah bagus dan teregulasi dengan baik, tapi perlu ditingkatkan dari segi pelayanan seperti menerbitkan polis dan proses klaim yang lebih cepat.
Sedangkan Qoala for Enterprise fokus pada edukasi. Dengan demikian produknya harus bersifat mikro, penerbitan polis dan klaim harus instan dan otomatis. Maka dari itu, inovasi digital yang dilakukan perlu dilakukan secara menyeluruh, sebab pengembangan produknya bergantung pada ketersediaan data dan kebutuhan masyarakat yang harus dikaitkan dengan platform digital populer.
Ekspansi bisnis Qoala
Menurut pengalaman yang didapat Qoala dari negara tetangga, produk asuransi tradisional tetap butuh pemasaran lewat kanal tenaga pemasar. Hal tersebut disebabkan kompleksitasnya, sehingga tetap lebih nyaman menjelaskan produk melalui tenaga pemasar. Kebiasaan ini mirip dengan pergadaian. Bahkan, di negara maju sekalipun, dengan penetrasi asuransi yang sudah tinggi, tetap membutuhkan kehadiran tenaga pemasar.
Di Thailand, salah satu negara yang dirambah Qoala berkat akuisisi terhadap FairDee, perusahaan menjalankan model bisnis keagenan sejak pertama kali beroperasi di 2019 dan terbukti mampu jadi pemain terdepan dengan lebih dari 10 ribu tenaga pemasar. Konsep FairDee direplikasi dan dibawa masuk ke Indonesia.
Para tenaga pemasar yang bergabung di Qoala Plus dinamai Mitra Qoala Plus, diklaim jumlahnya mencapai lebih dari 50 ribu orang tersebar di Batam, Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Samarinda, hingga Manado.
Meski Tommy tidak bersedia memberikan secara rinci, kontribusi bisnis Qoala terbesar datang dari Qoala Plus dengan ticket size premi mulai dari Rp3 juta sampai Rp4 juta dengan ribuan polis terjual. Sementara Qoala for Enterprise produknya lebih mikro dengan ticket size mulai dari Rp5 ribu sampai Rp10 ribu dengan jutaan polis terjual. “Sementara pertumbuhan grup, secara preminya tumbuh lima kali dari tahun lalu.”
Qoala bisa dikatakan sebagai platform insurtech lokal dengan ekspansi regional terbanyak. Terhitung saat ini perusahaan telah beroperasi di Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Kecuali di Thailand, Qoala membangun bisnisnya dari awal di masing-masing negara. Kontribusi Thailand terhadap pendapatan grup dikatakan cukup mendominasi setelah Indonesia, dengan model tenaga pemasarnya.
Sementara di Vietnam dan Malaysia, perusahaan menjalankan solusi Qoala for Enterprise dan mulai beroperasi sejak tahun lalu. “Sebab di Enterprise ini kerja samanya dibangun dengan perusahaan dari Indonesia yang punya bisnis di kedua negara tersebut. Salah satunya dengan Traveloka juga.”
Banyak pembelajaran yang didapat Qoala dari negara tetangga untuk membantu pengembangan bisnis asuransi di Indonesia. Di Thailand dan Malaysia misalnya, tingkat kesadaran masyarakat untuk berasuransi tinggi karena diwajibkan untuk tiap pemilik kendaraan bermotor. Di sana regulasinya sudah menyatakan bahwa asuransi kendaraan harus disertakan untuk setiap perpanjangan STNK setiap tahunnya.
“Regulatornya sudah lebih advanced, dari manajemen risiko, infrastruktur yang lebih bagus. Di Indonesia itu keunggulannya potensi market terbesar dengan jumlah platform digital, masuk urutan ke-5 di dunia dari jumlah startup. Banyak pembelajaran dari perusahaan asuransi yang lebih maju untuk diadopsi di Indonesia.”
Perusahaan menargetkan sepanjang tahun ini keseluruhan bisnisnya dapat tumbuh hingga lima kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Proposisi yang dibawa perusahaan diharapkan dapat melambungkan posisinya sebagai platform insurtech untuk ritel terbesar di regional. Produk ritel yang dimaksud itu adalah asuransi kendaraan, perjalanan, gadget, kesehatan, jiwa, dan properti.
“Sudah cukup [ekspansi negara], sebab semua market yang kita rambat ini market potensial. Rencana berikutnya tetap fokus di Indonesia. Mengembangkan teknologi dan inovasi terutama Qoala Plus.”
Rencana lainnya yang disegerakan Qoala adalah mengajukan diri sebagai perusahaan asuransi. Tommy mengatakan, rencana tersebut kemungkinan besar akan dijajaki maksimal dua tahun dari sekarang. Tren tersebut secara alamiah menjadi perhatian bagi para pemain insurtech di belahan dunia mana pun karena kemampuan underwriting yang hanya bisa dilakukan apabila berada di bawah bendera perusahaan asuransi.
Tak hanya itu, lisensi ini juga memberikan mereka lebih banyak kendali atas produk dan operasi inti mereka, serta eksposur yang lebih besar terhadap keuntungan penjaminan emisi. Namun, karena asuransi adalah industri yang sangat diatur dan padat modal, menjadi perusahaan asuransi berlisensi akan memaksa startup insurtech untuk merealokasi sumber daya dan modal dari inisiatif pertumbuhan.
Kondisi tersebut tak jauh berbeda dengan tren yang terjadi belakangan, seperti perusahaan lending atau fintech yang mengakusisi perbankan untuk menjadi layanan digital. Di kancah global, sejumlah perusahaan insurtech kini sudah menjadi perusahaan asuransi sepenuhnya, di antaranya Bestow, Hippo, Pie Insurance, Lemonade, Metromile, dan Root.
“Di Indonesia variasi perusahaan asuransi itu sangat penting karena bisnis asuransi itu besar. Bukan berarti nantinya jadi perusahaan asuransi kita jadi tidak kolaborasi dengan perusahaan yang sudah ada. Kerja sama harus tetap berjalan karena melayani masyarakat luas,” pungkasnya.