Quest Ventures mengumumkan telah penutupan venture capital fund tahap pertama dengan dana terkumpul sebesar $50 juta atau setara dengan Rp778 miliar. Jumlah ini diklaim telah melebihi separuh target pendanaan untuk Asia Fund II.
Sebelumnya, di Asia Fund I, Quest Ventures cukup aktif dalam mencari startup yang berpotensi untuk tumbuh. Nama-nama seperti Carousell, Shopback, 99.co, Carro, StyleTheory, SGAG/MGAG/PGAG, Glife, Xfers, dan lainnya masuk dalam portofolionya. Di Asia Fund II ini Quest Ventures mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk Pavillion Capital dari Singapura dan QazTech Ventures dari Kazakhstan.
“Kami sengaja memilih investor karena kami menghargai kontribusi finansial dan operasional. Sebagai operator sendiri sebelum menjadi investor kami menghargai apa yang bisa dibawa oleh tim yang beragam. Dengan dana ini kami berharap dapat menghadirkan berbagai keterampilan, pengalaman, dan koneksi untuk membantu perusahaan kami,” ujar Partner Quest Ventures Yiping Goh.
Asia Fund II ini rencnaanya akan fokus untuk startup yang berada di kawasan Asia Tenggara dan yang sedang berkembang di Asia. Setelah sebelumnya masuk ke Vietnam pada Asia Fund II ini Indonesia, Myanmar, dan Filipina masuk dalam radar dengan target mereka yang ada dalam putaran Post Seed dan Pre-Series B.
Pihak Quest Ventures sendiri juga merencanakan untuk meluncurkan akselerator di Kazakhstan untuk memulai ekonomi digital di kawasan tersebut.
“Kami melihat pendiri yang memiliki landasan bisnis dan operasional yang kuat yang memecahkan masalah dengan kempuan untuk berkembang secara signifikan,” lanjut Yiping.
Quest Ventures didirikan oleh James Tan dan Wang Yunming dan berbasis di Tiongkok di tahun 2011. Mereka memiliki kantor di Singapura dengan dua Partner, yaitu Yiping Goh dan Jeffrey Seah. Yiping sebelumnya sempat terlibat di pendirian Matahari Mall.
Indonesia dan pandemi
DailySocial berkesempatan berbincang dengan Quest Ventures tentang fokus perusahaan. Indonesia masuk dalam radar Asia Fund II ini. Dinilai sebagai salah satu negara dengan lanskap teknologi yang berkembang, Indonesia telah berhasil membuktikan diri dengan melahirkan unicorn. Beberapa industri seperti e-commerce, ride hailing dan fintech secara bergantian mulai dikenal luas dan memberikan dampak di masyarkat.
Pemerintah yang memasukkan ekonomi digital sebagai salah satu pilar pertumbuhan bersama dengan industri bahan baku, minyak, kelapa sawit, dan tekstil juga menjadi salah satu salah tanda bahwa teknologi sedang berkembang dinegara ini.
“Kami berharap dampak yang lebih besar akan terlihat di EdTech, Healthcare, mungkin Agritech dan bahkan topik lama e-commerce masih menyimpang peluang di dalam enabler dan ekosistem perdagangan, seperti offline ke online, omnichannel, dan lainnya. Kami telah melihat beberapa contoh sukses pemain seperti itu di sektor-sektor yang disebutkan dan berharap mereka terus tumbuh,” terang Yiping.
Kendati demikian ada beberapa hal yang menjadi perhatian untuk kondisi ekosistem dan industri startup di Indonesia. Pertama, karena jumlah startup di Indonesia tumbuh cepat, demikian juga dengan pendanaan. Tantangannya adalah untuk merekrut karyawan untuk memenuhi amunisi untuk tumbuh.
Di Indonesia, menurut Yiping, banyak talenta yang bagus, hanya saja kekurangan untuk mengisi jumlah startup yang meningkat. Ditambah lagi dengan terbatasnya perekrutan talenta asing dan budaya tatap muka. Bisa jada orang yang sama akan berpindah dari satu startup ke startup lain. Dan yang kedua soal valuasi yang terlalu berlebih.
“Kami juga melihat sejumlah startup mengambil lebih banyak uang daripada yang mereka butuhkan. Meskipun tidak ada yang salah meningkatkan lebih banyak untuk ‘tide over‘ lebih lama, kami juga berharap bahwa startup tidak terlalu lama masuk ke dalam rasa aman yang salah dan ‘melemparkan fundamental ke dalam angin’,” imbuh Yiping.
Sama seperti negara di seluruh dunia, pandemi Covid-19 juga mengubah banyak hal di Indonesia. Bagi Yiping, pandemi ini ibarat tombol reset yang besar bagi dunia. Ini akan mengembalikan orang ke cara lama membangun bisnis dan dengan disiplin keuangan dan metrik pertumbuhan yang lebih seimbang.
“[Kondisi] ‘New normal‘ akan melihat permintaan layanan digital yang lebih tinggai dari B2G, B2B, dan B2C. Mulai berdamai dengan kolaborasi jarak jauh dan mungkin kesetimbangan yang lebih dari topline vs bottom line,” tutup Yiping.